Selasa, 23 Maret 2010

KUMPULAN CERPEN

Puisi untuk Mama Zeta

Oleh : Dudu Abdul Rahman

(CERPEN PILIHAN SITUseni.com, Pekan ke 3 edisi Maret 2010)


“Na.., na.., Vena” bundaku memanggil, setiap aku main terlalu lama di lapangan bersama teman-teman, tidak jauh dari rumah. Beliau selalu khawatir dengan keadaanku. Sejak masih balita sering sakit-sakitan, akibat kepalaku tidak jarang terbentur tembok dan jatuh dari kasur.

”Mandi dulu nak..., nanti bunda buatkan telor dadar dan goreng ayam” beliau merayuku agar segera ke WC.

Kurasakan kasih sayang nan manja dari bunda masih terasa hangat, terpintal dibalutan perangainya.

Bundaku selalu memberi kasih sayang, tak pernah membiarkanku terluka fisik ataupun psikis, dan tetangga sekitar rumah, juga mencintaiku, kecuali kakakku yang jarang bertemu.

Tidak sebulan kakak pamit ke luar negeri bersama laki-laki, bunda mengecupku terakhir kali ketika membangunkanku pagi hari, saat matahari masih malu-malu mendatangi kelambu kamar. Bunda, menitipkanku kepada alam. Tak pernah ada lagi telor dadar dan goreng ayam; selamat jalan bunda.

Hingga saat umur 4 tahun lebih, Mama Zeta, tetangga rumah, mengasuhku dengan penuh cinta dan kasih sayang, aku dianggap anak kandungnya. Kebetulan beliau belum memiliki anak sebagai pelipur laranya, walaupun sudah menikah dengan Pak Pinto selama lima tahun. Terang saja beliau mencurahkan kasih sayangnya kepadaku. Selama itu pula, orang pertama yang merayakan hari ulang tahunku adalah beliau, dengan membawakan kue tar bersama lilin kecil yang menerawang ruang gelap, bermaksud memberikan kejutan kepadaku.

”Duuuaaaaar!Selamat ulang tahun...selamat ulang tahun.. anakku sayang,” Mama Zeta memberi kejutan.

Balon pecah dan riuh nyanyian membawa senyumku ke bulan, sepulang pengajian dari mesjid. Walaupun sederhana, rasanya aku adalah pangeran kecil paling disayang, dimanja, di dunia. Setiap hari tinggal di rumah Mama Zeta, kadang pulang ke rumah, tetapi tidak lama kembali lagi ke rumah beliau. Karena kakak perempuanku satu-satunya sibuk dengan pekerjaan dan tidak pernah pulang dari luar negeri.

Tidak disadari ternyata saudara-saudara mama menyukai keberadaanku di rumah itu, termasuk Mbah Boneta, Ibu Mama Zeta. Makan, minum, mandi dan tidur selalu di rumah Mama, sehingga aku pun merasa di rumah sendiri.

Hampir satu tahun aku diasuh, Mama Zeta tidak memprioritaskan kasih sayangnya lagi, setelah beliau dikaruniai janin di rahimnya. Sebenarnya cemburu menggelayuti hati setiap beliau mengelus-elus perutnya, sebagai pertanda bahwa kasih sayangnya telah sirna untukku. Setelah itu, aku kembali lagi tinggal di rumah, karena takut mengganggu kebahagiaan mereka. Aku hidup tanpa siapa-siapa saat bunda meninggal, meskipun Mama Zeta sering membawaku untuk kembali kerumahnya.

Tidak lama kemudian, jabang bayi itu lahir di sambut dengan binar mata keluarga Mama, apa lagi Mbah Boneta, sangat sumringah nan bahagia saat menggendong cucunya itu.

Terkadang, aku dipanggil Mama untuk sekedar menengok anaknya, ”Vena..kemari!cium adikmu ini, mmmmmuuuua...h” Katanya.

Zera adalah nama anak perempuannya. Sering, tak bisa sembunyikan jealousku pada Zera, hingga mama sering memelukku sambil menyuapi Zera. berlalulah waktu hingga aku sudah kelas satu SD. Namun, kini aku telah kehilangan Mama Zeta. Dan Aku, tinggal bersama Mbah Boneta.

Suatu hari Mama Zeta dipaksa pindah oleh suaminya, entah karena ada sesuatu hal, aku tidak begitu mengerti permasalahannya, namun aku pernah melihat mama di tampar Pak Pinto saat aku melewati jendela kamar. Aku menangis saat itu dipelukkan bantal guling hingga ayam menyalami pagiku. Aku tidak punya lagi persinggahan keluh, seperti almarhum bunda yang bisa menyuguhkan semua belaian kasih suci.

Semenjak mama Zeta ga ada, aku sering melamun merindukannya selain bunda yang sudah tiada. Satu-satunya wanita yang bisa menggantikan bunda adalah Mama Zeta. Sepi di temaram hati, terukirlah puisi pertamaku dalam hidup:


“Mama, dimanakah engkau?

Apakah aku masih anakmu?

Ataukah kau sudah tak mau menganggapku?

Aku kangen mama! aku rindu mama!

Kembalilah dekap aku

Peluklah sepiku, mama

Biarkan aku tidur di pangkuanmu

Meskipun zera menghalang-halangiku”.


***


Langit tak pernah tampak lazuardi di mataku, dari pagi hingga malam, bagiku jelaga dan lembayung, yang membuatku limbung hingga usiaku dua puluh tahun. Kini tak pernah merasakan lagi yang namanya kasih ataupun sayang, bagiku waktu adalah selibut.


Meski sadar tak memiliki keluarga yang membiayai hidup, aku tetap bertahan, ngamen di café, menghibur juragan-juragan, selepas pulang dari kantor yang jelas bukan karbitan.


Setiap hari, pasti aku menjadi pengemis malam dengan menghidangkan lagu damai untuk mereka yang bagiku memiliki dompet-dompet tebal.


Hingga suatu malam, saat nanar merayu kepalaku, aku istirahat sejenak setelah mempersembahkan lagu untuk pengunjung. Seperti biasa, aku pesan minum ke pelayan yang kurus kerontang, “Ner, minta air putih dan kopi kesukaanku”.


“Ok, komandan, berangkaaaat”, Nero menjawab dengan sedikit bercanda, setidaknya menghibur saat nanar menghujamku malam itu.


Nero adalah sahabat yang aku kenal lima tahun lalu, saat aku terdampar di Jakarta. Dialah yang menyelamatkanku, ketika jalan adalah sahabat setia; ngamen.


Tidak lama Nero pergi menyimpan pesananku di meja biasa, tempat istirahatku bila lelah, tiba-tiba gadis belia yang elok, anggun, dan sedap dipandang mata, menyerobot ketika aku hendak duduk di sana.


“Ngapain kamu ke sini?!”, perempuan itu menghujamku dengan kata satiris di depan umum.

Dengan lembut kujawab, “Mbak, ini tempat istirahatku, jika penat kerja, maksudku setelah menghibur pengunjung”.


“Oh, loe itu anak band yang suka hibur café sekeren ini!”, sindirnya.


Sontak kaget, aku balas cerewet perempuan itu, dengan sedikit membangkang, “Emangnya kenapa? Ga boleh ada di sini? Terserah gua donk, toh di sini ga minta-minta, cuma kerja!”.


Dengan sombongnya, perempuan itu mengguyur tubuhku dengan kopi yang masih lama dingin.


