Senin, 30 Mei 2011

Pertemuan yang Dipisahkan Takdir

(Dua Ratus Kata tentang Kahlil Gibran)

Oleh : D. Dudu AR

Membaca buku Sayap-sayap yang Patah, membawa pembaca kepada prosa-prosa yang menceritakan perjumpaan Gibran dengan laki-laki tua yang berusia enam puluh lima tahun yang dikenalkan temannya. Keduanya semakin akrab dan erat ketika orangtua tersebut mengaku sebagai teman Ayah Gibran. Menurut pengakuan Faris Effandy Karamy, sudah 20 tahun tidak bertemu dengan kawan lamanya itu. Bertemu dengan Gibran, pria tua itu melihat paras sahabat masa lalunya. Perbedaannya, Gibran lebih bercahaya ketimbang Ayahnya. Dari kehangatan Faris, membuat Gibran sering berkunjung ke rumahnya.

Mawar-mawar pun kuncup ketika Gibran menikmati kedalaman jiwa Selma Karamy, Puteri Faris Effandy karamy, yang membuatnya luluh menakjubi keanggunan jiwa raganya. Bahasa santun, perangai lembut, dan turut kepada orangtuanya. Selma semakin dikagumi Gibran bagai surga dari penjara. Sebab, perempuan menawan tersebut telah dipinang oleh laki-laki keponakan seorang Uskup yang hipokrit, tiran, dan menjual ayat-ayat kepada rakyat dengan dalih kebenaran atasnama agama.

Sebenarnya, Faris Effandy Karamy, lebih menyukai perangai Gibran ketimbang Mansour Bey Galib, keponakan Uskup sekaligus calon suami Selma. Namun, tidak ada daya untuk menolak. Sebab, jika penolakan lamaran Mansour terjadi, keluarga Selma akan dihina dan dihujat masyarakat. Masyarakat terlanjur hormat kepada pihak Mansour dan Uskup. Padahal mereka adalah orang-orang bejat yang mengatasnamakan agama sebagai tameng kejahatannya.

Selma meninggal sesudah melahirkan putera pertamanya yang dinanti-nantikan sejak lama dari pernikahan Mansour. Buku ini mengupas tuntas pengembaraan Gibran pada keagungan jiwa yang membawanya semakin terbang meskipun dengan tertatih-tatih menghayati Selma Karamy sebagai kekasih tanpa raga. Selma Karamy terbang dengan sayapnya yang patah di hati dan jiwa Gibran.

Kau adalah Cahaya Bunga Kedamaian dari Tuhan, Zhia!


Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.

28 November 2009 adalah hari bersejarah dalam hidup. Betapa tidak, pertama kali mengucapkan ijab kabul kepada ayah seorang perempuan yang sekarang menjadi isteriku adalah jawaban Allah SWT atas do’a yang selama ini dipanjatkan. Dialah takdirku, jodohku. Setidaknya sampai detik ini; sakinah, mawadah, dan warahmah menjadi langit siang dan malam. Begitu juga malam pertama yang syahdu, kenikmatan yang dijanjikanNya kepada umat yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW, begitu indah dan penuh keberkahan.

Waktu merambat cepat, siang dan malam menjadi pelayaran yang membawa kami menuju pulau-pulau menawan nan indah. Perjalanan bahtera baru kunakhodai bersama perempuan yang aku cintai. Priska Pramudita yang menurut pada suami, berkerudung, dan selalu menyambut kepulanganku, adalah obat rindu yang melenyapkan letih perjalanan Tasikmalaya-Cirebon setiap satu pekan sekali.

Aku bekerja sebagai guru sekolah dasar di Tasikmalaya, begitu juga isteriku yang mengabdi kepada negara sebagai guru sekolah dasar di Cirebon. Karena tuntutan kerja, aku dan isteri terpisah waktu dan ruang. Paling, satu minggu sekali baru bisa menemuinya di seberang. Berat memang, tapi ini adalah proses yang harus dinikmati sebagai garis hidup yang mudah-mudahan menjadi pahala yang berlipat-lipat. Justeru, semakin mendewasakan kami dalam menyikapi hidup yang rentan cobaan. Seperti hubunganku dan isteri yang berjauhan adalah ujian yang harus disikapi dengan sabar dan ketabahan. Jika Tuhan sudah berkehendak, pasti kami dipersatukan. Aku pasrahkan kepadaNya.

