Minggu, 27 Juni 2010

Sempurna Bulan

Karya : D. Dudu AR

Serupa sambit di langit malam
Engkau mengintip dari balik awan dengan sedikit binar
Memandang bumi yang sudah hampir lamban
Berputar untuk memburu mentari esok pagi


Nak, ketahuilah, perjalananmu masih lengang
Untuk mengupas segala angan juga mimpi
Yang sempat menjadi mawar disetiap lelap yenag membenamkan resah

Nanti, kelopak-kelopak itu akan merekah
Bersamaan kembaramu yang semoga tak pernah mati karena lelah
Kejarlah! Kejarlah! Semerbak yang mampu mewangikanmu setiap waktu

Janganlah suatu hari, kau larut dalam keterpurukan
Yang justeru membunuhmu untuk terus menggapai harapan
Janganlah, jangan, mengebiri keadaan sebelum berjuang
Karena, kamu bisa menjadi sesuatu yang diinginkan
Apabila tanganmu mampu mengepal ke purnama malam

Jadilah sempurna bulan untuk menjadi pijar
Dan terang bagi jelaga setiap orang
Agar harapan yang hampir temaram
Merupa semburat disetiap gelap


: wasiat untuk kalian sebelum benar-benar pergi

2010

Malaikat Kecil di Trotoar KH. Zaenal Mustofa

Karya : D. Dudu AR

Tangan beralas melas, lalu, bibir menggigil seperti perut yang komat-kamit
Harapan adalah uang lima ribu rupiah disetiap malam
Dan itu, hampir membunuh tegar
: tanpa jeda meminta-minta

Lapar adalah mantra mujarab ketika dompet tuan menikam mata
Menarik jiwa persis lembar berharga menjadi tumpuan hembusan nafas

Wajah mungil yang seharusnya menyanyikan lagu anak-anak
Terpaksa menampar hak yang tak pernah didapat seperti putera-puteri juragan.

Sabar adalah makanan setiap kidung kegetiran
Usaha adalah belas kasihan
Do'a adalah mortir yang hampir mengarat di langit putus asa

Siapa dia?
"Aku pengemis kecil yang setiap malam menghampiri selasar pualam megah",
Hanya itu yang bisa dikatakan.

"Aku akan pulang, jika nasi bungkus bisa kupersembahkan buat ibu yang sedang sekarat",
Dan itu yang bisa dilakukan.

"Ibu, sebentar lagi memintaku mengaji yaasiin, jika tanganku tak membawa secarik kertas yang ada pada genggaman tuan", terpaksa mukanya ditengadahkan

"Terimakasih dermawan, jangan lekas marah jika nanti aku kembali seperti malam ini"
Sambil menenteng kardus lapuk berisi lauk busuk.

2010

Tujuh Belas Mawar

Karya : D. Dudu AR

persembahan pagi yang mengebiri sepi
menjadi senyuman patri mengawali bakti
kepada negeri yang sedang sekarat karena birahi

2010

Berita Duka dari Tasikmalaya

Karya : D. Dudu AR

Gempa enam koma skala richter
Mengingatkan getir di tahun lalu
: amuk dunia berdansa di depan mata

Ketika lembayung mulai ngungun bersama seduhan
Teh senja yang dinikmati para kerabat
Kau tiba-tiba bersenda sasmita di antara canda tawa
: tasik bergetar lagi hingga kabarnya menggema ke kota laut utara
Mengusir relung mendayu berhamburan keluar pintu selibut

Terawang yang mengawang di antara langit tempurung
Menegaskan bahwa bumi bergoyang kembali pulang
Seperti ramadhan sebelum hijrah di tempat sekarang
: gelisah di kota seberang memunggungi beban

Kata-kata mendadak lenyap, tak bersisa, meskipun puing
Sekejap pengajian pun senyap, serentak menenteng sandal
Yang tadinya khusuk berdo’a agar dunia tidak kiamat

Bukan isyarat lagi, tanah gembur yang dulu sempat makmur
Kini, menjadi alas di antara gorong-gorong yang hampir rapuh
Lalu, menunggu ambruk di tengah isu akhir dunia yang kian semerawut
: bencana beruntun berawal dari kota santri yang berlembah lindai

2010

GERHANA BULAN

Karya : D. Dudu AR

Paras sepertimu menyelaraskan selibut dengan damai
: sambit-yang selalu ditunggu kehadirannya-delapan belas tahun sekali
Karena, perangaimu geleparkan malam, hingga bersijingkat menari gemulaian


Sudah kurencanakan, harimu kunikmati bukan di kota sendiri
Aku menjauh ke utara untuk bersenda rindu di muara takdirNya
: menemui selir sepi beberapa saat, sebelum sunyi menjadi teman sejati

Sudah menjadi suratan, kerak bumi retak, persis cumbu tujuan
Dilalap api kasmaran yang menjadikan sebab tubuh melepuh
Di pinggan rekah mawar lamunan

2010

Senin, 21 Juni 2010

Puisi-puisi Kado Perpisahan Kelas VI SDN. Perumnas 1 Cisalak

GURUKU PAHLAWANKU
Coretan Pena : Sherindilla

Guruku, Pahlawanku
Kuteriakkan namamu hingga menggema ke relung citaku
Kukenang namamu sampai maut menjemputku
Dan kuabadikan namamu sebagai prasasti dan panji jalanku

Pahlawanku
Lelahkah engkau, memapahku ke pintu ilmu?
Lelahkah engkau, membimbingku mengeja dunia?
Lelahkah engkau, mengajariku tentang samudera pengetahuan?

Kau bagaikan lentera dibuta mataku kepada kebaikan dan kebenaran
Kau siratkan lengkuas pendidikan di jiwaku yang putih,
menjadi lukisan indah yang berwarna-warni. Kau adalah malaikat penyelamat
yang menjaga tulus sepanjang hidup.

