Senin, 31 Mei 2010

SAJAK DUA BUNGKUS NASI KUNING

-buat Nero Taopik Abdillah

Karya : D. Dudu A. R.


Malam 1


Seperti biasa meskipun tak sering, Handphone berdering

Isyaratkan semilir pertemuan hening, terangkai di pesan singkat

: O, kawan lama yang masih setia dengan pengembaraan

Yang selalu dijawab entah berujung dimana.

“Blues uing di Kostan Ridwan, ayeuna ditungguan!”1


Kalimat tidak asing kadang menyungging akhir pekan

Saat kelanaku meruncing ke kota laut utara untuk menemui

Gubuk sebelum delta. Langit sedikit menyeringai sombong, kala gairahku

Memuncak untuk merenda rencana bersama urang culamega2

: hujan lebat menampar paras sedikit panas

Demi batin yang dipintal selama lima tahun pasca sarjana

Aku rela, sekedar menyalami sosok yang sebenarnya memiliki

Tujuan berbeda.


: aku tiba

Pintu sebuah kostan, dulu sempat kujamah ketika menenun kampus dulu

Kesekian kali, kembali ke ruang yang tak asing menyayup kenangan

: gerungan motor Bebek Honda, adalah isyarat yang tak aneh di telinganya

“Hahaha, huhujanan sia!”3


Sebuah pengorbanan adalah canda di keakraban

Lembayung menukik ke palung malam,

Sayang, Semburat bulan diculik awan


Malam 2


Kau tumpahkan ribuan sajak yang sudah membumbung ke langit tujuh

Lalu, kau ceritakan sebuah ketulusan katakata yang dilukis para sepuh

Ya, aku tahu. Senda petuah tentang laut kata, tak bisa dimuncratkan sesaat saja

: kita menulis resah di dinding sunyi bercat biru, tapi tetap ngilu menyiratkan grafiti

di kamar malam yang semakin bisu


Aku sedikit terperangah, karena tenungmu tentang kembara gelisah

Tersirat di keriting kening, dihempas deburan ombak gulana di setiap lekuk paras berminyak

: tibatiba kau bernyanyi tentang bidadari yang sebetulnya tidak pernah berkhianat.

“Sudahlah! Aku bosan tentang kidung yang tidak pernah berujung tentang perempuan semburat bulan yang hampir lenyap”


Malam 3


Kau kutinggalkan, sementara bulir waktu hampir patah di pohon temu

Tapi rindumu kepada malam yang setia menyelimuti gundah, tak pernah pudar

: kau panggil aku yang tenang menela’ah kalam, selepas maghrib datang

Kemudian, menegaskan rayuan tentang kidung sajak malam yang masih diperdebatkan


Tak pernah padam, kelakuanmu yang hampir runyam, terselamatkan

Karena aku tenggelam ketika sajaksajakmu yang tak kumengerti

Kini senyawa dengan naluri yang sedang mengobarkan birahi imajinasi

: Kita menjadi sajak dan puisi, lalu bercumbu saban sabat ngungun

Perangai malam memagut rindu temaram kepada sedu sedan, hilang.


Malam 4


Dua bungkus nasi kuning menyumpal lapar

Kala nanar mengejang di lengkuas keheningan

antara aku dan kau. Ya, malam ini jiwa menjadi sunyi

Menelusup ke ruang puisi, kita menjadi katakata termaktub di setiap jelaga.


Kadang ribuan makna dipugar menjadi rangkai kata yang ngarai

Mengacak malam, semakin memucuk ke padang mawar

Melarung batin hingga mengurai rinai langit

Lalu, setia menjadi sahabat shubuh dan kejora ketika putik mekar

Memagari detikdetik malam terakhir, kemudian hanyut ke dalam mimpi


Tasikmalaya, 31 Mei 2010

_______________

Seluruh kata dan kalimat yang ditandai, menggunakan Bahasa Sunda.