“Byuur”, tepat ke dada, aku meringis kesakitan.


Namun, saat aku mau membalas perbuatannya, dengan sigap Nero yang tiba-tiba di belakangku mengahadang agar tidak melawan perbuatan perempuan itu, malah ampun-ampunan minta maaf.


Malam itu, aku minta izin pulang lebih dulu, “Rai, aku pulang duluan”. “Ok, hati-hati di jalan”, Rai menenangkanku dari peristiwa tadi.


Perih di dada masih terasa, sisa kesombongan perempuan yang entah siapa. “Ukh.., andai dia laki-laki, pasti sudah kuhabisi”, gerutuku saat merebahkan tubuh di kostan seberang café.


Malam kembali lagi, mengecup keningku untuk mengerutkan pikiran di lagu-lagu yang temaram. Ya, hanya untuk tuan dan nyonya yang mapan. Entah, malam ini membuatku tak nyaman, menghidangkan lagu menghibur tuan.


“Plaaak”, seorang perempuan cantik ditampar lelaki yang sepertinya pacarnya, tepat di depan mataku yang berkabut asap cerutu.


Kuhampiri, lelaki itu mendorong hingga meja ambruk. “Eh loe, jangan ikut campur urusan gue!" Lelaki itu marah. “Bukan gitu mas, dia kan perempuan, masa ditampar, ga gentle banget!”, jawabku.


“Akh, gua tantang loe kalo gitu”, adrenalinnya memuncak. Tak sempat kujawab, bogem mentahnya sudah melayang di pipi kananku.


Tanpa basa-basi lagi, keributan menjadi hiburan klasik di café yang riuh karena arak. Setelah kesemerawutan berlangsung, lelaki itu terbirit-birit kabur ke luar, setelah kawan-kawanku termasuk Nero mengusir dengan pukulan-pukulan tanpa jeda.


Tanpa kusadari, perempuan itu, “Emh, kamu yang waktu itu mengguyur dadaku dengan kopi”, aku sedikit marah, ketika perempuan yang memberi tanda luka di dada adalah dia.


Namun, “Maaf, aku benar-benar minta maaf, saat itu aku kalut karena lelaki itu”, perempuan itu menggunting marahku dengan bahasa yang lebih santun, tidak seperti pertama bertemu.


Dan, “Aku Zera, pemilik saham café ini”, sembari tangannya menjulur. Aku terperangah terkejut, setelah mendengar pengakuannya. Betapa tidak, dia adalah Bos yang menggaji Pekerjaanku selama ini. Seandainya, waktu itu dipecat, bakal kiamat.


Karena, mencari pekerjaan di ibukota muskil didapat dengan waktu sekejap. Sontak aku jabat tangannya yang lembut. “Vena, bu, namaku Vena”, sedikit gagu, aku mengenalkan nama padanya.


Setelah pesta brandal malam itu, aku kembali ke kostan, namun ada yang membuat gusar perasaan, “Mungkinkah, dia.., mungkinkah?”. Aku tak begitu menggubris perasaan bahwa Zera itu adalah puteri Mama Zeta.

Malam kembali lagi, mengecup keningku untuk mengerutkan pikiran di lagu-lagu yang temaram. Ya, hanya untuk tuan dan nyonya yang mapan. Entah, malam ini membuatku tak nyaman, hidangkan lagu menghibur tuan.

Setelah rentetan peristiwa pertama dan kedua, tentang Zera; Bosku. Semakin hari, membuat pikiran melayang selayak kunag-kunang menari dan berdendang.

Pun, Bosku, setiap hari setelah peristiwa-peristiwa itu sering datang menyaksikan performku di atas panggungnya. Berbeda dari seperti biasa, Bosku selalu mengajakku bicara dengan lemah lembut dan santun pula. Jika kuibaratkan, bahasanya laksana penyair bersajak di tengah laut, yang ditemani pendar semburat bulan.

Hari-hariku kini tak karuan, memikirkan bosku yang cantik menawan, “Mungkinkah ini keliru, ada perasaan minoru* di dada yang dilukainya; lecet. Tidak jarang, dia mengajakku jalan ke tempat yang bagiku tak kan mampu disinggahi untuk ukuran pengamen café; mahal.

Berbagi cerita, bercanda hingga tak sadar tangan tiba-tiba memintal hingga timbul sesuatu yang memekarkan hat ini. Namun, masih ada yang membuncah, ketika Zera adalah nama Bosku. Karena, Zera adalah nama yang langka dan hanya Mama Zeta yang memberikan nama tersebut sepanjang pengetahuan.

Suatu hari, ketika liburan ke pantai anyer, aku beranikan diri bertanya kepada Zera, “Zer, siapakah yang memberi nama indah untukmu?".

Sementara detak jantung tak karuan berdegup, menanti jawaban yang kucari selama ini. “Mamaku”, jawabnya lirih.

Aku bertanya lagi tanpa koma, “Siapa Mamamu?”. “Mama Zeta”, jawabnya yang masih lirih pula.

Saat itu, bagiku riak tak menyeruak, tak ada gelombang, angin pun diam di tempat. Selibut yang mengganggu selama ini, dijawab oleh seseorang yang justru aku mulai menyayanginya; puteri Mama Zeta.

Hanya sekedar memastikan, aku memohon untuk diizinkan Zera, pergi ke rumahnya saat itu juga. Dan, Zera tidak sama sekali menolak. Dengan aura yang berbeda, Zera mengajakku ke rumahnya.

Tiba di rumahnya yang megah, Zera membawaku langsung ke kamar Mama Zeta. Tak kudapati sosoknya yang kuharapkan memeluk erat hadirku.

Namun, berkisahlah Zera tentang kejadian yang mengerikan hingga akhir cerita, “Mama Zeta dibunuh Papa Pinto karena cemburu buta”.

“Aku sekarang tinggal bersama Papa Lien, dia adalah suami kedua mama, karena Papa Pinto selalu menyakiti setiap mama melakukan kesalahan yang sebetulnya tidak penting, maka mama menikah dengan papa Lien yang dikenalnya di acara pameran Papa Pinto. Sejak pertemuan itu, mama menjalin komunikasi yang mengakibatkan Papa Pinto cemburu, dan…,”.

Zera mengakhiri cerita, sambil menyandarkan kepalanya ke dadaku yang lecet karena dirinya. Bersamaan rinai matanya membasuhi bajuku yang tidak terlalu bagus, aku bacakan puisi yang kubuat untuk Mama Zeta:

“Mama, dimanakah engkau?

Apakah aku masih anakmu?

Ataukah kau sudah tak mau menganggapku?

Aku kangen mama! aku rindu mama!

Kembalilah dekap aku

Peluklah sepiku, mama

Biarkan aku tidur di pangkuanmu

Meskipun engkau lebih mencintai Zera”.


Zera limbung ketika kuakhiri sajak itu, dan dia bertanya, “kenapa ada namaku di puisimu?”.


Karena cintaNya, aku mencintai mama dan kamu. “

Aku adalah anaknya juga, namun tidak sedarah”, tegasku.

“Oh..,” Zera tak menyelesaikan kalimatnya, justru pelukan eratnya bicara, bahwa cintanya adalah pelukan Mama Zeta.

-----2010----

Minoru* : Buah, berbuah.





Jelaga Bintang

Oleh : D. Dudu A. R.