Kau adalah arahku
Kau adalah jalanku
Untuk menggapai cita-cita luhur yang masih kukejar

Pengabdianmu bagai bulan kepada malam
Yang setia menerangi setiap ruang kegelapan

Tak mungkin kubisa membalas segala ikhlasmu
Namun, akan kupersembahkan setiap detik jasamu
Dalam do’aku setiap waktu.

Tasikmalaya, Juni 2010




IBU ,

karya : Sophia Desiani Putri
Kelas : V1 (enam)
SDN Perumnas 1 .

Ibu ...
aku sangat sayang padamu
Sembilan bulan lamanya aku ada dalam kandunganmu
aku bangga sekali padamu

Ibu ...
Kau pertaruhkan nyawa mu saat kau melahirkanku ..
Kau berjuang untuk menyelamatkanku
pengorbanan mu sangat besar

Oh . Ibu ,,,
Kau adalah pelita hatiku
Kau merawat dan didik aku dengan penuh kasih sayaang ..
Perjuanganmu sangat besar

Ibu ...
Bagaimna caranya aku membalas kebaikanmu
aku senang mempunyai ibu sepertimu ,
Terimalah terima kasihku .

2010


Matahari
Karya : Sagita Rizkiyanita

Pagi hari yang cerah kau mulai menampakan diri
Menerangi bumi ini dengan seberkas cahaya
Kau mulai membangunkan ku dari tidur ku yang lelap
Untuk memulai beraktifitas di hari itu

Matahari …
Jika di bumi ini kau tak ada
Aku tak tahu ,
Apakah kehidupan akan seperti yang ku jalani ?

Ya Tuhan …
Puji syukur kami atas apa yang telah kau berikan
Penerang bumi ini yang begitu besar
Yang menerangi seluruh hamparan dunia

2010



IBU
karya : Nurul.


ibu kau adalah orang yang melahirkanku..
merawat, mnjaga, dan melindungiku.
hanya demi buah hatimu.

bagiku kau adalah malaikat
yang dikrim hanya untukku
untuk mnyayangiku dan mengasihiku
kau pun berani bertaruh nyawa hanya demi buah hatimu

oh ibu
engkaulah wanita
yang kucinta selama hidupku
maafkan, anakmu bila ada salah
pngorbananmu tanpa balas jasa

bayangmu slalu hadir dalam langkahku
aku tak 'kan bisa melupakanmu
kau pun cahaya penerang hidupku.
terimakasih dariku untukmu ibu..

2010



Uti Muti 15 Juni jam 4:03
arti sebuah persahabatan

telah kita temui persahabatan seperti ini
abadi selayak harapan kita
kita sadar waktu pasti memisahkan kita

antah kapan ....
kita rajut persahabatan ini
menghiasi hati seindah kebersamaan
di antara persahabatan kita

wahai sahabat......
biarkan waktu memisahkan kita
asalkan didalam hati kita akan selalu bersama
yang kurang mengobati
dahaga kerinduan

kelak di saat kita berpisah
kita tidak akan lagi bersama
sepertui dulu kita menjadi sebuah sahabat

menghilang bersama waktu
rasa rindu itu lebih pedih dari seribu luka.

2010




“Awan”
Karya:Iman . F .
Kelas: 6

Kulihat awan di pagi hari
Indah bersih lagakan nafas Dia terbang ke sana kemari
Seperti mencari tempat abadi

Awan . . .
Begitu indah engkau di pandang
Kadang engkau seperti tersenyum
Membalas senyuman yang kuberikan

Awan . . .
Dikala senja mulai tenggelam
Engkau berderet berebut tempat
Untuk berganti awan
Menunggu malam tiba

2010



Pagi yang cerah
kubuka jendela rumahku
terlihat halaman yang indah
bunga mekar berwarna-warni
harum semerbak mewangi

dengan brseragam putih merah
anak-anak berjalan ke sekolah
mnyongsong masa depan yang indah
dengan penuh gairah

2010




"Hutanku Tak seindah dulu"
Karya : Reki D.
Kelas : 6

Dulu . . .
Hutanku Begitu elok rupawan
Embun kehijauan
Menyatakan Kesuburanmu

Tapi kini Semuanya berbeda
Hutanku tak seindah yang dulu
Kecantikanmu mulai menghilang
Ada apa dengan Hutanku ?

Mereka membakar dan menebang
Mengapa mereka tak menyadari akibatnya ?
Tanah longsor dan banjir bandang
Yang menyengsarakan menusia-manusia tak berdosa ….

2010


"Sahabat"
Karya : Sarah Febriani
Kelas : 6
Sekolah : SD Perum-nas 1

Ketika bintang bersinar
Berbalut suka , duka , tawa , dan air mata
Ketika bintang itu harus meredup
Adalah waktu yang menjawab

Sahabat ...
Tetap ku ukir namamu dalam hati
Jagalah rasa dalam ikatan ini
Meski kita berbeda arah dan langkah

Selama bumi berputar
Selama jiwaku dan jiwamu
Kita akan selalu satu
Meski terhalang jarak dan waktu

2010


" Pahlawan"

Karya : Nurina Listria Lestari
Kelas : 6
Sekolah : SD Perum-Nas 1


Kau adalah seorang pahlawan bangsa
Kau selalu membuatku terkagum
Teekagum dengan perjuanganmu
Kau taruhkan nyawamu demi Indonesia

Meskipun banyank Negara yang menjajah
Akan tetapi kau terus berjuang
Berjuang demi kemerdekaan Indonesia

Meskipun aku hanyalah seorang pelajar
Akan tetapi aku akan meneruskan perjuanganmu
Dengan cara rajin belajar
Pahlawan .......
Terimakasih atas perjuanganmu
Ku kakan selalu mengingatmu
Untuk selamanya ...