1) Blues, saya di Kostan Ridwan, ditunggu sekarang!

2) Orang Culamega (daerah Tasikmalaya Selatan)

3) Hahaha, kamu diguyur hujan?

Di Pucuk Kelengangan

Karya : D. Dudu A. R.

Seruling mengalun ke relung
Melindapkan tafakur ke Hyang Agung
Syukur, di ombangambing hilir sungai kembara
Kau selalu ada
: aku bukan schizophrenia, kala Engkau menyiratkan fajar menawan
-sebagai kirana di setiap lekuk jalan yang gemulai

Lorong lengang , kususur tanpa lenggang
Meliukliuk seperti ular setan, aku tenang
Karena Engkau membawaku terbang
Menjulang ke tarian bayu yang menggebu
Selayak Aladin dengan permadaninya bercumbu

Lagi dan lagi, aku tembus ke palungMu yang dalam
Berkecipak seperti anakanak, jumpalitan ke dasar dan tenggelam

Hai, yang kurindukan disetiap peluh dan pilu
Aku tak ingin pulang seperti Nuh yang meninggalkan sandalnya
Meriakkan alasan agar menjadi penghuni, biarkanlah surgai aku!

Kesekian kali aku di pucukMu
Aku tak ingin jatuh ke ranting atau menggantung di dahan
Selamanya.


Tasikmalaya, 28 Mei 2010

Jumat, 28 Mei 2010

Malam Iqomat

Oleh : D. Dudu A. R.


Belikat terikat kawat kejora
rampakkan urat yang sekarat
sesaat gairah menuju imsak
memantik diskusi ke arah kiblat
aku masih nikmat
bersenda petuah dengan sahabat
: merajut kata bersama malaikat.

Aku gantung shubuh di kantung labirin
melawan arus semilir batin, mengarat di pengap dinding
biarkan lelah memilin raga yang semakin remah
daripada meinggalkan resah di jiwa yang semakin merekah
:sementara sobat telah kiamat
bersamaan serunai iqomat Ahmat

Katup makin kalut merenda mata yang kian akut
aku gagap, namun tak ingin disendat
atas kesetiaan kepada malam yang mengantarkanku
ke selasar surau dengan alas pualam pukau

Bercumbu denganmu, mahal harganya
Betapa tidak, sedasawarsa aku berkhianat
kepadamu sang maklumat Tuhan

Menikmatimu laksana pembunuh nafsu
Mendekapmu merekat penopang rindu

Ajarkan aku setia, kepada bintang timur
agar keserakahanku kepada waktu
menjadi wewangian yang terpintal menur

: aku lebur di debur telagaMu.

Tasikmalaya, 28 Mei 2010

Kamis, 27 Mei 2010

Selendang Puisi Sederhana

Oleh : D. Dudu A. R.

Begitu banyak kata mutiara di laut semesta
Aku katakan hal seperti ini saja, mengalir.

Melukis dirimu di langit kemarau
tanpa menawan awan
Laksana hati dilingkari cincin mawar
berpendar di taman awang

Aku oleskan cat berwarna pelita,
seperti parasmu yang jelita
Tak perlu berimajinasi membayangkan dirimu
Karena wajahmu terpampang disetiap kelopak bunga

Tasikmalaya, 01 Feb 2010

Ruh Biru Bahasa Jelata

Oleh : D. Dudu A. R.