Februari yang anak muda bilang bulannya kasih sayang, menjadi waktu yang digirangi semua orang. Termasuk aku, tapi bukan karena Valentine Day. Di suatu Shubuh Februari 2010, handphoneku berdering. Isteriku menelepon dengan nada sumringah, mengabarkan bahwa dirinya positif hamil setelah tes urine. Alhamdulillah, atas nama Allah SWT, aku bersyukur. Sebab, aku dilimpahkan keberkahan, kepercayaan, dan rezeki dariNya yang langsung menganugerahkan calon anak, beberapa bulan setelah pernikahan.

Sembilan bulan menunggu, tak sabar menanti buah hati tercinta. Laki-laki atau perempuan, sama saja. Aku syukuri apapun yang direstui dan yang diberikanNya. Yang penting calon anak tersebut sehat rohani dan jasmani.

Kamis pagi, 30 Oktober 2010. Isteriku mengalami kontraksi, sementara aku masih melaksanakan tugas mengajar di Tasikmalaya. Aku minta izin kepada kepala sekolah, karena ingin menyaksikan kelahiran anak pertama. Hari itu juga, aku berangkat menggunakan sepeda motor, sekitar pukul dua siang. Selama perjalanan hati berdebar kencang, kadang konsentrasi mengendalikan kendaraan terganggu. Hati ini tidak bisa dibohongi karena kegirangan menyambut calon anak pertama yang ditunggu-tunggu.

Magrib, aku baru tiba menuju tempat tinggal di Perumnas Bromo Cirebon. Lalu melihat kondisi isteri. Ternyata masih pembukaan satu. Syukur masih ada kesempatan untuk mendampingi sampai pembukaan terakhir. Artinya ke pembukaan sepuluh masih bisa disaksikan sebelum jabang keluar.

Malam Jum’at, sekitar pukul 21.30, isteriku mengalami kontraksi hebat. Aku Segera membawanya ke bidan sekitar 500 meter dari tempat tinggal. Bidan mengatakan, isteriku melahirkan kemungkinan besok pagi. Karena kontraksi dari pembukaan satu sampai terakhir membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Kalau tidak salah perhitungan, berarti pukul 09.30 pagi, isteriku sudah bisa melahirkan.

Waktu semakin menelusur menuju pusaran malam dihiasi rintihan sang isteri yang semakin kesakitan. Tidak tega, namun itulah kodrat perempuan, yang diberi kepercayaan Tuhan untuk mengandung bayi selama sembilan bulan. “Astaghfirullahal’adzim, Subhanallah, Allahu Akbar”, berulang-ulang dalam perih kontraksi, isteri melantunkan puji-pujian kepada Yang Esa dengan ketulusan. Sungguh takjub dan membuatku luruh dan semakin tenang mendampingi isteri tersayang.

Lantunan adzan shubuh berkumandang, isteriku istirahat sejenak. Aku pun tidur sebentar selepas shalat, sekitar satu jam. Karena pagi hari, isteriku kembali kontraksi. 09.30 pagi tiba, isteriku masih pada pembukaan enam. Bayi dalam kandungan masih belum siap keluar, karena pembukaan minimal di pembukaan delapan. Mungkin harus bersabar menuju detik-detik kelahiran. Meskipun sisa pembukaan tinggal tiga tahap lagi, kemajuannya lambat. Sebab, sampai pukul tiga sore masih belum ada tanda-tanda melahirkan.

Langit sore yang tadinya cerah dan lindap, tiba-tiba gelap pekat yang membuat hatiku semakin terhenyak dengan tanda-tanda alam yang dalam pikiran burukku mungkin sedang memberi isyarat kurang baik. Kenyataannya, isteriku kehabisan nafas dan lemah untuk mengeran, mengeluarkan bayi kami. Benak semakin bergemuruh bersamaan suara kilat yang semakin lejar di antara langit dan bumi. Sejenak, aku pasrah jika diantara mereka atau keduanya harus kembali ke haribaan Tuhan. Aku bujuk Tuhan dengan do’a dan shalat dua raka’at untuk memberi kesempatan kepada isteri dan calon anakku berkumpul denganku di dunia.