(CERPEN PILIHAN SITUseni.com PEKAN ke 4 Maret 2010


Sedu sedan selalu berlirih ketika fajar menyambut shubuh, ”Ya Allah berilah Aku kekuatan untuk membesarkan anak-anakku”

Begitulah suara parau yang berdesir di telinga setiap lelap menitik nadir.

Terkadang embun mata selalu mencoba merayu haru, jatuh membasahi kasur lusuh. Hal itu selalu menghiasi pagi Bintang bila ibunya menengadahkan tangan dan kepala pada-Nya.

Bintang adalah anak laki-laki dari Pak Muni, seorang pensiunan guru SD, sementara Bu Nura hanya buruh Usaha Kecil Masyarakat tetangga serta Tura adalah kakaknya yang menunggu panggilan kerja dari perusahaan. Rumah bilik bambu, tumbuh tanaman umbi dan ketela sebagai perindang kebun di belakang, serta pemandangan sawah dan pegunungan bak lukisan gambar anak-anak waktu SD, menambah khazanah kedamaian kalbu. Di gubuk kumuh itu, Bintang hanya membantu ibunya, setiap hari pulang sekolah, kegiatannya adalah mengaji, mengerjakan PR dan kegiatan-kegiatan lain yang membanggakan orangtua.

“Tang.. Bintang.. Bantuin Ibu ambil suluh di kebun, untuk masak hari ini!” Perintah Ibu.

Bergegaslah Bintang mengambilkan suluh sesuai suruhan ibunya. “Ini bu, disimpan di dapur” Bintang memberitahu.

Tidak lama kemudian kakaknya datang, “Assalamu’alaikum…”.

“Wa’alaikum salam” Sahut seisi rumah.

“Dari mana, kak?” Tanya Bintang.

“Biasa, latihan di studio musik teman”. Jawab Tura.

“Ooough…” Bintang mencoba mengerti maksud kakaknya.


Terdengar petikan nada yang asing ditelinga, karena jiwa apresiasi memang belum tumbuh di hati dan jiwa. Terlihat sesosok lelaki, memangku alat musik di atas paha, duduk berbangku bambu menghadap sawah.

”Oh..Ternyata kakak yang sedang menarikan jemari dan bernyanyi dengan gitarnya” Tengok Bintang.

Lalu,

”Hentikan, Kak Tura! Jangan main gitar! Itu adalah senandung syaitan dan haram pula hukumnya" Larang Bintang.

”Akh.. kamu, berani menceramahiku! Sana bantu ibu saja!” Tura marah dan tak menggubris.

Bintang memang belum toleran dengan pemahaman agama pada saat itu. Bila yang diterima haram maka dikatakan haram, jika yang diterima halal maka dia sampaikan halal, tanpa tahu sebab akibatnya.

Saat itu Bintang masih kelas 2 SMP, jika melihat orang yang bermain gitar benci dan tidak pernah ikut-ikutan berkumpul bersama mereka. Setahu dia saat itu adalah belajar dan belajar. Di kelas, Bintang dikenal sebagai siswa berprestasi. Rangkingnya berputar-putar saja di 3 besar.

’Tang, nanti sore belajar bersama yuk?” Ajak Doni, sahabat karibnya yang berbeda kelas.

”Emh.. besok sajalah Don, aku banyak PR nih” Jawab Bintang, bermaksud menolak dengan lembut.

Bintang memang memiliki waktu luang sedikit setiap hari, karena tugas di rumahnya banyak, terutama membantu ibunya, yang seperti biasa dia lakukan sehari-hari.

Mega di langit seolah memandangi hari begitu ceria, senjapun menyerupai bidadari memagari sore menambah gairah aktivitas.

”Bintang.. Kak Bintang..” teriak teman-temannya bergerombol.

”Ya.. ada apa teman-teman?” Bintang menyahut.

”Main Sepakbola yuk?” ajakan teman-temannya.

”Siap teman-teman! Tapi, setelah PRku selesai ya.. nanti nyusul ke lapangan dech” Bintang menjelaskan sembari meyakinkan teman-temannya bahwa dia akan ikut bermain.

”Ok dech kalau begitu, ditunggu ya!” sahut teman-temannya.

Setengah jam berlalu, mereka asyik bermain. Namun, dari tadi Bintang belum muncul-muncul tak kelihatan batang hidungnya.

”Teman-teman, kok Kak Bintang belum datang juga ya?!” Kenda mengingatkan.

Timpal Gito, sambil memerintahkan Kenda ”Coba kamu samperin lagi Ken!”

Kemudian Kenda berangkat naik sepedanya, ”hah.. hah.. hah..” Kenda mengayuh dengan hembusan nafas pendek, sisa mengejar bola di lapang.

Baru juga tiba di rumah Bintang, Dia melihat Bintang sedang mencuci piring di samping rumahnya yang terdapat sumur kecil. Karena tidak tega, Akhirnya Kenda malah membantu Bintang menyelesaikan cucian piring.

”Ken, kenapa kamu tak berangkat lagi ke lapang? Nanti teman-teman marah lho!” Bintang mengingatkan. ”Kamu berniat mengajakku lagi ’kan?” Tegas Bintang.

”Sudah, ga apa-apa, aku ingin membantumu supaya cepat selesai. Kita berangkat bersama saja ke lapang” Kenda menenangkan hati sambil menyelesaikan sisa cucian.

Lalu, setelah selesai mencuci piring bersama, Kenda dan Bintang bergegas meninggalkan rumah, karena takut teman-temannya kecewa menunggu dari tadi.

**


Hari, Minggu, Bulan dan tahun serta musim berlalu, sikap bersahaja keluarga sederhana itu tak berubah. Seperti yang lalu-lalu, mereka menjalani hidup tanpa berlebihan.

Namun, ada yang menggundah gulana dalam fikiran Bintang saat beranjak ke kelas 3 SMP. Mungkin karena proses hidup yang mulai meremaja. Bintang, mulai berfikir bahwa seni adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk bersasmita dengan intuisi dibalut keindahan birama jiwa.

Otak kanan mulai menerima kesan-kesan estetis dari getaran nada yang bergumul dalam harmonisasi yang dihasilkan Gitar orange, neck hitam, stem putih dan fret 18, warisan kakaknya.

Mulai saat itu, Bintang jatuh hati pada alat musik berdawai enam, meskipun dia sadar membangkang prinsipnya dahulu. Namun, hal itu tidak menjadi jeda untuk mendalami keinginannya, karena dia sudah proporsional dalam memposisikan konteks ’haram’ yang pernah ia lontarkan ke kakaknya.

Bintang mulai merayu kawan-kawan kakaknya yang biasa nongkrong di warung Pak Tresna, di belakang rumah. Suatu hari Bintang disuruh ibunya belanja ke Warung Pak Tresna, kebetulan di sana ada Mas Andre yang sedang memainkan gitar. Mas Andre adalah teman Tura, sering main ke rumah, kadang-kadan mereka memainkan gitar sama-sama, ngulik tepatnya.

”Mas Andre, minta diajarin dong..!” Pinta Bintang.

”Kapan?” Tanya Mas Andre yang memang miskin bicara.

”Biasanya, mas punya waktu luang kapan?” Bintang balik bertanya.

”Ya sudah, tiap sore saja datang ke rumah ya! Jangan lupa bawa gitar kakakmu itu!” Mas Andre bersedia mengajari.