Aku lapar, karena engkau terlalu rakus bapak!
Aku pinjam gendangmu, berisikkah isi perutku?
Jangan heran bila seribu aku membabi buta
Di persimpangan, atau di depan istana

Nanar ini merajalela di kepala bangsa jelata
Apakah kau menutup mata?
Banyak kebijakan membunuh merdeka kita
Lihat warung pinggir jalan! ladangku dileburkan

Menjadi suluh-suluh berantakan
Engkau tega, tanpa cicipi makan basiku
Menumu yang mahal tak kami harapkan
Mungkin benar, perangaimu lembut di layar saja

Aku tak ingin semua rayuan wacana
Aku hanya ingin sepuluhsuap nasi, bukan aking
Tidakkah ini terlalu runcing untuk kusebut kau bajing?
Ya, aku perhalus untukmu yang masih kuhormati

Bagaimana dengan engkau?
Apakah pagimu sama denganku yang menggigil?
Tentu selimut wol eropa, menghangatkan dinginmu
Kelu bibir ini, bertahun-tahun selalu tersumpal dusta


Tubuhku makin renta, padahal masih muda
Otakku makin berkarat, menumpul dari sehat


Tolong. Bapak-bapak yang sedang duduk enak
Buatkan aku secangkir kopi yang nikmat!



Tasikmalaya, 18 Februari 2010

Gerayangi Sepi

Oleh : D. Dudu A. R.

Malam ini, masuk ke jendela sendu
Aku lebur bersama bayu
Lelapkan rindu tanpa kamu
Terpaksa terapung di laut cumbu

Bukan tak mau menemui
Bukan pula menebar janji
Tunggu di empat belas hari
Kan kubawa bunga berseri

Sungguh aku terkapar
Tanpa ratu asa di malam binar
Semoga sedia kala
Menunggu di pelataran sederhana

Seperti yang telah lalu
Engkau kujamah sampai ke ulu
Di atas tembikar hati menari-nari
Membuncah sasmita birahi suci

Akan aku ganti ketika bertemu nanti.


Tasikmalaya, 19 Februari 2010

Sajak Parlente Muna

Oleh : D. Dudu A. R.

Seperti biasa aku duduk di sudut horizontal yang mengarahkanku ke jendela berkaca embun.
Memandang kabut menyelimuti lukisan birumu yang semakin redup dihembus debu kemunafikan.
Bersama kepulan tembakau yang semakin menyesakkan dada, sedikit meredam jemawa hati untuk mengutarakan kata-kata tak pantas.

Angin menyusup ke jantung lewat tirai yang sudah lapuk karena sikapmu yang buruk. Sudah barang tentu, kesal selalu mengerutkan kening bila engkau berbicara tentang kebenaran yang hanya di catat lewat polemik berkepanjangan.

Batukku menanah, setiap menyimak kelu bibirmu berdalih, "Aku berbuat untukmu yang tidak berdaya".
Sebuh janji yang membatu di fosil hasrat penguasa perlente sepertimu.
Tak perlu kau katakan lagi, karena seribu tahun aku hidup berarti melanjutkan episode telenovele yang masih dilakoni pemeran itu-itu saja.
Basi, bila aku mencicipi sandiwara di layar siluet mukamu yang memiliki cadangan ratusan.

Begini saja, aku tutup jendelaku yang masih temaram, atau kau yang mengganti tenungku tentang kepastian. Tanpa ada transaksi yang saling menguntungkan, beranikah kau tinggalkan keglamouran, seperti aku yang sekarat di sudut angkuhmu yang semakin menampakkan kegetiran.

TAsikmalaya, 22 Februari 2010

Pelangi Penghias Hati

Oleh : D. Dudu A. R.

-buat Perempuan Ketapang

Melukis kesederhanaan di langit malam
Engkau menjadi rupa yang kuterawang
Cat pelangi yang mendominasi warna
Kuoles di kain melati merumbai jelita perangai

Lalu, aku siapkan kanvas pemujaan
kepada perempuan yang mengagungkan kebijaksanaan
Betapa tidak, bagiku bidadari yang datang di setiap malam
pasti cemburu atas ketulusan yang rimbun di taman hatimu

Sesekali kuleburkan semburat malam dengan parasmu yang menawan
Jadilah pijar rembulan sempurnakan kartika yang terpendam di ketapang
Aku bukan seorang pengukir kata agar engkau terbangkan rasa
ke langit atau hindia. Aku hanya menyiratkan dirimu karena kerelaan semata.