Bidan pun menyarankan untuk membawa isteriku ke rumah sakit. Sebab, keadaannya agak buruk, dan kemungkinan besar, bayinya terlilit tali pusar. Firasat benar, sore itu terjadi puting beliung yang menghiasi usaha terakhir isteriku mengeran dan mengeluarkan anak pertama kami. Sebelum bidan benar-benar menyerah, beliau mencoba membantu untuk terakhir kali. Dalam usaha terakhir tersebut, tiba-tiba lampu kamar persalinan mati. Bidan menyuruh handphone dalam sakuku dinyalakan untuk menerangi pintu kehidupan bagi bayi kami menuju dunia. Sementara angin semakin kencang menyibakkan pepohonan di depan rumah bidan. Setelah beberapa saat perjuangan yang dramatis, kekhawatiran pecah menjadi sebuah kado yang mahal dari Tuhan. Dorongan bidan untuk menyuruh isteriku terus mengeran, membuahkan hasil dengan tangisan pertama puteri kami. Lalu kuciumi isteriku dengan kasih dan air mata bahagia. Tanpa gebukkan bidan pada bokong puteri pertama kami, tangisannya menggema pada hari Jum’at, 01 Oktober 2010, pukul 16.30 di ruang kamar yang sedikit sempit itu.

Fiorenza Fahrasha Jilanzhiya adalah cahaya bunga kedamaian dari Tuhan. Nama dan makna tersebut sudah kupersiapkan sebelum kelahirannya. Meskipun satu nama yang lain juga sudah dipersiapkan, jika bayi yang keluar anak laki-laki. Aku sangat bersyukur atas anugerah Tuhan yang memercayakan seorang anak perempuan kepada kami. Sebab, jika anak pertama adalah perempuan, biasanya bijak mengurusi adiknya. Atau, jika kami sudah tua renta, bisa menjaga kami dengan telaten dan bertanggung jawab. Anak laki-laki biasanya mengembara, sebab tuntutannya adalah menjadi seorang imam keluarga.

Setelah hujan mereda, saudara-saudara dan tetangga menjenguk dengan membawa kekhawatiran pada puting beliung saat persalinan. Tapi, mereka juga bersyukur karena isteri dan anakku selamat dan sehat. Lantunan do’a dan ucapan selamat pun menyertai mereka berdua.

Dalam keadaan takjub, terkejut, dan campur aduk, kuhampiri puteri pertamaku dengan kidung adzan dan do’a-do’a yang mudah-mudahan dijauhkan dari godaan syaitan yang mengikutinya. Selepas ketegangan lebih dari 24 jam itu, kekhawatiran belum usai. Sebab, tangisan-tangisannya agak tidak biasa untuk bayi yang baru keluar menghirup udara dunia. Tangisannya bernada kesakitan. Bidan merasa heran, karena badannya sudah dihangatkan, tapi tangisannya selalu meringis. Maka dari itu, bidan belum menyuruh kami membawa bayi pulang.

Sehari kemudian, bidan khawatir, sebab anakku tangisannya masih merintih, seperti merasakan kesakitan. Barangkali, pada saat keluar tubuhnya terlilit tali pusar yang mengakibatkan tubuhnya kesakitan. Karena bidan tidak mau mengambil resiko, maka bidan mengajak kami ke rumah sakit untuk memeriksanya.

Namun sayang, tiba di rumah sakit, dokter spesialis anak sudah pulang. Terpaksa harus dirawat 3 hari menunggu hari senin. Tangan mungilnya harus ditusuk jarum untuk diinfus beberapa hari. Kerinduan kami harus ditahan beberapa malam, sebab pihak rumah sakit tidak memperbolehkan kami untuk menunggui atau menjenguknya kecuali atas perintah dokter spesialis. Dua malam, tiga hari, kami menunggu kedatangannya kembali. Dan hari-hari itu terasa lama sekali, meskipun hanya beberapa saat.

Handphone pun berdering dari pihak rumah sakit. Bayi kami diperbolehkan pulang, sementara para tamu menunggu di rumah. Seperti biasa ucapan selamat dan do’a menyertai anak pertama kami. Ketika mereka bertanya nama puteri kami, agak terperangah dan merasa sulit mengejanya. Maka aku ceritakan makna di balik namanya : Fiorenza Fahrasha Jilanzhiya, aku ambil dari bahasa arab dan jerman, yang artinya cahaya bunga kedamaian dari Tuhan. Karena pada saat kelahirannya terjadi puting beliung dan mengakibatkan aliran listrik mati, maka kegelapan di detik-detik kelahirannya menjadi sebab bahwa dia adalah cahaya bagi dirinya dan yang menyaksikan perjuangan hidup dan mati saat itu. Dan mungkin Allah SWT merestui nama yang kami sematkan kepada puteri kami, karena sebelum kelahirannya sudah kami tulis, dan syari’atnya dia adalah cahaya yang lahir dari kegelapan. Mudah-mudahan nama tersebut selalu menjadi do’a dan cahaya jika dia dalam kegelapan hidupnya. Panggil saja anakku Zhia (Cahaya), saudara-saudara!