”Ya, siap mas! Mulai besok aku akan ke rumahmu jam empat sore. Sebelumnya terimakasih ya, Assalamu’alaikum” Dengan girang, Bintang pamitan.

Setiap sore Bintang diajari mas Andre tentang chord-chord standar, kunci yang biasa digunakan oleh orang-orang dalam memainkan gitar. ”Brang.. breng.. brong.. brang.. breng.. brong” Begitulah nada yang keluar dari strumming permainan gitar Bintang satu minggu pertama di rumah Mas Andre. ”Duh.. jari kamu masih kaku, jangan setengah-setengah kalau pengen cepet bisa!” Keluh mas Andre.

”Ooouh.. gini sih mas, gitarku ’kan ’ga s’lalu ada di rumah, teman-teman kakak suka pinjem, jadi jarang latihan di rumah” Dalih Bintang.

Kemudian Mas Andre memberi solusi, ” Makanya, kalau ada gitar di rumah, manfaatkan sebaik-baiknya, banyakin senam jari agar tidak terlalu kaku!”

Hampir sebulan belajar gitar dari Mas Andre, Bintang mulai jenuh memainkan chord-chord standar yang diberikan tiap hari. Tapi, jarinya sudah lumayan bisa menguasai perpindahan chord-chord yang telah diberikan Mas Andre.

”Mas, minta diajarin lagu dong, buat selingan di rumah, ’kan jenuh ngapalin chord gitu-gitu aja!” Bintang memohon sambil mengeluh atas jenuhnya.

”oh.. iya. Karena kamu sudah bisa chord-chord, sini mas contohin mainin lagu!” Mas Andre memberikan reward atas keluhan Bintang.

”Wajahmu selalu terbayang dalam setiap angan
Yang tak pernah bisa hilang, walau sekejap
Ingin s’lalu dekat denganmu, enggan hati berpisah
Larut dalam dekapanmu, setiap saat, ooouh..

Oh, kasih janganlah pergi
Tetaplah kau s’lalu disini
Jangan biarkan diriku sendiri
Larut di dalam sepiiiiii yeeeeah

Kasih janganlah pergi
Tetaplah kau s’lalu disini...
Jangan biarkan diriku sendiri
Larut di dalam sepiiiiiii, hanyut di dalam sepiiiii
Ooooooh.... Ooooooh... Kasih jangan kau pergi”

Mas Andre memberikan lagu untuk dipelajari Bintang dari ciptaan Galang Rambu Anarki (Bunga Band). Kebetulan, Bintang sangat menyukai lagu tersebut, karena sentuhannya yang lembut.

Setelah itu, Bintang berhenti, karena Mas Andre berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan.

Tapi sebelum berangkat, Mas Andre berpesan ”Tang, yang rajin belajar gitarnya ya! Banyakin ngulik lagu, atau kursus di Blues Studio, punya Mas Rama”.

Dan, pamitlah Mas Andre kepada Bintang, tidak lama peluk perpisahan mendekap, Bis sudah berada di depan.

Lalu, ”Selamat tinggal Tang.. sampai ketemu lagi!” Teriak Mas Andre.

Sebenarnya Bintang sangat kehilangan ’guru gitar’, jelas dia sedih ditinggalkan Mas Andre. Namun, Bintang bertekad akan kursus di Blues Studio, sesuai saran Mas Andre.


” Do you have the time, To listen to me whine,
About nothing and everything all at once?
I am one of those,
Melodramatic fools
Neurotic to the bone no doubt about it ...............,


She...
She screams in silence
a Sullen riot penitraiting through her mind
Waiting for a sign
To smash the silence with the brick of self-control.....,“

Tak disadari setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Bintang dicengkoki lagu-lagu terutama Basket Case dan She, dari Green Day, Band asal Amerika dengan genre melodic Chord, full distortion dan sedikit Punk Rock, oleh kakaknya.

Saat itu, semakin membuat otak kanan Bintang matang menerima jenis seni, yaitu musik. Pada akhirnya, Bintang sering membayangkan tentang kemegahan panggung konser, disambut riuh tepuk tangan penonton memuja.


Hal ini dialami oleh Bintang pada saat kelas 3 SMP, namun concern pada kewajiban sebagai pelajar, tidak dilupakan. Malah bisa dibilang, SMP adalah masa emas prestasi akademiknya.

Seiring waktu berjalan, EBTANAS atau UAS akan segera dilaksanakan di SMP N 1 Langit Kecamatan Jagad Raya Kota Ruang Angkasa, disana Bintang mengenyam pendidikan tingkat SMP.


Bukannya intensitas belajar meningkat, untuk menghadapi ujian, eh.. Bintang lebih memilih kursus gitar di Blues Studio ketimbang bimbingan belajar.

Suatu hari, tanpa sepengetahuan ibu-bapak, Bintang berangkat untuk mendaftarkan diri sebagai siswa di tempat kursus Blues Studio.

Tiba di Blues Studio, bertemulah Bintang dengan Mas Rama. Namun karena ragu, Bintang bertanya kepada salah seorang petugas yang sedang duduk di tempat pendaftaran sambil mengepulkan asap rokok dari mulutnya,

”Maaf mas, mau tanya, kalau Mas Rama itu yang mana ya? Kebetulan saya tetangga Mas Andre, dia menyuruh saya kursus di sini” Tanya Bintang sambil malu-malu, karena banyak siswa lain yang diantar ibu-bapaknya sambil menenteng alat musik sendiri.

Sementara, Bintang hanya membawa gitar accoustic butut warisan kakaknya.

”Oh, kamu Bintang, ya ya ya, saya Rama. Kebetulan Andre pernah bicara dengan saya, kalau ada kamu daftar, dia minta saya membimbing kamu langsung” Mas Rama menyambut dengan cengkrama hangat.

Di Blues Studio, pengajar yang bagus adalah Mas Rama. Makanya, banyak siswa yang membuat schedule dengan dia.

”Kalau begitu, silahkan kamu isi formulir dan membayar uang pendaftaran seratus ribu” Mas Rama menyambung, kemudian memberikan formulir.

Bintang memelas dalam hati, ”Duh, mana cukup uangku untuk daftar”.
Setelah selesai mengisi formulir, lalu Bintang memberikan formulir tadi. Kemudian,

”Maaf mas, aku bawa uang cuma lima puluh ribu, ini juga hasil tabungan selama dua bulan” Tegas Bintang.

”Ya sudah, ga apa-apa” Mas Rama mengambil uang Bintang serta formulir yang sudah diisi, sembari matanya menoleh kesana-kemari, agar tidak dilihat pendaftar-pendaftar lain.

Setelah panjang lebar mengobrol dan membuat jadwal latihan yang diputuskan setiap jum’at sore per minggu, Bintang kembali pulang.


Setiba di rumah, ibunya bertanya ”Dari mana saja kamu, Tang?”. ”Dari rumah teman, bu” Jawab Bintang.
”Kok lama sekali mainnya, tidak seperti biasa!” Tegas ibunya. ”Itu..emh..emh..” Bintang bingung menjawab.


”Kenapa?” Tanya ibunya.


Karena tidak tega berbohong kepada ibunya, Bintang berusaha jujur mengatakan ”Sebetulnya, aku daftar kursus di Blues Studio, karena ingin bisa main gitar yang baik bu..”.