Cirebon, 23 Mei 2010

Jangan Risau

Tengah hari, ketika matahari angkuh merengkuh tubuh
Awan berkhianat kepada langit, seraya meneriaki bumi
yang tergopoh tanpa kawan penyangga badan; rapuh.
Aku terlanjur kuyup di panas hari, demi kamu yang bersemayam
di tengah gelisah
di himpit ruang
dan segah angan
Wahai perindu
aku guyur tunggumu
dengan pengorbanan.

Setengah malam datang
engkau pun terngiang rayuan
percumbuan di Jum'at Agung
deras hilir keringat
terasa menciprat
ke firasatku

Aku tergugah
untuk membasuh muka
lalu kupersembahkan
kidung Tuhan di seperempat bulan
meskipun berupa semburat
semoga engkau terbenam
dalam tenang

Kutulis semata untukmu
yang merintih di buaian dekap
dariku yang merupa kelangkang pelukan

Tasikmalaya, 25 April 2010

Minggu, 23 Mei 2010

Terawang Bulan ke Mawar Lamunan


-buat NFL


Seperti biasa, malam menjemputku ke sambit rencana

tanpa perasaan berbunga, kudesah nafas agak gelisah

betapa tidak, juwita di utara sedang menampani panah

rindu yang kulesatkan ke jantung menanah


Magrib mencoba menyirib hati yang sedang sulit

hingga kusejajarkan muka di alas tanah legit

berulang kali kucium bau basah menjamah

selepas rinai langit mencumbu rona merahnya


Sekelebat kilat memagari langit hingga mata memendar semburat

selirselir malam mencoba mengabari setengah sadar pertapaan kelam

bahwa sekejap serindai bayu menawari rempah sebagai pengobat lara

: seorang ratu nun jauh di sana menyalami serimpung sepi di daun jiwa


Aku resapi lirih yang menelusup ke gendang lembab

aku hayati tarik ulur geliatmu di desir terawang

siapakah engkau, yang datang tibatiba menyapa?

sementara kekasihku menunggu setia di kejora


Dosalah aku bila menyepimu

sombonglah aku bila hening menjadi sahabatmu

ya, aku balas salammu dengan serumpun tanya

ya, aku masih menyeringai seperti serigala

karena, aku takut engkau serupa duri di tangkai mawar


Lalu, bibirmu bersasmita hingga hatiku jatuh ke putik pujapuja

tapi, aku tidak lekas tergoda atas jabatan pujianmu

kepada frasefrase yang kutebarkan di sempurna bulan,

membentuk makna hingga kau pun jatuh cinta kepada pahatan

kataku yang terukir megah di pualam relungmu.


Seperti biasa, malam menjemputku ke sambit rencana

tanpa perasaan berbunga, kudesah nafas agak gelisah

betapa tidak, juwita di utara sedang menampani panah

rindu yang kulesatkan ke jantung menanah


Magrib mencoba menyirib hati yang sedang sulit

hingga kusejajarkan muka di alas tanah legit

berulang kali kucium bau basah menjamah

selepas rinai langit mencumbu rona merahnya


Kutenun kembali purnama selepas melukis limbungku

Betapa tidak, nafasku, kau, dan dia memilin bulan bertubi-tubi

Entah, rahasia apa yang disembunyikan tafsir untuk kutela’ah

Tak mungkin sebentar aku gelar tembikar jawaban di selasarnya.


Kau menjadi buih seribu malam

Aku menyisir di tepi temaram

Kau menjadi kabut setiap kalut

Aku embun di daun katup


Antara aku dan kau menjadi mekar rindu

Yang ditunggutunggu di musim sembilu

Semerbak apakah yang diinginkan?