Kematian di Atas Batu Nisan Ibu

Oleh : D. Dudu AR

Persimpangan yang mengantarkan langkah pada ujung jalan yang salah adalah pilihan hidup setelah didrop out pihak sekolah beberapa tahun silam. Roni kedapatan membawa ganja pada saat razia narkoba. Dan terpaksa harus duduk di meja hijau. Setelah diputuskan bersalah oleh pihak pengadilan, Roni mengenyam hukuman selama tiga tahun.

Satu-satunya keluarga yang ditinggalkan adalah ibunya yang sakit keras. Masa-masa hukuman di balik jeruji menjadi pukulan telak yang harus dilewati. Penyesalan diraut wajahnya semakin mengerut, ketika kabar ibunya telah bersemayam di samping kubur bapaknya yang lebih dulu meninggal setelah menjadi korban pembunuhan mafia narkoba. Bapaknya terlalu banyak hutang kepada bos ganja daerah itu, hingga harus membayarnya dengan nyawa. Dan Roni tidak dapat menyaksikan jasad ibundanya yang terakhir kali. Sebab, harus menghabiskan masa hukumannya.

Sebenarnya, Roni anak yang berbakti kepada orang tua. Namun, Roni memilih mengedarkan ganja di jalanan dekat Kali Cimulu untuk membiayai ibunya yang sakit keras. Tekanan ekonomi memang bisa membuat seseorang menjadi buta melakukan hal yang benar. Termasuk Roni, karena desakan begitu kuat, memaksanya membanting tulang pada jalan buntu karena hasilnya yang cepat. Belum utang bapaknya yang harus dibayar.

”Van, bagaimana kubur ibuku sekarang?” Dengan suara parau, Roni ingin mengetahui keadaan kubur ibunya pada saat dikunjungi Ivan.

”Kuburan ibu-bapakmu dirawat oleh salahseorang penjaga kuburan. Tenang saja, saya membayarnya setiap bulan. Tidak mahal, kok!” Tegas Ivan.

Ivan adalah sahabat kecilnya yang sampai detik ini masih menjadi sahabat setia Roni. Kedatangan sahabat, sedikit menenangkan hatinya yang hancur. Ivan memiliki jasa besar bagi Roni, sebab bantuan-bantuannya sangat berarti, termasuk motivasi untuk keluar dari kehidupan jalanan yang kelam. Keluarga Ivan memang mujur. Latar belakang dari keluarga yang serba ada tidak membuatnya congkak. Bersahabat dengan Roni, membuat dirinya bangga memiliki sahabat yang sudah mengajarkan tentang kehidupan yang keras di jalanan. Yang membuat takjub Ivan kepada Roni, karena perjuangannya menghidupi keluarga, terutama perawatan ibunya, tanpa kenal lelah. Dan justeru, karena Ronilah Ivan mampu membaca Al Qur’an. Sebelum terjerumus ke dunia hitam, Roni sering mengajarkan anak-anak mengaji di madrasah dekat rumahnya.

Tiga tahun berlalu, Roni keluar tahanan tanpa disambut keluarga, kecuali Ivan. Sebelum matahari beranjak menuju senja, Roni berziarah ke makam ibu-bapaknya bersama sahabat setianya itu.

”Assalamu’alaikum ibu-bapakku, maafkan perbuatanku yang telah menyengsarakan kalian di dunia. Selama ini, aku menjadi pengedar ganja hanya untuk membayar perawatanmu, ibu. Aku menjadi pengedar ganja hanya untuk membiayai hidup, termasuk sekolah. Jika bukan karena hutang bapak, mungkin tidak akan terjerumus di jalan karena ekonomi yang buruk. Semoga kalian diberi kedamaian olehNya. Semoga kalian tenang di alam sana”.