”Duh.. Bintang.. Bintang.., kamu itu dari keluarga yang miskin, ibu tidak akan sanggup bayar bulanannya,mau jadi apa kamu nanti?! Yang bener saja sekolah, jangan mikirin yang lain!” Keluh ibunya.


”Bukan begitu sih bu.., Bintang sedang ingin belajar gitar saja” Bintang menambah penjelasan.
Kebetulan senja tiba-tiba tak menampakkan keelokkan di sore itu. Mungkin mendukung apa yang di keluhkan Ibu Nura. Dan Bintangpun bergegas ke kamar mandi, karena sebentar lagi kumandang adzan akan segera bersenandung.


Hari Jum’at selalu ditunggu Bintang setelah daftar di Blues Studio, karena dia tidak sabar dengan pembelajaran yang akan diberikan Mas Rama.


Tibalah Jum’at yang ditunggu-tunggu. Semangat untuk belajar terlihat dari aura paras Bintang yang cerah, bibirnya tak bisa berhenti untuk mesem-mesem sendirian. Bu Nura saja kadang-kadang mengelengkan kepala, bila melihat kelakuan bungsunya itu.


”Assalamu’alaikum” Bintang mengucapkan salam sembari membuka pintu Guitar Room, ternyata Mas Rama sudah menunggu dengan setia.

”Silahkan duduk, Tang!” Sambut Mas Andre.


”Kamu sudah bisa strumming dan plucking ’kan?” Tanya Mas Rama kepada Bintang yang jelas kebingungan dengan istilah tadi. Strumming dan plucking tuh, apa ya mas?” Karena bingung, Bintang balik bertanya.


”Hmm.. Strumming itu mengocok guitar, kalau plucking itu memetik” Jawab Mas Andre sembari menjelaskan.


Dengan serius, Bintang menyimak setiap penjelasan Mas Rama dalam pertemuan pertama.
Dan, yang dapat di bawa ke rumah hasil kursus hari pertama yaitu lick-lick A major dan minor Arpeggio.

Setiap hari, Bintang selalu mempelajari apa yang diberikan Mas Rama. Biasanya, dilakukan setelah mengerjakan PR atau pulang dari pengajian. Tak pernah kata keluh keluar dari bibir tipisnya yang manis.

Berlanjut kepada pertemuan ke empat yang berarti pertemuan terakhir dalam sebulan, Bintang belajar memainkan gitar dengan serius di tempat kursus,

”Blues adalah salah satu genre skill gitar yang banyak dipelajar. Karena,akar dari segala aliran adalah sumbernya dari Blues” Jelas Mas Rama.

”Oh.. Ternyata Blues merupakan akar lick-lick melodi yang nantinya berkembang menjadi genre rock, pop, jazz, dsb” perangah Bintang saat baru mengetahui.

Hanya satu bulan Bintang kuat membayar tempat kursus, itu juga dengan menjual beras terlebih dahulu.


”Bu, sudah sebulan Bintang kursus tapi belum bayar uang bulanannya” Bintang mengeluh.


”Tuh.. ’kan sudah ibu bilang, kalau uang jajanmu tak ’kan cukup membayar uang bulanannya!” Sindiran ibunya.

Karena tak mampu membayar tempat kursus, akhirnya berhenti di tengah jalan. Namun, Bintang tak ingin ambisi memainkan skill blues yang menawan, gagal.

Setiap hari Bintang mengasah skill gitar yang pernah dipelajari di tempat kursus, tanpa lelah. Bintang mulai ingin menjadi gitaris yang handal, setelah Blues memberikan nyawa dalam intuisi musiknya.

Tanpa sadar ujian sekolah sudah di depan mata, tanpa bekal persiapan yang matang, dihadapi dengan tenang. Semua mata pelajaran dilewati tanpa beban, dan hasil ujianpun tidak terlalu buruk. Malah rangking yang di dapat masih termasuk 5 besar. Mungkin, karena otak masih segar menampung semua transformasi pelajaran dari guru, tidak disia-siakan oleh Bintang sebelum ujian dilaksanakan.

Namun, pada saat pembagian hasil NEM, nilai yang diraih masih kurang satu poin untuk masuk ke salah satu SMU favorit di kota. Bintang menerimanya walaupun sedikit kecewa, karena memang kurang mempersiapkan dengan matang.

Saat itu Bintang bingung, ”Duh, harus masuk ke SMU mana lagi ya?” gerutunya.

”Seandainya NEMku pas atau melebihi ketentuan SMU itu, aku pasti masuk” Khayalnya.

Karena Bintang belum menentukan pilihan kedua, untuk masuk ke SMU lain, dia tambah bingung karena takut tak masuk kemana-mana.

Dengan dorongan bapaknya, Bintang tetap bisa melanjutkan sekolah. Tidak lama beranjak dari kebingungan, bapaknya mendapatkan informasi pendaftaran di sekolah yang baru diresmikan. Kebetulan, menerima jumlah nilai NEM berapapun.

”Tang, masuk saja ke SMU Taman Langit!” Saran Bapaknya. Setelah itu Bintang berangkat daftar diantar oleh bapaknya, dan alhamdulillah diterima. SMU N Taman Langit, disanalah Bintang mengenyam pendidikan SMU.

***


SMU adalah masa yang penuh dengan percobaan liar dan perubahan sikap. Segala hal ingin dicoba tanpa menghiraukan akibatnya. Perubahan tingkah laku mulai terasa saat lelah menghampiri jiwa, tentu masih mentah untuk dibentuk. Perangai Bintang berubah 360o, karena SMUN 1 Taman Langit adalah sekolah yang harus Bintang tempuh dengan duakali naik angkutan umum selama 1 jam, karena lokasinya jauh dari rumah.

Sering sekali terlambat, kesiangan dan di hukum karena jarang upacara bendera dan telat masuk kelas. Kebetulan SMU Taman Langit adalah sekolah yang baru diresmikan, belum ada kepala sekolah yang menjabat, serta baru satu angkatan yang ada. Keadaannya masih terkesan bebas bagi anak-anak badung yang jarang masuk. Di sekolah inilah aku mulai merubah paradigma tentang pendidikan, aku mulai tidak menghiraukan prestasi sekolah karena yang aku cari kali ini hal-hal yang berhubungan dengan musik alias membentuk band dengan teman-teman.

”Allahuakbar, Allahuakbar...,” Adzan magrib berkumandang memanggil jiwa raga untuk bertekuk lutut di surau biasa.

Setelah sholat selesai, Bintang masih pergi ke pengajian muda-mudi.Setelah selesai pengajian, saudaranya memanggil dari belakang.

”Tang..tang..” Bintang menengok ke belakang.

Terengah-engah saudaranya menghampiri, ”Tang, kawanku yang suka nongkrong di pasar, sedang membentuk grup band” Saudaranya menjelaskan. ”Lalu?” Bintang ingin tahu kelanjutan cerita saudaranya. ”Ya, dia sedang mencari personil gitar satu lagi, saya cerita ke dia bahwa kamu juga main gitar” Sambung saudaranya.

Bintang merasa bangga ditawari menjadi personil band, kebetulan saat itu sedang ingin membentuk grup band. Dua hari kemudian, dipertemukanlah Bintang dengan teman saudaranya. Di tempat tongkrongan anak muda pusat kota. Di tongkrongan mereka saling melontarkan pertanyaan. Tanpa panjang lebar, setelah membicarakan visi misi yang ditawarkan teman saudaranya, Bintang sangat tertarik untuk bergabung dengan konsep pembentukan band yang telah dipaparkan.