Tak ada satu pun wangi siliri hati


: Aku tiada untukmu sebagai kekasihnya


Cirebon, 23 Mei 2010

Jumat, 21 Mei 2010

Rimbun Sesal buat Telapak Surgaku


Karya : D. Dudu Abdul Rahman


Baru terasa bila raga ini jauh

Dari wujud lusuh yang pasti kurindu

Kelangkang parasmu mencabik kalbu berhias sesal

Menggelayut di hati terbalut debar


Namun bila aku dekat

Aku selalu siakan waktu

Menaburkan bunga mawar nan melati

di tangkai jiwamu yang rapuh


Sebenarnya aku pemujamu

Walaupun perangaiku tak seperti itu

Membalas kebaikan-kebaikan tulus

Terangkai nasihat indah nan bijaksana


Ibu, tak pernah kuusap cucuran keringatmu

Yang kau persembahkan untuk jiwa lazuardimu tersayang

Tak pernah pula aku lupa riwayat Hasan dan Husein

yang biasa kau ceritakan untuk mengantarku terbang ke arasy


Aku memang bukan cucu dan putera dari puteri Nabi

Yang s’lalu memperlihatkan keindahan tutur dan berbakti

Namun, aku juga bukan kan’an putera Nuh

Yang s’lalu membangkang bila diperingati


Ibu, Ibu, Ibu,

Kemuliaanmu menundukkan kepalaku

Karena, Tuhan saja menyebutmu tiga kali


Hanya kau yang bisa menempatkanku di bukit tinggi

Hanya kau restu paruku

Hanya kau yang mampu membebaskanku

Dari rantai ranting zaqqum yang panas membara


Dari lubuk hati yang paling dalam

Izinkanlah tangan ini menyentuh ranum telapak jembatan pulang

Agar aku selamat dari cengkram jahanam

Semoga senyummu mekar, meski lantun do'a persembahanku


Hanya untuk mendapatkan ampun-ridhomu

Dari setiap laku buruk yang pernah kulakukan

Aku rela menjadi telaga, tatkala letihmu menganga

Itupun tak sebanding, dengan darahmu yang melanting ke langit

untuk menjadikanku seperti mutiara idamanmu.


Damailah jiwa kekasih Tuhan, aku tunduk agar engkau tenang.