2010

Sabtu, 19 Juni 2010

Carik-carik Kembara

Karya : D. Dudu AR

Menggunting carik-carik tanya, lalu dijadikan sebuah peta untuk melucuti sebab engkau lenyap, semata-mata kugunakan sebagai petunjuk saja. Karena, jejak yang belum pernah kujamah di lanskap hatimu menjadikan kembara sebagai pilihan.
Sejenak ke ruang yang menaburkan kenangan, melepas rindu ke relung engkau. Semoga makna masih bersemayam, yang dulu sempat mengendap semasa kita sebagai malam dan bulan.

Jiwa lejar ke lengkung langit jelita seperti engkau. Sayang sekali, kelun siluet di rumpang malam indah adalah rupamu yang kurindu.
Terbiasa tumbuh-kembang di bumi sepi, menjadikan kembang seperti bunga gagap diantara rekah taman rindang. Lalu, senyap di antara langit dan tanah mayur, mendewasakan naluri selayak seniman sejati memagari hidup dengan intuisi. Sajaklah sejatinya!

Sementara, degung yang ditabuh para malaikatmalaikat kecil, menjadi suguhan pelataran keraton yang membawa rasa ke beberapa abad silam. Seperti di kerajaan, menjadi tamu istimewa yang sedianya menikmati hidangan bersahaja; larung di serambi penghibur kedamaian.

Tuhan, sebuah kepastian bahwa engkau mendengar rayuan hamba semacamku. Masa ini, Engkau beri teka-teki yang bisa dijawab dengan kesabaran. Aku hanya meminta, sebuah sampan yang menghilirkan tujuku ke muara pencarian. Itu saja.
Gigil mulai gerayangi mata, mengatup, lelah dan rebah. Bersamaan perangai malam yang terlalu indah, sejenak ke tebing tinggi, jatuhkan jiwa dari labirin goa raga ke arasy sebagai tempatnya.

Dan, masih di tempat yang sama, aku regangkan sisa sebotol nafas untuk kembali mengembara. Seperti biasa, menuju selasar keabadian yang masih kuraba.
Cirebon, 19 Juni 2010

diKantin Rosella

-buat AE dan AH

Karya : D. Dudu AR

#1

Secawan sajak kita tenggak
hingga lejarkan jiwa ke langit jingga
kemudian kita kupas berbagai metodologi
dan strategi, tentang revolusi yang belum lama meretas.

Dari sebatas tegur sapa yang serupa bulir mimpi
semasa melancong di serambi fatamorgana
keringat kita mewujud sesuap nasi ataupun kontribusi
karena takdir memantik segala selibut yang mengendap
di relung pengembara dewantara, memuara di kota laut utara,
lalu merenda benang sutera yang masih berserakan di pinggan rencana.

--dan sebatang puisi kita bakar hingga mengelun
bergumulgumul lalu membentuk gelembung
keselarasan terawang yang rumpang di awan tujuan.

Buih lamunan sempat sedakkan cerita
karena jalan berbeda untuk mengggapai bulan
merupa gelak binar tidak serasi di sempurna malam
ah, tak usah sunyi, yang penting menabur mawar
atau melati disetiap lajur ruang yang masih mengawang.

#2

Di meja persegi empat
berjejer botol sisa keringat
mengembun di beling semangat menggelora
masih memberikan harapan untuk dijadikan telaga.

Kita lukis lengkunglengkung pikiran ke langit kejora
agar muara masingmasing tidak terlalu asing
ketika saat di lain waktu, tetap membawa sampan
yang kita kayuh menghilir ke lautan biru,
menjadi muara, kemudian bertemu dan bercanda
ke samudera Ki Hajar Dewantara.



#3

Sebagai janji pintal intuisi
diantara ruang yang banjir dengan muntahan angan
tanpa batas, menjadi lawatan paling memabukkan
selama pengembaraan. Bagaimana tidak, setiap liuk
kegamangan yang terkadang meremahkan ketegaran
menggelitik sukma yang panas dingin seperti pergantian musim

Serupa itu, mengingatkan perhelatan perundingan linggar jati
mendaulatkan negeri ini, atas kerja keras leluhur kita yang tulus
bela negara demi cucu cicitnya sebagai penerus bangsa

kita menjadi damai karena mereka
kita mennjadi merdeka karena mereka

lalu, apakah perbuatan kita setimpal dengan jiwanya?

Tak ada waktu lagi untuk hidup nikmat
sebelum Tuhan menyatakan kiamat
karena sejumput kerelaan yang dipintal dari ribuan generasi
akan menjunjung segala keterpurukan, yang kini sedang melanda negeri


# 4

Bersamaan abu dan bara bergumul di asbak meja
perundingan kesepahaman tentang pergulatan kembara
yang diakhiri kidung magrib seorang mahasiswa
kita kibarkan menjadi panji kebangkitan kembali pencetus
sumpah pemuda. Karena, ejawantah pejuang yang wafat
selama penjajahan ”mati satu tumbuh seribu” adalah kita.

Cirebon, 18 Juni 2010

Selasa, 15 Juni 2010

Sajak Katarsis


Karya : D. Dudu AR


Badai memang tak pernah bertamu

mengucap salam atau megetuk pintu

dengan angkuh, duduk seronok sambil komat-kamit

melanglang naluri penghadang yang radang


Begitu juga selibut, mengendap di setiap sudut

rongga himpit sebagai satu-satunya selasar sadar

yang tersisa sepetak galengan* sawah


Serasa waktu tinggal sejumput rindu, yang mungkin tersentuh

atau justeru melepuh di didih taman yang gersang kedamaian


Serupa serimpung labirin disetiap lekuk kembara

melengkung jejakjejak pengembara

memilin sebotol nafas di lenjang paling tinggi

mengikat kuat sampai berkecipak dari buih telaga

ke ombak laut utara.


Tasikmalaya, 15 Juni 2010

Minggu, 13 Juni 2010

Tidurlah!

Karya : D. Dudu AR

Jangan salahkan namaku melayang-layang berupa kelangkang, ketika matamu susah mengatup di setiap malam. Jika itu membuatmu tidak tenang, basuhlah mukamu dengan mata air kenang, seperti saat menyusur taman harapan yang membuatmu masih terngiang tentang serambi langit di setiap senja, meskipun bayang-bayang itu merupa desir mimpi di engkau sekarang. Tidurlah!