Awalnya, sesuai kesepakatan posisi Bintang sebagai gitar rhythm. Namun, berhubung pemain bass belum menguasi beat dan tempo drum, maka Bintang beralih posisi menjadi bassis dan pemain bass menggantikan posisinya. Mulai saat itu, tercetuslah nama MIGAIL BAND yang beranggotakan Vieri (Lead Guitar), Ernes (Guitar Rhythm), Yosa (Drum) dan Bintang di Bass. Namun sayangnya, saat itu belum memiliki vokalis yang justru sangat vital sebagai Front Man di suatu grup band.

Hari terus berganti hingga dua minggu kemudian, baru mendapatkan vokalis yang bernama Siva, kebetulan dia orang Bekasi yang sedang melaksanakan PPL sekolah STMnya. Semua mengenal Siva ketika nongkrong di pusat perbelanjaan kota, ngobrol kesana-kemari, akhirnya nyambung dan sepakat untuk menjadi vokalis Migail Band. Dari saat itu, briefing pertama di rumah Vieri (Lead Guitar), untuk saling mengenal karakter masing-masing, mulailah dengan lagu Slank. Jiwa-jiwa mulai melebur bersatu dengan kumpulan notasi yang disenandungkan.

Hari mulai sore, mereka menuju pusat perbelanjaan kota, nongkrong seperti biasa. Bercanda-gurau mengenal satu sama lain, bercerita pengalaman masing-masing, semakin nyaman menyatukan hati dan rasa, agar dalam perjalanan semakin kokoh menjadi salah satu band indie yang dikenal, minimal di kota sendiri.


Minggu keempat di bulan pertama pembentukan grup band, barulah masuk studio, mencoba lagu karya sendiri yang sudah dikonsep sebelumnya. ’Taman Biru’ adalah lagu pertama yang diciptakan. Mereka percaya diri membawakannya. Setiap latihan lagu ini wajib dibawakan. karena waktu itu jenis musik yang lagi ’on fire’ dikalangan anak muda adalah musik yang bergenre Punk dan Underground, jauh sekali dengan jenis musik mereka yang lebih nge-Blues, semi energik dengan sentuhan fill-in melodi yang dapat menghempaskan jiwa dari combine strumming dan plucking gitar Vieri dan Bintang.

Bersama Migail Band, Bintang memberanikan diri mengikuti festival musik kesana-kemari. Hingga suatu hari dalam Festival Pelajar di ibu kota, menjadi juara pertama, walaupun tanpa dukungan orang tua.


Masa SMU, Bintang senang mengikuti acara seni di sekolah ataupun festival-festival musik bersama Migail Band. Walaupun terbilang dari keturunan keluarga yang jarang harta, pergaulannya luas dan Bintang dikenal kawan-kawan sebagai guitaris otodidak yang hebat.

Kehebatannya, karena dia memiliki sifat ulet apabila ingin menguasai sesuatu, temasuk mengulik skill guitar. Bintang hanya belajar melalui fotokopi partiture atau tabelature Jimmy Hendrix, Yngwy Malmsteen, Paul Gilbert, Steve Ray Vaughan, Steve Vai yang dimiliki dari teman-teman pergaulannya, walauun pernah semat mengenyam kursus di tempat Mas Rama.

Pernah juga dia mencuri Buku Tabelature karya WC. Handy (Bapak Blues Dunia), yang dicari-cari Bintang. Kebetulan teman sekelasnya di SMU mempunyai buku itu.

“Mi, pinjem tabelaturenya ya..?” Bintang meminta. “Jangan! Tidak boleh sama pengajar kursus saya!” Romi menimpal tegas.

“Seming..gu, tolonglah Mi!” Bintang memohon. “Ga boleh! Tetep ga bisa!” Geram Romi. “Kalau mau kamu kursus saja sama pelatih saya, gimana?” Tawar Romi.

Bintang mengeluh paksa, “Kan kamu tahu, rokok saja minta ke kamu.

” Ya sudah kalau begitu, untuk yang satu ini, kamu ga boleh pinjem tabelature saya, titik!” Romi mengakhiri percakapan.

Entah kenapa tiba-tiba Romi mendadak pelit setelah kursus gitar di tempat kursus terkenal di kota.

“Mungkin takut tersaingi?" Tanya Bintang dalam benak.. “Akh..sudahlah, lihat saja nanti.” Bintang tak acuh.

Bintang tertegun sejenak, memaknai penggalan kalimat Romi yang terakhir. Desing peluru ‘kata’ romi bersarang di hatinya. Kemudian terbersitlah niat bahwa suatu hari Bintang akan ‘mencuri’ buku Romi.

Namun, Bintang tak sejahat itu, “setelah bisa, baru akan aku kembalikan” Niat dalam hatinya.

Alasan Bintang mencuri, karena Romi pelit tidak mau membagikan ilmu guitarnya. Namun setelah dikuasai, Bintang mengembalikannya kemudian meminta maaf.

****


Baru sebulan menjadi alumni, hobinya tersendat-sendat dicurahkan, karena teman-teman pergi melanjutkan kuliah ke luar kota. Sementara dia mengalami keguncangan jiwa akibat terlalu bebas bergaul masa SMU, Tembakau ‘Aceh’ atau ‘Jamaika’ yang menghancurkan kecerdasan Bintang dalam akademik. Setiap hari menjadi anak yang tidak seperti dulu lagi, sering membantah, tidak menurut dan jarang membantu ibunya.

Berdiam diri menjemput hari ke minggu lalu ke bulan, tak ubahnya pemalas kumal tidak punya pekerjaan. Pengangguran tepatnya, hal itu berjalan pasca SMU karam. Siang dijadikan malam dan malam dijadikan siang, pola terbalik menghiasi hidup ‘malam-siang ‘. Kebuntuan memagari hari-harinya.

Berselibut jiwa Bintang dalam peraduan, “Kemana Bintang pergi? Berjalan? Menuju? dan mencari? Ukh… Bingung sekali!”. Tubuhnya hanya bersasmita menunjukkan ketidak berdayaan diri menjalani hidup.


Suara parau dari balik dapur kumuh terdengar “bangun Nak! Bapakmu sudah qomat di surau, makmumin sana!” ibunya membangunkan.

Kemudian, Bintang menuruti titah dari ibunya, untuk memenuhi panggilan Tuhan.

Tibalah Bintang di surau dengan disambut sarkasme bapaknya, “Sholat subuh nanti saja, saat Matahari di atas kepalamu!” Bapaknya marah karena ketika Bintang datang, Pak Muni baru selesai wirid.

Begitulah seorang bapak pensiunan guru, selalu tegas mendidik anaknya. Termasuk keinginannya, agar Bintang meneruskan jejaknya sebagai guru untuk terlebih dahulu melanjutkan ke perguruan tinggi jurusan pendidikan.

Setahun berlalu, Bintang mulai menata kembali kewajaran hidup.

“Tang, kalau kamu tidak mau menurut sama bapak, silahkan kamu hengkang dari rumah ini!” Ultimatume bapaknya.

Terlarut jiwa Bintang dalam kebimbangan setelah diancam bapaknya. Setelah memikirkan perkataan bapaknya, Dia menurut untuk melanjutkan kuliah ke salah satu PTN jurusan pendidikan.