@ Cirebon, 14 Juni 2009

The Sohib


Karya : D. Dudu Abdul Rahman


Berangkat dari ketidak sepahaman

Berangkat dari ketidak sepadanan

Bicara ke langit

Bercanda ke samudera


Bergumul di galau

Berkutat di risau

Rumit, pelik, diam, marah

Runyam, sulit, bosan, segah

Gurau, riang, tawa, senda

Jadi secawan derita dan bahagia


Di malam

Di pagi

Di siang

Di petang


Kita kembali

Jadi secangkir cerita

Kita kembali

Menenggak masa lalu


Mabuk

Meracau

Hingga pikuk

Hingga sengau


Tak pernah selaras

Tak pernah serasi

Kita tetap nikmat

Kita tetap bersahabat


Tasikmalaya, 20 Mei 2010

SAJAK JURIT MALAM


Karya : D. Dudu Abdul Rahman


Maqam 1


Lorong sempit, pekat, tubuh tak mampu berkelit

menelusup ke ruang pengap. Tenung hati telah membaca,

bahwa nisannisan adalah penghias mata

hanya tali rapia sebagai petunjuk kembara ke pucuk bukit Dewantara


Antara kaki dan hati tak pernah akur, hingga tujuan tak terukur

kepada arwaharwah di bawah, maaf, aku tak ingin sebenarnya

menginjak kuburkubur yang sudah jarang ditaburi melati adanya

malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana


Empat ranum wewangian kuendus, lalu kutebak rupa dirimu

di legam belantara jati menari bersama rinai sendu

bulu kuduk makin kejang, tat kala semerbak dupa bercampur melati

hampir menusuk sadar bersamaan detak jantung yang tak karuan



Maqam 2


Perjalanan tetap kutelusur, meski rapuh menggoda remah jiwa

ya, menyerah, tapi tak mungkin. Fase ini, yang paling membanting

melanting paruh waktu yang ditunggutunggu, sedari niat yang kadung kuat

terjal memang, hampir selalu mengalasi seluruh langkah, bukan karena itu

tapi, malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana


Gubuk kecil lementik di penjuru mata, diterangi setengah lilin memintal temaram

aku salami seisinya, lagi, hanya dupa bercampur sengat melati merembes

ke bulubulu hidungku yang hampir kumat. Wewangian yang biasa hadir di ritus

malam Jum’at kliwon adalah pengharum malam ini, sangat merajam di pucat paras jalan


Menatap keranda tergantung, dipilin tambang yang hampir lepas, aku tetap ke sana

mencoba salami ’entah’ gerangan siapa yang menjawab lugas. Gemuruh hati berkecamuk, ketika coretancoretan tapak jejak yang pernah lewat terlukis di tanah liat. Mata terbelalak, jiwa menyeruak betapa tidak, benturan keranda ke tanah berbatu adalah penjawab salam tadi.


Silir angin semakin semilir, rimbun daun semakin mengalun

Menyelaraskan degup yang bertempo pikuk.



Maqam 3


Serunai menyemai sawah yang lapang, menegaskan pemandangan sepanjang jalan

lalu berhenti, saat di semak terdapat isyarat, bahwa jejak ini baru menyiratkan

setengah pengembaraan. Sementara nafas yang tersisa sebotol oksigen, adalah bekal terakhir yang hampir migren. Sudahlah, gerundul hati yang sempat menyimpul keringat, tak usah diikat.


Menjelajah waktu terkadang merambah ulu untuk berhenti menggauli tujuh peluru

kesetiaan kepada ketenangan, tegaskan saja sebagai bekal yang tak pernah aus ditelan lupus, tak perlu gusar, tak ’kan pernah kesasar meskipun sejenak rebah di selasar bawah sadar. Ya, dimensi seperti ini terkadang membuat kesejatian hidup mendadak tak serasi, biarkan dilebur ilusi. Tak perlu dibawabawa ke nyata. Hidup hanya sekali, jadi jangan sekalikali terrayu silir bayu sesaat yang membawa ke buaian tak bertepi.



Maqam 4


Sebotol nafas tersisa, tak perlu dihabiskan di depan ukiran pintu terakota yang justeru bisa mengunci untuk keluar dari penjelajahan sekian lama. Sabarlah sedikit, agar langkah yang tertatih tidak merintih di puncak perjalanan. Duduk bersama biru lebam langit lebih baik, agar kawan malam yang setia, bila awan tidak menculik binar sempurna bulan, segera berteman.


Purnama datang ataupun tidak, jangan lekas lemas meremas akhir kembara

Manfaatkan sisa tenaga yang terbungkus rapi di palung jiwa. Di sini kita berakhir

Atau justeru kembali ke semula. Begitulah miniatur hidup dalam bukitbukit yang kubentuk sederhana di jendela yang menembus ke awal matahari menampakkan pijar di fajar.


Tasikmalaya, 10 MEI 2010

Rabu, 19 Mei 2010

Merenda Do’a selama 4 Tahun

Merenda Do’a selama 4 Tahun

-buat korban Lumpur LAPINDO

Karya : D. Dudu Abdul Rahman


Saban kejora salami lelap malam

Urung terbuai bunga tidur di atas tembikar Lumpur

Saban kidung Tuhan melantun ke kalbu

Tak pernah alfa untuk merumbai asa kepadaNya


Kadung sudah terjadi, nasib semakin dibui

Genangan tanah legam mengental di hitam resah

Kami tak mampu lagi, untuk berkeluh kepada tuan

Namun, kami masih mampu memintal peluh kepada Tuhan


Kesekian ribu pilin pinta, hanya Dia yang mampu menggemburkan

Jiwa kami yang hampir tenggelam di telan putus asa


Bukan lelah untuk menuntut

Bukan menyerah untuk merunut

Semua milik kami yang terpaksa

Kau renggut bersama lebur tanahmu, tuan.