2010

Aku Takut

Karya : D. Dudu AR

Aku tidak meracau ketika engkau menyaksikan matahari merona di parasku. Aku tidak gila ketika engkau mengintip lejar tubuhku ke sambit bulan. Aku hanya menculik perhatianmu sedari malam. Sebab, setiap firasat melayat ke perangai yang tak biasa mengendap lekukmu, membuncah detakdetak degup hingga merajam malam Jum’at. Aku takut engkau lenyap, bersama bayu yang menghempaskan desah cumbumu di lenjang leherku.

2010

Maaf, Atas Nama Hari Ini


Karya : D. Dudu AR


Sementara kejora bertamu ke rumah kudus

Semilir bayu melecut tubuh, melukis luka

disetiap relung sepi, hingga rintih menyelongsong

resah, menyelinap ke jiwa yang basah


Lalu, serunai isak menggema ke labirin shubuh

Persis mata menata kata rindu, selepas kurangkai

Mawar rampai di carik kertas sembilu


Aku tak pernah menyuruh malam, menyepimu

Aku tak pernah merenda malam, heningkanmu


Maaf, atas nama hari ini

Demaun melati yang kau harapkan menghilir

Ke muara harap, tak jua mewujud rupa yang kau rindu

Ini kesekian kali, aku melabirin sepi di ruang yang seharusnya

Memesta kita berdua, tak menyisik di lukisan dinding lirih


Tasikmalaya, 14 Juni 2010

Sobat

Karya : D. Dudu AR


Dari jauh kuterawang
engkau melepuh
sebab kerinduan
yang tak kunjung meneduh

Dari dekat kudekap engkau
selayak wanita idaman
yang selalu menjaga keperawanan
hati diantara ribuan lelaki

Meski ikatan pintal
merupa temali buluh nadi
tak melonggar hingga kita
menjadi utuh disetiap situasi

Kita berkeluh hingga peluh
Kita bercanda hingga riang

Aku dan engkau pun nyaman
ketika ranum mawar dunia
menjaga setiap lekuk kehidupan

Cinta, kasih sepanjang jalan
menelusur kembara disetiap angan
antara puncak dan samudera kegamangan
tak 'kan menjadi buih atau serupa ranting kematian

Lanskap Angan, 12 Juni 2010

Serambi Sajak

Karya : D. Dudu AR

Dan, hening menghidangkan parasmu di pinggan lamunan

Sambil memangu tiadamu di selasar iga, kupangku dagu

Selama engkau bersolek di cermin mata. Lalu, kau berdendang

Bersama ketukan jari di pinggir irisan, terlanjur rindu memecah

Gelisah, agar engkau keluar, mendekap gigil yang gemulaian


Semakin lejar riak gelombang awan, bergumulgumul mengulum

Luruh berkepanjangan. Biarkan kubelah batas diseling sungai

Menjadi laut kedamaian yang sempat rimbun di ranting kegetiran

Selalu saja blangsak, ketika sajak kujadikan tampan temaram


Tasikmalaya, 11 Juni 2010

”NEGERIKU NEGERI PARA PENIPU”, aku bilang tidak!

Karya : D. Dudu AR


: Agustinus Abraham


Negeriku sedang layu

Tak 'kan mekar jika kebenaran disimpan di kelopak mawar saja

Maka, lejarkan ke langit sampai mati


Jangan terlalu berharap kepada mereka

yang bermuka perompak hedonisimian

Jangan arusi kelakuan duniawi bersama mereka

yang menjadikan tulang keropos bumi pertiwi


Jadilah kita sebagai batang

Jadilah kita sebagai ranting

Jadilah kita sebagai dahan

Jadilah kita sebagai daun

: pohon negeri yang pertiwi


Mari satukan hati, untuk bangkit kembali

ketimbang menyanyikan lagu atau bersyair

lirih yang merembes ke palung hati

Mari satukan jiwa, yang telah tersirat

seperti semangat sumpah pemuda


Dari penyajak ataupun penyair

bertubi-tubi larungkan kata yang tak pernah berakhir

lalu, kobarkan api yang mulai ngungun

lalu, buihkan ludah yang sudah lelah


Berbuat sesuatu, seperti relawan Mavi Marmara

untuk negeri ini, butuh pengembara surga seperti mereka

agar tanah yang hampir musnah

kemudian menjadi sewaan para pribumi

suatu hari, mungkin terjadi

tak ‘kan karam di lautan Cyprus atau arctic


Wahai pemuda-pemudi seperti Abraham

janganlah, lalu berhenti berperilaku dalam kata

kita memang hidup seperti David dan Goliath

berjuang lalu mati selayak leluhur proklamasi

Agar Indonesia tidak aus ataupun terkenal dengan nama "PENIPU" saja

: hati, jiwa, tenaga, kelun seperti awan penghuni surga

Karena, wajib hukumnya kepada siapapun


memantik kebenaran ke langit atau samudera

jika jiwanya seperti Soedirman atau Pahlawan Revolusi

jika jiwanya seperti Gajah Mada, yang untuk Nusantara

dan Indonesia Raya


Lanskap Abraham, 13 Juni 2010

Rabu, 09 Juni 2010

Kegiatan Jurnalis Siswa Kelas V SDN. Perumnas 1 Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya


Oleh : D. Dudu AR., S. Pd.

Rabu (02/06), siswa Kelas V SDN. Perumnas 1 Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya, melaksanakan kegiatan wawancara di lingkungan sekitar dalam rangka pembelajaran Bahasa Indonesia. Kegiatan ini, selain tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan, diilhami oleh redaktur Kabar Priangan (Duddy RS), sebagai ajang pengenalan jurnalisme sejak dini.