Lembayung masih menggantung di langit selepas adzan Magrib berkumandang. Roni diajak Ivan untuk menginap di rumahnya. Ivan memang sangat baik kepada Roni. Sebab itu, Roni merasa heran dan tak mampu membayar atas kebaikan dan jasanya.

”Ron, aku akan pergi ke Jakarta besok pagi, karena lamaranku diterima oleh perusahaan besar di sana”, Ivan membagi kabar gembiranya kepada Roni.

”Syukur kalau begitu. Kamu orang baik, jadi wajar jika Tuhan memberikan nasib baik kepada orang sepertimu”.

”Amin, terimakasih Ron”.

”Semoga kamu bisa menjaga diri baik-baik di sana, jangan pernah terbujuk godaan yang berakhir buruk seperti kehidupanku”, Roni menambahkan wejangan untuk mengantar kepergiaan temannya itu esok pagi. Waktu mulai menelusur ke pusaran malam, kemudian membawa mereka ke tempat istirahat untuk menjemput hari esok yang lebih baik.

”Terimakasih Ron, sudah mengantarkanku”.

”Iya, sama-sama. Jaga diri baik-baik, ya?”

”Iya, kamu juga”.

Setelah Ivan melambaikan tangan dari balik kaca bus yang mengantarkannya ke Jakarta. Mereka berpisah. Roni kembali ke rumah. Melihat rumahnya yang tidak terawat, Roni memulai hari itu dengan membersihkan ruangan-ruangan rumahnya dari sarang laba-laba. Rumah gubuk yang beberapa meter dari Kali Cimulu adalah warisan satu-satunya sepeninggal kematian orang tua.

Kabar keluarnya Roni dari penjara, terdengar sampai ke telinga teman-teman kelompoknya yang sama-sama mengedarkan ganja di jalanan.

”Tok.. tok. Tok.., Ron, Roni! Buka pintunya!” Suara ketukan dan panggilan dari balik pintu mengagetkan Roni selepas shalat Magrib. Suaranya tidak asing bagi Roni. Dan benar, ketika pintu dibuka, empat kawannya yang satu kelompok pengedar ganja di jalanan, menyambut dan mengucapkan selamat kepada Roni karena sudah keluar dari penjara.

Tanpa panjang lebar, mereka ngobrol layaknya di pasar tentang penjara dan perkembangan edaran ganja di jalanan. Roni dipaksa oleh keempat kawannya itu untuk kembali mengedarkan ganja. Meskipun Roni menolak mentah-mentah, mereka tetap memaksanya agar mengantarkan ganja yang dibawa saat itu, dijual di Bandung.

Tolakan Roni tidak lama, karena dilema. Roni memang memiliki hutang besar kepada Bos ganja yang pernah memberikan pinjaman untuk merawat almarhum ibunya dan sisa hutang bapaknya. Karena Roni belum mampu membayar sampai keluarnya dari penjara, terpaksa dia lakukan yang diniatkan untuk terakhir kalinya. Jika Roni berhasil membawa setengah karung ganja kering ke Bandung. Maka hutangnya kepada bos ganja, impas.

Selepas shalat Shubuh ketika orang-orang masih lelap dalam tidurnya, dua hari setelah keluar dari penjara, Roni bergegas pergi ke terminal untuk mengantarkan setengah karung ganja kering yang dipesan oleh seseorang di Bandung, sesuai pesanan dari Bos ganjanya. Perbuatan yang disesali hingga membuat dirinya tinggal di hotel prodeo, terpaksa dilakukan demi melunasi hutangnya. Namun baru seratus meter dari rumah, Roni dikagetkan perintah seseorang untuk menghentikan langkahnya.

”Roni, hentikan langkahmu! Lempar karung di tanganmu dan angkat tanganmu!”

Roni lupa bahwa dirinya masih diawasi oleh pihak kepolisian, karena keluar dari penjara masih berstatus bebas bersyarat. Setelah sedikit menengok ke belakang dan tanpa berpikir panjang, Roni langsung lari menuju bibir Kali Cimulu. Lalu menelusup ke semak-semak menuju pemakaman yang tidak sadarinya. Diiringi tembakan peringatan, Roni semakin mengencangkan larinya hingga peluru menembus dada kirinya. Roni pun terseok-seok dan kandas pada kecepatan peluru yang mengakhiri hidupnya. Roni tersungkur di atas sebuah kuburan. Pada nafas terakhirnya, Roni membaca sebuah nama pada batu nisan atas nama ibunya. ”Maafkan aku, ibu!” eTerakhir kalinya Roni melepaskan kata-kata.