Dengan tes yang ketat, Bintang terdaftar dalam pengumuman hasil tes alias masuk seleksi di PTN tersebut. Bintang juga tidak asal sebelum tes dilaksanakan, dia membuka kembali buku-buku tentang pengetahuan dan pendidikan. Alasannya, dia ingin membuktikan bahwa dirinya tidak segoblog masa SMU.

Mulailah Bintang masuk kuliah di hari pertama, namun kegundahannya sangat mengganggu jiwanya. Dia tidak menikmati perkuliahan, dengan alasan tidak sesuai dengan minatnya yaitu menjadi guru, kemudian dengan aturan-aturan yang ketat; harus memakai celana katun, sikap sopan, baju dimasukkan ke celana dan memakai ikat pinggang. “Akh.. Ribet amat” gerutu dan kesal menggerogoti hatinya.

Dia mencoba sabar untuk terus mengikuti perkuliahan. Namun, beban yang dia bayangkan untuk menjadi seorang guru sangat berat.

Dalam fikirannya, “Aku harus mendidik anak bangsa, sementara Aku.., waduh Aku takut tidak bisa memberikan tauladan”.

Begitulah fikiran-fikiran menjelang semester tiga selesai. Kemudian Bintang tidak tahan ingin keluar dari PTN tersebut.

Lalu dia mencurahkan kegelisahan, pada ibunya.

“ Bu, aku tidak tahan kuliah di PTN itu, karena nantinya aku harus menjadi guru.
Sementara dengan sikapku yang seperti ini.., perangaiku seperti ini.., aku takut salah mengajarkan sesuatu yang tidak baik nantinya”. Keluh Bintang kepada Ibunya.

Nasihat sederhana terlontar dari mulut yang sudah lembek dibalut wajah berkulit keriput, “Nak orang lain saja bisa, kenapa Bintang ‘ngga?”.

Dari nasihat ibunya, Bintang kembali kuliah seperti biasa. Hingga semester terakhir dia jalani dengan tersendat-sendat atas ketakutan bahwa dia tidak bisa menjalankan apa yang dinasihatkan Ki Hajar Dewantoro, “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani”. Karena ketiga nasihat itulah bintang semakin paranoid.

Berlalulah waktu masa kuliah. Pasca sarjana dia menjadi guru honorer selama tiga tahun. Di samping itu, terkadang teman-temannya, mengajak nge-jam (nge-band tanpa komitmen) di acara-acara yang lumayan menghasilkan uang untuk seminggu.

Selama menjadi guru honorer, bintang banyak belajar tentang adab, tatakrama guru, bicara yang baik dan benar, melayani siswa dengan hati, dan hal-hal lain yang membuat dirinya berevolusi kembali menjadi Bintang seperti masa SMP.

Selama menjadi guru honorer pula tidak berjalan dengan mudah, banyak bersinggungan dengan kepala sekolah, karena kegiatan Bintang di luar jam mengajar yaitu nge-jam alias mencari tambahan uang untuk bertahan hidup, dirasakan kepala sekolah mengganggu jadwal mengajar di sekolah.

Memang, gaji guru honorer sangat tidak layak pada kenyataannya. Pemerintah memang tega terhada pioneer pendidikan yang bisa menjaga peradaban bangsa.

Suatu hari Bintang mengikuti tes CPNS, keinginannya untuk masuk sangat diidamkan oleh dirinya dan keluarga. Dia mencoba daftar ke POS terdekat untuk menjadi salah satu peserta tes. Sebelumnya, seperti diri Bintang yang asli, tak pernah dirinya tanpa persiapan untuk menghadapi sesuatu.

Berlangsunglah tes CPNS yang ditungu-tunggu, dengan tenang Bintang menjawab soal satu persatu dengan segala daya fikirnya.

“Teng.. teng.. teng..” Waktu tespun telah habis. Bintang pulang dengan hati berharap agar dalam pengumuman namanya terpampang alias masuk seleksi dan menjadi salah satu CPNS yang diangkat.

Seminggu sudah dilewati, hasil pengumuman CPNS membuat malam-malam Bintang tak melelapkan matanya dalam tidur.

“Tok tok.. tok ok” Ketuk pintu mengganggu Sholat Shubuh Bintang pagi itu. “Assalamu’alaikum…” Dari Balik pintu berucap salam. “Wa’alaikum salam..” sahut Bintang.

Pintupun dibuka dan, “ Deub..” ternyata pamannya, langsung memeluk Bintang yang belum siap menyambut. “Ada Apa, Mang?” Tanya Bintang. “Selamat, selamat, Tang” Tiba-tiba tangan pamannya langsung menjabat tangan Bintang. ‘Kau, masuk CPNS tahun ini. Mang, tadi baca di koran”. Jelas Pamannya.

Jatuhlah ribuan tetes air mata Bintang saat itu, dirinya tak percaya telah dipercaya terutama oleh Tuhan yang menakdirkan dirinya menjadi seorang guru. Berbagai macam masa lalu yang buruk membayangi fikiran, serta menghantui Bintang dalam menjalankan tugas menjadi guru.

Sontak ibu bapaknya memeluk Bintang yang sedang tersimpuh rimpuh atas kabar bahagia dari amannya. Setiap hari menunggu SK, hati Bintang selalu bergetar bk badai menghempaskan segala yang ada.

Kalimat yang selalu diucapkan menyambut SK adalah 'Alhamdulillah', setahu dia cara bersyukur yang paling sederhana adalah dengan mengucapkan tahmid tersebut.

Dalam benak dan tekad Bintang sekarang adalah bersyukur dengan sesungguhnya; melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Karena, dengan turunnya SK, bukanlah gaji yang dia fikirkan.

Tugas yang diemban tidak mudah dan bukan hadiah, tetapi tanggung jawab yang lebih membumi meyambut di depan mata.

Sesuai dengan Tujuan Nasional di negaranya, membentuk siswa menjadi warga negara yang; Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

----2009----




di Dasar Sadar

Kau di Puncak Hujan 2

Oleh : D. Dudu A. R.

Di puncak hari, langit menangis juga

Ketika cambuk matahari mengamuk

Aku tak sadar, lelah di muka malam

Adalah keringat tubuh yang merindu dekap hangat


Seribu kali sayang, keinginan hanyalah khayalan

Betapa tidak, penari dalam otak laksana bidadari di televisi

Direngkuh tak tergapai, di cium hanya mengembun di layar

Lalu, aku nanar, berontak menampar nalar



Rebahkan lelah di pembaring penantian, tak pernah

-lelap

Hanya bunga-bunga saja mengikuti sedari tadi

-di mimpi



Aku lemah, ketika mata memandang lengkuas hati

hanya jemari menarinari, di kertas bekas serabi

Aku tak ingin biasa menantimu disetiap senja

Kemari, jadilah lembayung ketika aku limbung



2010





Di Tol Ciperna

Oleh : D. Dudu A. R.


Tergesa, muncratkan tinta; darah di tubuh gelisah

Menggelora, ketika perjalanan lama hanya sekejap


Senyap,

Entah sadar terlarut ke pusaran maut

Terbang melengkung di safir langit, seperti Elang.

Menukik di surau jembatan; rebahkan lelah di pelataran taman


Tak pernah sebuncah kali ini, mendaki waktu tanpa remah kebiri resah

Ada perasaan ganjil menemani ruh, bergelombang di arus angin

Melesat satu arah, bergumul syahdu; menelorong ke langit tujuh

Menyatu dengan zat maha dahsyat, ”gawat aku kiamat”.