Hari itu, guru Kelas V SDN. Perumnas 1 Cisalak, D. Dudu AR., S. Pd., membagi siswanya menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok, beranggotakan dua orang. Sebagai langkah awal, mereka diberi tugas mencari topik sesuai yang diinginkan. Dalam diskusi, siswa terlihat sangat antusias, satu sama lain saling berbagi tugas; sebagai reporter dan penulis bahan berita. Setelah topik berita disepakati kelompok, guru kelas V memberikan pengarahan dalam melakukan wawancara. Guru membimbing siswa, membuat pertanyaan sebagai bekal wawancara. Dasar membuat pertanyaan untuk wawancara, siswa disuruh membuat pertanyaan dengan kata tanya; apa, kenapa, bagaimana, siapa, berapa, dst. Kemudian, setelah bahan pertanyaan dibuat, siswa diajak keluar, terjun langsung ke lapangan, mewawancarai orang-orang yang dijadikan sumber sesuai dengan topik berita masing-masing kelompok. Guru memantau dan mengarahkan siswa saat wawancara berlangsung. Mungkin saja, ada kelompok yang masih belum bisa mengawali kegiatan wawancara alias canggung.

Setelah kegiatan di luar, siswa kembali ke kelas untuk merangkai kalimat berita dari hasil wawancara. Kalimat berita wartawan profesional dengan wartawan cilik (siswa), tentu berbeda. Maka dari itu, guru Kelas V, memberikan contoh kalimat-kalimat berita yang dimuat di surat kabar. Agar siswa memahami kalimat-kalimat berita yang baik dan benar.

Hasil dari kegiatan tersebut, keterampilan siswa dalam menulis kalimat berita, mengalami peningkatan. Setidaknya, melalui kegiatan wawancara, siswa lebih gampang memahami penulisan kalimat berita, ketimbang dengan metode konvensional, salah satunya ceramah.

Banyak hal yang unik dan menarik ketika kelompok siswa melaksanakan tugas wawancara, mereka meikmati kegiatan tersebut. Adapun yang mereka wawancarai diantaranya; siswa Kelas VI, adik kelas, siswa yang sedang olahraga, ibu-ibu yang menunggu anaknya, si bibi kantin sekolah, penjaga sekolah, dlsb.

Kegiatan wawancara ini, selain mengembangkan 4 aspek berbahasa siswa; berbicara, membaca, menulis dan menyimak, menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dalam suatu permasalahan, sehingga cara berpikir mereka menjadi “kritis tapi etis”, sesuai motto Harian Umum Kabar Priangan. Semoga dengan langkah kecil ini, sedikit memberi inspirasi dalam meningkatkan keterampilan siswa menulis kalimat berita Bahasa Indonesia. Terimakasih.

Sejumput Mawar Tentang Sajak dan Penyair Bode Riswandi



Oleh : D. Dudu AR


Bode Riswandi lahir di Tasikmalaya, 6 November 1983. Tidak aneh, jika metafora sajaknya disadur dari wilayah geografis yang berupa pegunungan, lembah, lindai, dan persawahan yang membentang. Bisa dikatakan masih perawan dari polusi metropolitan. Kondisi ini membawa jiwa si penyair ke renung yang cenderung memilih suasana pedesaan. Membaca puisi penyair ini, bisa larung ke labirin ruang alam, karena ramuan-ramuan katanya, menjadi metafora yang mapan. Hal tersebut sering dijumpai dalam rancang bangun puisi, Bode, panggilan akrabnya, memuat metafora alam, dibungkus unsur agamis yang sedikit ‘nakal’, seperti bait :

Kekasih, berilah aku buah dada bugar
Buah dada yang memanjang dari Langit-Mu
Langit yang menjadikan api sebagai taman mawar
Bagi Ibrahim

Bagaimana tidak, bait di atas jika dibaca selintas; seperti erotisme sesat, desah jiwa ke Tuhan yang nyeleneh. Namun, jika dimaknai dari sudut pandang yang lebih dalam, penyair ini membawa pembaca bercinta atas kesucianNya dengan birahi suci pula tentunya, selayak “racauan cinta” Rumi yang maha dahsyat. Sejalan dengan Prof. Jakob Sumardjo, “... Dan Bode Riswandi bertolak dari adat untuk melukiskan penyatuan denganMu”.

Dalam antologi puisi MKM ini, penyair, membawa pembaca ke suasana yang loncat-loncatan. meskipun karya-karya puisi di dalamnya dirancang sebagai jejak penyair selama proses kreatif pembuatan puisi. Beberapa diantaranya :


Antarkan Mayatku Sampai Rumah Sepi, Kekasih

Kematianku meninggalkan darah di kelopak matamu
Bunga-bunga waktunya kau tabur
Di batu nisan — di dadamu
...

Mendaki Kantung Matamu
:buat WS. Rendra

Mendaki kantung matamu rakyat dengan darah selabu
Berlari tak tentu. Siapa lagi yang terbunuh? Darah kami
tinggallah selabu

Di Vietnamp Camp

Banyak yang bercerita lewat angin, semacam dingin
Atau isyarat yang licin. Sepi serupa kembang muda
Yang tumbuh di ranting rahasia
...

Buat Anna Politkovskaya

Salju yang runtuh dari rambut kelabumu
Semacam peluru makarov yang dilempar
Seseorang ke dada dan kepalamu. Lantas
Orang-orang bernyanyi untukmu, ...

Mulai puisi pertama hingga terakhir, penyair mencoba merekam semua peristiwa yang dirasa, dilihat, dan direnungkan, tanpa memandang koherensi judul sebagai benang merah. Namun, tidak mengurangi keistimewaan dari kumpulan puisi ini, justeru pembaca akan mengalami pengembaraan makna yang dahsyat di ruang buku antologi MKM ini.