Mayat yang dikerubungi para pejalan dan orang-orang yang sengaja berhenti untuk melihatnya, membuat hati Ivan terhenyak. Bagaimana tidak, kabar mayat yang diberitakan di televisi itu ternyata kawannya. Pagi itu sebelum kematian, Roni menelepon Ivan, dirinya akan pergi ke Bandung untuk mencari pekerjaan di sana.

Karena Aku Menjadi Guru


Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.

Tidak menjadi jaminan ketika seorang sarjana pendidikan guru sekolah dasar interest bahasa dan sastra Indonesia UPI Kampus Tasikmalaya, seperti saya, mampu menulis. Kuliah mengambil jurusan PGSD interest bahasa dan sastra Indonesia hanyalah menghindari interest-interest exact saja. Saat itu, mengenyam proses perkuliahan tidak terlalu diminati, apalagi berhubungan dengan teori-teori menulis, puisi, cerpen, unsur bahasa; semantik, sintaktik, fonologi, fonem, gramatikal, morfologi, dlsb. Tetapi, berhubung tuntutan kuliah, terpaksa harus menyimak agar melewati semester-semester dengan mulus dan menghadapi ujian dengan lancar, serta mampu menghadapi sidang skripsi. Itu saja.

Yang on fire pada masa perkuliahan, justeru berproses kreatif di bidang musik; mengikuti festival musik lokal maupun nasional, membuat album kompilasi indie, dan mengisi acara-acara musik lainnya. Terkadang mengabaikan perkuliahan, karena ingin mengejar obsesi menjadi seniman musik “mayor label”. Jejak yang masih mengabadikan perjalanan di dunia musik adalah kumpulan lirik-lirik yang sudah usang. Yang tidak disadari saya adalah ketika menulis lirik. Orientasi menulis lirik pada saat itu merupakan kebutuhan pembuatan lagu, tidak terlalu berpikir ribet tentang kemampuan menulis itu sendiri. Artinya, menulis lirik juga merupakan bagian dari kegiatan nyastra bukan? Dan menulis lirik sebenarnya sudah dilakukan pada masa SMU. Tapi, belum cukup untuk dijadikan bekal terampil menulis.

Lalu, Tuhan menakdirkan saya menjadi pegawai negeri sipil alias guru di salahsatu sekolah dasar Kota Tasikmalaya. Tugas menumpuk di kantor, memikirkan inovasi pembelajaran, membina siswa yang tertinggal, dan banyak administrasi-administrasi yang harus dikerjakan. Kegiatan bermusik pun pada akhirnya surut dan tidak bisa diintensifkan lagi, karena alasan pekerjaan.

Menjadi pegawai harus patuh kepada aturan dan atasan, yang artinya mengajar dan mengerjakan semua administrasi seorang guru kelas adalah hal utama. Itulah sebabnya, kegiatan bermusik tersendat dan mati. Kemudian, kesepian tanpa kegiatan yang diminati (bermusik) lambat laun hilang. Keseharian menjadi gampang jenuh. Karena hal tersebut, jiwa seni saya merasa terkekang dan tidak bisa dicurahkan.

Ketika pressure hebat dari resiko pekerjaan guru yang harus memberikan tauladan, inovasi pembelajaran, dan hal-hal positif bagi kemajuan pendidikan menjadi keseharian, membuat jiwa merasa prihatin dengan kenyataan pendidikan di lapangan. Melihat kompetensi siswa yang jauh harapan dari kurikulum tingkat satuan pendidikan sekolah dasar dan kompetensi serta profesionalitas guru kurang berkembang, membuat jiwa saya tersentuh untuk berniat meningkatkan profesionalisme pribadi sebagai guru. Artinya, berpikir keras untuk meningkatkan kemampuan siswa sesuai instruksi kurikulum dan meningkatkan kinerja serta profesionalitas.

Salahsatu tindakan yang dilakukan adalah membiasakan siswa menulis agar terampil berbahasa. Sebab, menulis bisa dilakukan setelah siswa mampu membaca, menyimak, dan berbicara. Ketiga aspek tersebut merupakan landasan kuat agar terampil menulis. Bagaimana mungkin seorang guru mampu membelajarkan keterampilan menulis kepada siswa? Sementara guru itu sendiri tidak memiliki kemampuan menulis. Pertanyaan yang datang dari lubuk yang paling dalam tersebut, menjadi pelecut untuk memulai membiasakan menulis. Inilah awal yang paling substansial selama ini untuk meriwayatkan apapun yang berhubungan dengan pendidikan dalam tulisan.