Hanya saja, semua itu akan percuma saja dengan meminta

Kepadamu yang tak lagi tega menatap parasparas kami

Yang sudah lusuh, berselimut debudebu jalanan

Ya, inilah rumah kami sekarang, beralas trotoar dan beratap langit lazuardi


Tasikmalaya, 19 Mei 2010

Selasa, 18 Mei 2010

Kata Mereka, berawal dari Yogya 27 Mei 2006


Karya : D. Dudu Abdul Rahman

[1]

Sabtu Wage, selepas shubuh pulang, temaram menuju benderang

Ruh-ruh yang masih di arasy, tercekat gemuruh tektonik Hindia

Sontak, kalang kabut menjadi pemandangan perawan hari

Raga-raga yang merebahkan lelah, sekejap menjadi mayat-mayat


27 Mei 2006, warta duka sejagat nusantara

Yogya, memikul lara atas rimpuh alam ditelan zaman

Tak bisa dipungkiri, semua ini kehendak Ilahi

Tak bisa dikembalikan, seluruh nyawa lekas pulang

Ke pangkuan Tuhan.


Hanya 25 detik, gedung menjulang porak poranda

Rata dengan asalnya; tanah. Isakan histeris adalah nyanyian

Miris. Betapa tidak, rakyat biasa menjadi tumbal murka Tuhan

Mungkin, karena lena menjadi sahabat setia, pantas saja adzab menghampiri

Tanpa diundang tuan.


05.53 WIB, waktu menjadi saksi; mencatat peristiwa gelombang

5,9 skala Ritcher menggebrak tanah sisi selatan Jawa meradang.



[2]


Sayang seribu kali sayang, disaat pekik jelata melata,

Tanah Sidoarjo semburkan selibut hawa sengat

Pengap di paru rakyat, karena oknum pejabat keparat

Ya, karena bumi ini tak mampu lagi mengemban penghianat


Kembali, rakyat tak mampu menghindar

Untuk sekedar memendar semburat luka

Dari bencana yang menenggelamkan prasasti

Yang dibuat dari mata air keringat berhari-hari

: gubuk-gubuk lapuk para prakerta bersenda tawa

Melebur menjadi lumpur busuk menusuknusuk


Langit bilik, tak ada lagi ketika mata terkatup untuk lelap

Kini, menjadi langit yang kadang bintang dan purnama menyapa

Itu masih merenda hati gulana. Namun, ketika lebam awan menghias

Tangisantangisan alam menyatu dengan jeritan malam yang menggigil

Di dada para penari gelisah. Bagaimana tidak, mereka busung di setiap lengkung waktu.



[3]


29 Mei 2006, adalah awal kecerobohan; pemicu berang alam.

Yang akan membenamkan timur jawa dan pasundan

Sepertinya, bumi bukan alas lagi, untuk ditapaki cucu dan buyut; sang generasi

Atau mereka tak ‘kan ada, karena kita kadung terkungkung pulau yang sedang limbung


Empat tahun sudah tanah menjadi lembek melibihi rempeyek

Entah di ranting mana lagi, peraduan digantungkan. Usaha Kepala Negara

Sudah diulurkan, pihak bertanggung jawab mencoba mendedikasikan harta

Namun, rasanya sia-sia. Karena, tiga puluh enam tahun adalah akhir dari bencana

Mungkin, kita sudah terkubur bersama lautan resah yang gembur di telan lumpur


Jawa adalah sebutan saja dilintas pulau

Jawa adalah nama yang pernah tersematkan

Di antara bukit, gunung, dan lautan di seberang terawang

Di antara peradaban yang pernah dilewati, semasa kita tegak berdiri


Tasikmalaya, 18 Mei 2010