Beberapa bulan lalu, di kota santri Tasikmalaya, Buku Antologi Puisi Mendaki Kantung Matamu (MKM), telah ramai diperbincangkan di kalangan masyarakat sastra. Selain pakar dan kritisi yang membahas keistimewaan buku ini, banyak pula tanggapan positif perihal rencana penerbitannya yang ditungu-tungu, mulai dari tukang becak, pelajar hingga pejabat. Betapa tidak, penyair yang lumayan mempunyai reputasi tinggi di perpuisian nasional ini, membungkus puisi-puisi yang pernah dimuat, dari beberapa antologinya, bersama penyair-penyair muda Indonesia. Pada akhirnya menumbuhkan sikap apresiasi yang welcome dari masyarakat, atas konsistensi, intensitas dan loyalitas terhadap eksistensi kepenyairannya selama ini.

Sambutan hangat masyarakat, terutama pelajar, menunjukkan Bode Riswandi memberi pengaruh terhadap gairah jiwa apresiasi masyarakat bawah-atas, yang sebelumnya, hampir redup, mati suri dan lenyap, khususnya di Tasikmalaya. Banyak sekali instansi pemerintah Kota Tasikmalaya, komunitas seni dalam dan luar daerah, mengundang penyair satu ini dalam rangka bedah antologi puisinya.

Buku antologi yang didominasi warna sampul merah itu, memberi semilir kebanggaan kepada warga masyarakat, karena memiliki generasi penyair muda berprestasi yang kreatif, khususnya dalam perkembangan sastra di Kota Tasikmalaya. Hingga meranumkan nama daerah di kancah nasional maupun internasional, selain penyair kawakan Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Soni Farid Maulana, Nazarudin Azhar, dlsb. Gaung penerbitan antologi ini, menggema hingga dunia cyber sastra, seperti Blog, Twitter, dan Facebook yang sangat digandrungi penyair-penyair pemula maupun penikmat cyber sastra.

Meskipun launching Antologi Puisi MKM ini baru akan dilaksanakan dalam waktu dekat, kegiatan road show ke luar daerah seperti Bogor, Bandung, dan Purwokerto, sudah dilaksanakan sebelum acara penerbitan diselenggarakan di Kota Tasikmalaya. Langkah tersebut dilakukan semata-mata menunggu waktu yang tepat agar pelaksanaan efektif dan efisien. Selain ajang publikasi, penyair ini memang hampir diminati kerabat sastra Indonesia, sehingga undangan bedah puisi MKM ini pun silih berganti.

Lulusan FKIP Unsil ini, berhasil mengetengahkan sajak-sajak segar yang mawar. Kembara kata yang sedemikian lengang, melalui proses kreatif yang tidak stagnan, mengukuhkan masyarakat sastra terhadap kepenyairannya. Seperti yang dikatakan “Ki Guru” sapaan Bode kepada Acep Zamzam Noor dalam pengantarnya, “Bode Riswandi adalah salah satu dari sedikit penyair muda Jawa Barat yang potensial. Jika saja ia terus menjaga intensitas, mentalitas, dan integritasnya sebagai penyair, saya ramalkan sekali waktu puisi-puisinya akan menjadi penting”.

Sebelum meluncurkan buku tunggal antologi puisi ini, karyanya dimuat di Pikiran Rakyat, Majalah Syir’ah, S. K. Priangan, Tabloid MQ, Puitika, Lampung Post, Bali Post, Koran Minggu, Majalah Sastra Aksara, Jurnal Bogor, Tribun Pontianak. Selain itu, puisinya terkumpul dalam Biograpi Pengusung Waktu (RMP, 2001), Poligami (SST, 2003), Kontemplasi Tiga Wajah (Pualam, 2003), Dian Sastro For President #2 (Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2003), Jurnal Puisi (Yayasan Puisi, Jakarta 2003), End Of Trilogy (Insist Press, Yogyakarta 2005), Temu Penyair Jabar-Bali (2005), Lanskap Kota Tua (WIB, 2008), Tsunami, Bumi Nangroe Aceh ((Nuansa, 2008), Rumah Lebah Ruang Puisi (Yogyakarta, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa antologi Temu Sastrawan Indonesia II (2009), Antologi Penyair Muda Indonesia-Malaysia (2009), dan Antologi Pemenang Sayembara Cerpen Nasional “Sang Kecoak” (Insist Press, 2006).

Diluar kepenyairannya, Bode Riswandi, mengajar di FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Tasikmalaya (Unsil). Bergiat di Komunitas Azan, Sanggar Sastra Tasik (SST), Rumah Teater, dan Teater 28.


Sebagai warga masyarakat Tasikmalaya, kita do’akan saja, mudah-mudahan umur kepenyairan Bode Riswandi, panjang, serta memberi khazanah terhadap perkembangan sastra Indonesia. Amin.

Demikian sejumput mawar tentang sajak dan penyair Bode Riswandi, semoga memberi manfaat untuk kita semua

Lejar Ke Telaga Gelisah

Karya : Dudu AR

Di atas sampan yang tidak melaju sama sekali, kita menenggak secawan masa lalu, persis rinai langit berkecipak dengan sendu. Kemudian, kita mengayuh cerita, kadang berhenti di telaga, lalu labuhkan selibut hati ke limbung masing-masing, semata hanya untuk sepakati tanah pijakan terakhir kali adalah janji sehidup semati.

Sekali waktu aku berbincang denganmu di selasar redup. Engkau meracau seperti burung perkutut di pagi hari. Lalu, kau urai mata air sepi di setiap malam mencumbu temaram hingga remah. "Aku tak sanggup senyap di antara dinding basah, tanpamu", kemudian kau lenyap tanpa jejak.

Entah sebuah isyarat atau serupa bunga mimpi, kau mendadak bercumbu dengan malaikat. Dengan mesra mengecup semburat yang kadangkadang menyilau hingga aku pun lejar ke selasar sadar.

Apakah engkau tak percaya? Apakah engkau ragu? Atas semua janjijanji yang kusiratkan merupa bintang dan sempurna bulan di setiap malam. Mungkin, kau pun tak pernah merasa damai, ketika pelukku hangat di setiap kejora meyalamimu.