Meskipun sempat kuliah di jurusan pendidikan guru sekolah dasar interest bahasa dan sastra Indonesia, tetap saja kebingungan ketika memulai menulis. Berhubung niat untuk menulis kuat, kebingungan tadi tidak membunuh keinginan untuk memulainya. Diawali dengan membuat puisi, lalu cerpen, kemudian artikel, esai, dst. Setelah enam bulan kemudian berproses kreatif, saya merefleksi semua karya tulis tadi, dan ternyata masih banyak kekurangan mulai dari; EYD, tata bahasa, unsur semantik, sintaktik, penulisan baik dan benar, dlsb. Kekurangan-kekurangan tersebut menjadi pembelajaran penting dalam keterampilan menulis saya selama ini.

Dan perjuangan tidak berhenti di sana, membuka kembali buku-buku kuliah yang berhubungan dengan bahasa dan sastra Indonesia, membaca teori-teori menulis, dan larut ke cyber sastra di media online, lalu diskusi bersama mereka merupakan langkah yang dilakukan setelah enam bulan mencoba menulis. Hasilnya lumayan signifikan, setelah banyak berdiskusi, perubahan dalam tulisan mengalami peningkatan.

Hingga pada suatu hari, saya ingin sekali mencoba mengirimkan artikel pendidikan ke sebuah media cetak lokal, namun tidak mudah ternyata sebuah tulisan yang sesuai dengan kriteria seorang redaktur. Seorang redaktur memiliki kriteria sendiri untuk memuat sebuah tulisan pengirim. Beberapa bulan mengirimkan tulisan ke media cetak tersebut, belum juga dimuat hingga hampir membuat putus asa untuk meneruskan keinginan untuk menulis.

Tetapi, sekali lagi, berjiwa besar untuk introspeksi diri terhadap karya yang telah dibuat adalah salahsatu sikap kesadaran saya untuk merevisi setiap tulisan yang pernah dikirim ke media cetak. Dan, benar sekali ketika membaca kembali karya tulis saya, banyak kalimat-kalimat rancu, koherensi yang tidak nyambung, serta terlihat tergesa-gesa dalam menuliskan wacana. Pelajaran penting yang saya dapatkan dari sikap ini adalah jangan pernah merasa puas dengan karya yang terkesan “sempurna” menurut pendapat sendiri. Karena ternyata, ketika seorang redaktur atau ahli bahasa membaca karya tulis kita akan mempertimbangkan kelayakan sebuah tulisan dari berbagai aspek bahasa untuk dimuat. Ketat sekali, bukan?

Intinya, menulis bukan serta merta mencatat saja. Tetapi, menulis juga harus memiliki tujuan dan kesadaran untuk selalu berproses kreatif agar layak dibaca. Perlu perjalanan panjang untuk terampil “memainkan” kata-kata hingga bermakna serta enak dibaca oleh pembaca. Solusinya adalah banyak membaca peristiwa dan literatur, kemudian terus-menerus menulis.

Pada akhirnya, suatu hari saya mengunjungi seorang redaktur media cetak lokal untuk berdiskusi. Tujuan kedatangan saya saat itu adalah membicarakan ruang di media cetak terhadap karya sastra siswa-siswi atau tulisan-tulisan pendidikan. Karena selama ini ruang untuk pelajar dan guru di media cetak, sangat kecil. Alasan tersebut saya utarakan, karena pelajar dan guru yang memiliki minat menulis “kebingungan” ketika tulisannya ingin dikirimkan. Artinya, media juga bertanggung jawab mendukung dunia pendidikan, salahsatu tindakannya yaitu meningkatkan kompetensi menulis guru dan pelajar, serta memberi ruang. Agar budaya menulis diharapkan berkembang ketika ada ruang untuk mengekspresikannya.