Dia kah mendekap? Membawaku ke tiada arah

Jiwa ke dasar sadar, tak ada gusar menampar

Daun senja melambai-lambai, saat terakhir merenung di buaian

Aku kembali mengembara.


2010




SHOLAWAT

Oleh : D. Dudu A. R.


Kau Cahaya Manusia

Kau Langit Damai

Kau Bahasa Santun

Kau Kekasih Semesta

Yaa Muhammadarrasuulullah


2010


Lampion Seberang Jalan

Oleh ; D. Dudu A. R.

Angin lalu lalang menampar malam

Diantar mata terawang, kau tak terbenam

Bersama getir relung

Petir melengkung linglung

Di sini kursi yang kududuki

Penyandar hati gusar

Merajut buncah lelah sudah

Ketika keram mulai merajam

Aku tetap panjang memandang

Meski kabut membangkang awan

Hai kawan,

Aku lirih saat bulan karam

2010



Membunuh Limbung Jiwa

Oleh : D. Dudu A. R.


Meski nanar menjalar di tempurung hening

Tak sejumput buncah menyeruput kening

Aku tetap berdaya, memuja semburat raya

Di alam yang semakin renta. Aku percaya Tuhan

Selimuti hati yang kini masih terlunta pengembaraan


kanalkanal di aorta masih deras mengalir ke muara jiwa

Meriaki arus kepada pencarian yang hampir aus

Dalam jiwa stagnan, aku masih bertahan di pucuk daun

keyakinan. Di seberang sungai, pijar masih kulihat di siluet senja


: Mataku tak buta meski terkatupkatup


Memang temaram, aku tenggelam ke palung sadar, selami diri

Menggenggam hakikat hingga kembali ke permukaan terang

Hidup kumaknai sebagai jutaan langkah, dan berujung di genggaman

Malaikat maut yang merunut di setiap letupan bukit kesejatian.


Biarpun tergopoh menjumput obor di gua tua,

Tak 'kan berkeluh meski tulangku remah.

Tak 'kan kubiarkan tangan ini menyerah menggapai cahaya

Hingga mati di pangkuan Sang Semesta


2010





Vespa Pink

Oleh : D. Dudu A. R.


Sedetik ke mati

Sejenak ke suri

; lepas, hilang, tiada

Vespa, terakhir kali sadar menjegal

Terpelanting membeai ruh dari tubuh

Entah, pijakan telapaki perjalanan

Tak ada perasaan untuk kembali berdiri

: lumpuh


Ujung, benarbenar menempurung kembara

Larut ke dalam pusaran maut

Menyelisir di desir sadar

Hingga pekik perih meringis di sekujur badan


04 April 2010



Larut ke Khazanah Katamu

Oleh : D. Dudu A. R.


Tidak semata kubeli katakata

Dengan harta melimpah

Tidak sekedar kusilir maknamakna

Yang terangkum di kertas baiduri

Sepanjang zaman


Aku ingin tenggelam ke dalam pusaran renungmu

Agar jiwaku aus bersama khazanah susastra

Yang membangun istana raja laut kata

04 April 2010


Lagi, kehilangan Kata

Oleh : D. Dudu A. R.

Kesekian kali, kertaskertas beterbangan

Hinggap di kalikali, riak menyeruak

Melarutkan bara makna ketulusan

Menghilir deras tanpa bebatuan

Selepas merunut kata yang terangkum dalam bendung sungai wacana

Semua menderas tibatiba, mengalir ke arah tak bermuara


04 April 2010


Selami Laut Kata

Oleh : D. Dudu A. R.


Duduk di selasar langit bersama perempuan bernyawa dua

Aku rebahkan tulangtulang lelah, sesaat raga dihujam gerah

Lalu lalang selir tuan raja hembuskan parfum yang memabukkan

Jiwa sepeti menenggak sebotol rum di senja


Dadaku gusar, gerayangi rasa untuk menjamah tumpukan kertas

Di keranjang yang sengaja di tata rapi pemilik istana


Tak sadar aku diajak menari selayak pengikut rumi, memutar spiral

Hingga terlarut ke dalam bilikbilik buku baiduri

Aku dicumbu jiwa tafsir dalam balutan gumpalan kata tuan renung

Termenung hingga tenung pikiran mengeja laut aksara


04 April 2010


Ing..., Ki Hajar Dewantara1

Oleh : D. Dudu A. R.


Kubaktikan seluruh hidupku

Membangun negeri raya ini

Menjadi pendidik berdedikasi

Tulus-ikhlas merevolusi cita penerus bangsa


Semangatmu kukobarkan di obor dunia

Sebagai bekal pengabdian diri

Ing ngarso Sung Tulodo

Ing Madya Mangun Karso

Tut Hurí Handayani


2009



Ing..., Ki Hajar Dewantara 2

Oleh : D. Dudu A. R.


Ketika dada gersang

Ketika tubuh kerontang

Baitbait ini menjadi relief di dasar rumal

Adakah semburat kirana di langit jiwa?


Dalam jasad kunci pintu dunia

Seharusnya, obor yang digenggam di gua terdalam

Adalah petunjuk jalan ketika gulita menjadi beliung

Di manakah ruhruh Dewantara?


Atas nama profesionalitas

Pahlawan tanpa tanda jasa menjadi popularitas

Memaku di runut pejalanan retorika selebritas

: Lukisan guru tanpa pendidikan sejati


05 April 2010


Kartini Menangis

Oleh : D. Dudu A. R.


Kau yang dielukan setiap ritus April menjelang datang

: Sanggulmu tiada lagi bermakna tegar di wujud lembut sebangsamu


Hanya dadadada busung biaskan puting etika juga tutur yang tak runut

Ada yang dilupakan, terhadap kemuliaan yang engkau dendangkan


Bahwa derajat kaummu menjulang di gununggunung, bukan menjadi racun kemajuan

Tak benar pula sebagai penghias pawon* untuk melayani rajaraja hatinya

Air matamu deras tak terbendung, karena kini ruhmu di raga belatung

_________

*pawon : dapur


07 April 2010



Pasca Gempa Tasikmalaya

Oleh : D. Dudu A. R.


”Lembaran undangan pernikahan tersebar menjelang buka puasa”

Senja biru 15:05. Kuketuk pintu gubuk sahabat lama

Lalu kusalami jiwajiwa di tengah ruang

Sedetak terbuka, lebat hujan menghujam genting berdenting pula


: Bukan rampak nyanyian lagu rinai mata air langit


Bumi berdansa retak di tulang remah hingga membuncah hebat di ruang dada

Sekejap saja luluh lantah, gedung menjulang setinggi tanah, runtuh berserakan

Bersama kawan keliling kota merekam keadaan sekitar

Benar, puingpuing menjadi lukisan sesayup mata


Tanpa musabab, jiwa menjadi terjerembab ke dalam relungrelung renung

Gempa menggelepar di langitlangit dada : seminggu lagi menikah


Tak sedikit pun paras bahagia melukis dunia

Padahal kuusung demi merenda tauan rasa lillah

Kidung hening malam tak pernah berhenti

Hingga mengantarkanku ke bibir pelaminan

Selama itu aku kuatkan keyakinan : menyunting perawan untuk kedamaian ke Tuhan


07 April 2010