Ah, aku semakin meracau, tak bisa kendalikan birahi tanya. Janganlah engkau pergi, sebelum Dia mengutus Izroil yang patuh. Sebab, matahari ataupun purnama akan redup di taman hati, ketika sisa kembara tanpa semerbak melati setiap pagi, tak menghiasi kabut jua embun yang perawan di tubuh gelisah ini.

Tasikmalaya, 09 Juni 2010

Selasa, 08 Juni 2010

MALAM DUA PULUH TUJUH

Karya : D. Dudu AR


#1

Sekelebat semburat makna di ranting malam

menegaskan gumpalan putih-hitam merupa siluet awan

menghidangkan kenangan menunggangi renungan

hembusannya menampar paras kerut, menelusup ke jantung,

sejalan gurat kembara merupa terakota di ceruk jejak


Di lengkung langit, biru merayu kalbu, mengulur

langkah ke lanskap jiwa, memagut tenung

kepada Dia dan benih yang masih bersemayam

di kandung perempuan kota laut utara; cirebon.


Sejenak, bertanya kepada bumi yang hampir musnah

”Adakah taman untuk anakanakku nanti? Sebagai tempat bersenda ceria

Bersama keluarga kecil kami?” Dan matahari memancar ke perut tegun,

gerogoti otak, lalu vertigo, kadang schizophrenia

memintal teguh kepada pucuk kepasrahan semesta

: dunia bukan tempat damai lagi untuk disinggahi


Namun, jarum jam selaras degup jantung

meremas jiwa bila tak mampu menjelujur masa lalu

membentuk jaringjaring masa depan yang mapan

hingga sejahteralah pikir dari selibut kengerian zaman


#2

Getir yang sempat memunggungi temaram

tak lagi menampakkan buncah, acapkali mata rembulan mengerling

kepada selibut malam


Dia anugerahi diri, atas senyap nikmat dari bingar umpatan alam

Saban serpihan langit merinai di kerontang jiwa

mengajak merintih setiap lengkung menekuk

ke buihbuih kelenyapan dari rembulan ke matahari


#3

Pasti ada Tuhan dalam sajakku

penggenggam katakata rindu dan pilu

terukir disetiap semburat tinta

menciprat cerita romansa hingga binasa


Pasti ada Tuhan dalam sajakku

membawa diri ke lautan hindi

hingga bertepi di selasar relung

lalu, deburkan ombak renung kata

berbuih, merenyuh, mengkristal ke langit


Pasti ada Tuhan dalam sajakku

karena, semua siratan makna

kutemukan selepas nakhkodai bahtera

dari samudera jiwa


Pasti ada Tuhan dalam sajakku

Karena aku, lumbung renung


Tasikmalaya, 06 Juni 2010

Kamis, 03 Juni 2010

Sajak Selibut


Karya : D. Dudu AR

O, Langit menjadi malam, matari menjelma bulan, tipis. Di sini aku menggigil di tanduk lindai, karena matamu tak simpai menyimpul lepuh di seringai. Aku nganga menanah!

Menenun malam dengan menguras mata air pikir
bersama labirin shubuh, musnahkan segala peluh dan luruh. Semoga, ketika
fajar menukik ke lembayung, lalu malam mengecup kening yang
mulai ceruk, tak 'kan menggubah setia menjadi kemelut khianat kepadaMu

: aku mulai, memapah, melindai kembara.

Bagaimana tidak, tungku ubunubunku mendidih di setiap bara membabi buta, membakar sepi menjadi rimbun kegalauan. Semakin tidak karuan, ketika kusisir taman gairah malam, hanya peran lukisan disemburat rayuan bulan.

Menari di laut keliru, di jalan lengang yang rindang
Ombak mendebur tujuan di palung kegamangan

Berkecipak selayak ikanikan berpesta
Bersama pendar bulan di kilau kelana
memapah lengang ke hamparan samudera

: Carikcarik puisi damai sentosa, telah kutaburkan di ruang senyap

Lalu, setengah matari merenda mata
Melukis lembayung yang paling relung
Riak gemulai ombak semakin luruh
Lagilagi ke palung rindu.

Sayang, sauh kalbu sejenak rebah di tengah sadrah
Menamparnampar kembara meskipun tak pernah lara

Terkadang gerogoti tubuh yang semakin lupus

Kemudian larung, lenyap, lalu senyap
Limbung bahtera tidak selalu diasinkan

Biarkanlah
lenyap di segitiga bermuda, dan larunglah ke haribaan Lillah

Ya, rupa yang terlukis di lazuardi, adalah engkau sedang bercipratan di telaga berawan, selalu memintal ketegaran lalu mengkristal menjadi kirana pelangi menelungkup gelisah, dan benamkan resah ke perangai malam yang semakin tak indah

Aku ganti payau sepimu dengan sekuntum do'a, kulepaskan dari setelapak rindu, kemudian kutengadahkan persis ke lembayung sembilu

Aku eja ribuan mawar disetiap lamunan. Memagut langit yang hampir runtuh ketika kau kuantar menuju altar .

Di kilau taman hijau, aku melayang ke surau lindap.

Sayang, aku memandangmu setengah purnama. Jangan kau marah, karena akan kuendapkan malam ke lengkung langit. Lalu kejora adalah batasnya.

Meski malam ini adalah sunat, aku tetap larung ke palung hatimu yang kumat atas cumbu yang tidak pernah kiamat. Semoga kita sedekat bara dengan api, dan tak pernah saling mengibiri. Aku mensyukurimu sebagai pendamping selangit malam, meskipun engkau bukan sempurna bulan, kali ini.

Masih tinggi, betah semedi menerawang ke dinding kedamaian.

Selendang putih yang kubaca memilin jenjang lehermu, memendam urat desah malam kelambu.

Akhirnya persembahan putik puitik untuk separuh waktu, menjadi awal penyambutan yang wangi atas keranuman bunga hidup yang hampir mengatup

Biarpun, kantung mata pagi ini, memendam sejumput mawar.