Setelah panjang lebar diskusi, saya dan redaktur tersebut sepakat untuk mengkhususkan rubrik pendidikan bagi pelajar dan guru. Malah satu minggu sekali, saya dan redaktur itu berdiskusi terhadap perkembangan minat menulis guru dan pelajar, serta tentang menulis itu sendiri. Semakin berkembang pembicaraan, semakin luas pula visi misi yang sama tentang dunia tulis menulis. Karena beliau memiliki agenda kegiatan jurnalis setiap minggu ke sekolah-sekolah, saya pun diajak untuk melihat dan diharapkan ikut serta membantu dalam kegiatannya. Semata-mata untuk pengalaman saya sendiri agar senantiasa termotivasi dan meningkatkan keterampilan menulis melalui kegiatan jurnalis.

Duddy RS adalah salahsatu redaktur media cetak lokal itu, beliau mengajak saya untuk bergabung di Citizen Journalism Forum. Perkenalan saya dengan beliau sangat mempengaruhi perkembangan menulis. Sebab, dengan mengikuti kegiatan jurnalis itu, saya semakin mengasah kemampuan menulis. Selama bergiat di CJF; sering berdiskusi, mengadakan workshop menulis, dan kegiatan jurnalistik, membuka wawasan saya bahwa menulis dapat ditingkatkan melalui kegiatan jurnalistik. Maksudnya, jurnalisme bukan milik wartawan saja. Tetapi, siapa pun yang ingin menulis di berbagai media adalah hak khalayak. Karena, berdasarkan pengertian jurnalisme wikipedia.org adalah Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. Jadi, kalau ingin menulis, tulis saja peristiwa yang ada di sekitar.

Berangkat dari pengertian pengertian jurnalisme di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa catatan kejadian atau peristiwa sehari-hari merupakan bahan atau data untuk diendapkan dalam pikiran kemudian dituangkan setelah direnungkan ke dalam tulisan. Memang, kegiatan jurnalistik dalam opini publik identik dengan kegiatan seorang wartawan. Namun, tidak hanya wartawan saja; warga biasa, guru, dan apapun statusnya, jika menulis adalah sebuah dorongan untuk menuangkan setiap kejadian dalam hidup adalah hak siapa pun. Tidak semua tulisan bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik. Pembeda diantara keduanya adalah kriteria saja; esai, artikel, resensi, laporan budaya, dan sebagainya. Tetapi, jika membicarakan tentang jurnalisme, pasti hubungannya dengan menulis.

Hingga setahun kemudian, tidak terasa perjalanan untuk memahami dan berproses kreatif mengembangkan kemampuan menulis, semakin dihayati dan tidak pernah berhenti menulis ketika ide-ide muncul; mulai ide sederhana yang faktual, aktual, fiksi, dlsb. Karena menurut Saeful Badar (jurnalis, budayawan, dan penyair Kota Tasikmalaya): Menulis adalah menulis. Artinya dilewati setelah kita melakukan membaca. Kita tidak mungkin bisa menulis tanpa kita mampu membaca. Membaca tidak hanya yang berupa teks saja, tapi juga membaca beragam peristiwa dan berbagai fenomena di sekitar kita. Seribu kali orang berteriak ingin menjadi penulis, tapi dia ogah membaca apapun (cuek) terhadap segala hal yang berlaku di sekitarnya, maka seribu kali pula dia sebetulnya tengah mengatakan omong kosong belaka!”

Kesempatan berdiskusi dengan Kang Badar tentang menulis sangat menarik sekali. Dulu, beliau adalah seorang guru, berhubung banyak sekali sistem yang menurutnya justeru menghambat pendidikan, beliau memutuskan menjadi seorang jurnalis hingga kini. “Bukan berarti menjadi guru gajinya kecil, tetapi dengan menulis pun kita bisa menjadi pendidik”, katanya.

Itulah sepenggal pengalaman saya tentang keinginan menulis hingga kini. Pada intinya, menulis adalah kehidupan. Artinya, jika menulis lahir dari kesadaran untuk memperbaiki paradigma agar tabir yang selama ini terpendam dalam pikiran, tercurahkan dengan terus-menerus belajar. Ya, tidak pernah merasa bosan untuk berpikir, kemudian menuliskannya untuk berbagi dengan para pembaca. Menurut saya, jika tulisan itu datang dari sebuah renungan, maka bagi pembaca adalah sebuah pencerahan. Saya sebagai pendidik merasa harus terus belajar dan menulis untuk memberi kontribusi kepada pendidikan. Semoga Tuhan memberkati saya dan siapa pun yang rela menulis untuk kebaikan. Amin.