Larung ke relung kata, mendaki ke pucuk makna, lejar ke langit jiwa, lalu bersedekap menafsirkan diri.
Rabu, 29 September 2010
Penantian 1
: Fiorenza Fahrasha Jilanzhiya
Dihadapan ayat Tuhan dan kidung blues langit siang
hujan tetap jatuh merembes pada relung yang juga tak pernah reda
menerawang tangisan pertama sang biduan jelita
di pundak perempuan yang sekokoh Tectonia grandis
Di sini, di balik jendela harapan selalu gulana
jika membayangkan benih yang tentu sudah matang dipetik buahnya
dari taman perawan yang lindap, tanpa disaksikan tuannya.
Jelas sekali engkau bergelayutan pada ranting bulan
dimanjakan tiupan angin hingga ke sana ke mari engkau riang
tentu engkau betah di bundaran utara yang hening dan bening
2010
Rabu, 22 September 2010
Pada Suatu Pertigaan Malam
Karya : D. Dudu AR
Endapan pada relung yang sudah kumat
menjadi serimpung busuk saban kembang tujuh rupa tak lagi wangi
Kemudian palung kaldera yang sudah tua
menampani letupan-letupan kawah setiap hati remah
sebenarnya, benarkah taburan kata di langit selamanya berbinar?
Pada suatu pertigaan malam
jalan mendadak lenyap menegaskan getir kembara
menjadi sebuah peta yang tak berjarah
Ceruk buntu
Labirin sunyi
adalah ruang persemayaman saban gelisah
sungguh suatu anugerah
ketika mata air menghilir ke muara petuah
melumerkan batu-batu di pikiran dangkal
karena endapan yang tadinya kebal, luluh lantah
pada kesejatian tafsir ayat-ayat yang benar dan bertuah
kesesatan adalah kelangkang menuju hakikat kebenaran
2010
Surat Buat Penggawa
Karya : D. Dudu AR
Pada kantung mata yang cembung, apakah pandangan menjadi rabun ?
Di sini, di kolong jembatan bayi-bayi lahir dari perut kempes
Hembuskan nafas pertama dengan menghisap asap pekat knalpot
Kemudian merembes pada palung dadanya yang tuberculosis
Di sini, di pinggiran kota para jelata menyucikan tubuhnya
Dengan air comberan yang membaur dengan sisa kotoran
Dari perut-perut buncit yang sehat
Sementara mereka memungut sampah dari kali-kali
Sebagai makanan sehari-hari
Di sini, di gubuk-gubuk yang berdinding kardus dan beratap langit
Tubuh-tubuh pasi menggigil mengharapkan selimut hangat yang
Berasal dari wol keadilan, namun penantian itu tak kunjung datang
Hingga sekarat adalah jawaban
Di sini, di rimba hutan yang masih perawan
Sebentar lagi menjadi rebutan mata keranjang para kolega
Hingga diperkosa berkali-kali, dan ditinggalkan setelah kepuasan hegemoni terpenuhi
Di sini, di tanah yang katanya bambu saja bisa tumbuh
Para pencari nafkah selalu menemui jalan buntu
Untuk menghidupi keluarganya yang menanti sampai mati
2010
Padahal Engkau Sempurna Bulan
Karya : D. Dudu AR
Masih kusaksikan tawar-menawar harga nyawa seperti di pasar
ada yang harganya seperti cabai ataupun daging gelondongan
masih kusaksikan tubuh-tubuh mutilasi pada cawan bulan suci
ada yang tanpa kepala, kaki, tangan, hati, ginjal, dan dicincang tanpa basa-basi
Ceramah saban pagi hingga kultum sebelum magrib di televisi
belum mampu melerai hawa nafsu para pemulung harta yang parlente
nadoman-nadoman para mua’dzin dari balik toa seolah-olah jeda saja
untuk menghentikan kelalaian, sementara para pecinta musik dangdut, jazz, blues ataupun lagu presiden yang fanatik, terbuai di angan dan khayal
Pantas saja engkau pergi seperti kilat pada musim hujan
meninggalkan jiwa-jiwa keropos yang menampik kebenaran
pada langit-langit selaras malam. Padahal engkau sempurna bulan!
: wahai bulan paling purnama di lejar hijriyah, engkau terlau cepat menghilang
meninggalkan resah ketika rindu mendekapmu adalah siluet malam
gemulaimu belum puas kunikmati sampai keringatku merembes pada daun kesetiaan kepada Tuhan
2010