Tak ‘kan pernah pudar untuk menebar semerbak wewangian perawan hari

Mencintaimu langit, berarti mengembara ke bayu sadrah. Terkadang gelisah memberi petuah untuk sejenak rebah di selasar gundah

Di seberang, kedua mata langit tampak tak berbinar, sesempurna celup mewarnai laut. Sepertinya, kegelisahan adalah catatan perjalanan. Yang menyeruak sepanjang nafas hingga lebam, jangan sampai kau kantungi redup. Meraunglah sepuasnya, hingga ruang damai itu ada.

Akan kususur dengan meliukkan busur rindu, hingga membentuk motif menur yang sering membuatmu tafakur.

Setegar bumi yang kutapaki dan seluas langit yang kupandang tanpa ujung. Aku tetap menebar gelepar jantungmu.

Mungkin, terakhir kali kepulan-kepulan remah dari gigil bibirmu adalah memantik kenang meneduhkan. Semoga kau tenang, ketika di ujung kunjungan hanya mengerati pikiran yang sedang runyam.



Tasikmalaya, 02 Juni 2010

Rabu, 02 Juni 2010

“Give Me One Reason”, Tracy Chapman

: Kidung Blues buat Palestine dan Mavi Marmara

Karya : D. Dudu A. R.


Kepada Tuan Zion 1


Apa yang hendak kau semburatkan dari lampion?

Kukuh berratus tahun ngungun merenda bara di api ungun

Memaksa diri menjadi tuhan Matahari di satu negeri


Tak pernah takut melenggang ke tanah berpadang rumput

Tak pernah aus menjulang obsesi merebut genggaman absurd

Tak pernah lupus menyuplai tubuh demi bangsa yang kalang kabut

: angkuh jiwamu sebatu dengan leluhurleluhurmu yang jemawa


Kau berpesta pora menenggak rum darah jelata

Meracau, membabi buta, menebarkan peluru dan bazoka

Di tanah yang sedari dulu diperebutkan oleh kemunafikanmu

: bayibayi, anakanak, remajaremaja, dan tua renta dibantai

Seperti serakan sampah di jalanjalan beraspal tak berdosa


Kepada Tuan Zion 2


O, laknat!


Kau memang umat para nabi paling munafik

Padahal sebuluh dengan manusiamanusia mulia

Lagumu memang selibut, membangkang tak pernah padam

Kepada wahyu yang diusung para aulia Tuhan


O, laknat!


Kau memang musuh nazi yang layak diseret ke parit

Sampai dikubur bersama dendam yang paling kejam

: buncah Hitler atas kesenjangan kemewahan Yahudi


Bukankah diisyaratkan bahwa kamu tak ‘kan pernah memiliki tanah nabi?

Sepanjang bumi ini tegak berdiri di tonggak takdir yang terus mengebiri


Kepada Tuan Zion 3


Adalah kecongkakan tersirat disetiap nafasmu menghirup hidup

Memutar balikkan kenyataan di setiap poros maklumat Ilahi

Tentu, biadabmu saat ini adalah rimbun kejayaan yang sesaat

Tengok saja para pionirmu di masa perang Ahzab, dihukum mati!


Hatimu memang tak memiliki mata, hingga buta memandang damai

Balitabalita Palestine kau pasung kepalanya

Ibuibu mereka kau penggal rahimnya

Lalu, kau tusuk dengan pisau bedilmu, diarak ke sekeliling raya

: kau adalah generasi dajjal paling setia


Kepada Tuan Zion 4


Bercengkrama, mengumpat, menghujat, lalu menghinamu

bukanlah perlawanan arbitrer seperti kau menyembilu nadi militermiliter syuhada

Pedih mereka hari ini, bukanlah jawaban sepanjang hasratmu mendirikan negeri

Pedih mereka hari ini, adalah sangga yang menahanmu di keabadian Jahanam

Ya, karena engkau jelmaan syaitan.


Merenda kelambu disetiap mlam berkawan, kau bercumbu dengan selibut

Yang tak beralasan. Mempersiapkan senjata mutakhir sebagai pesta pembantaian

Esok hari.


Keresahanmu adalah kidung umat Muhammad menggema di seluruh jagat

Ya, karena kau ciut menganga ketika jidatjidat muslimin muslimat legam

Melecut kuasa di tanah suci manusiamanusia Ilahi. Betapa tidak, kerumun jiwa berani mati

Menyimpul tali pemicu bom waktu yang meneror psycho pemusnah umat sepertimu

: resah saban hari, karena jiwa kuat ajaran keselamatan Muhammad tak pernah mati


Kepada Tuan Zion 5


Layar televisi, saban waktu menenun nanar, disuguhi kabar gelimang darah para syuhada

O, Palestin, semerbak tanahmu selepas hujan adalah kedamaian di tenung harapan

Selalu diperebutkan hingga abad menjadi sahabat setiap saat. Tak pernah ada kata sejenak untuk rehat dari perdebatan senjata, bertubitubi menembus tubuh umat yang lelah, lalu gamang

Atas kemerdekaan yang seharusnya tersematkan


Lagi, warta pagi tak bosan mengabari semilir angin, sepoi melindap ke batin

Namun sesaat merajam ulu atas kebiadaban ituitu melulu


Mavi Marmara, pembawa pesan damai relawanrelawan dari setiap arah mata angin

Meluncur dari heli, menelusup ke palka, lalu, pelurumu merembes ke asa

Para mujahid tak bersenjata. Kau melibihi binatang belantara, mencabikcabik kesetiakawanan

Atas nama kemanusiaan. Bagimu, hak asasi adalah anekdot dalam setiap guyon binalmu

Tentu lucu untuk kau tertawakan sepanjang padang kebiadaban yang terpampang

Disetiap baligo kebobrokan jiwajiwa munafik yang hidup di lengkung jalan tanah orang


: kau bantai juga atas nama kecurigaan yang tidak berdasar


Tasikmalaya, 31 Mei 2010