ARTIKEL


Menulis, Jurnalisme, dan PTK
Oleh : D. Dudu AR, S. Pd.

Menulis merupakan salah satu aspek bahasa yang harus dikuasai guru. Kaitan dengan peningkatan profesionalisme, guru dituntut melaksanankan penelitian tindakan kelas. Melalui penelitian tindakan kelas, guru diharapkan dapat meningkatkan PBM dan KBM yang aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan (PAIKEM). Sebelum melaksanakan PTK, guru harus memiliki kemampuan menulis. Alasannya, setiap tindakan dan proses selama penelitian di kelas, guru harus mengumpulkan data yang reliabel, serta disinergitaskan dengan teori, model, dan metode penelitian. Pada umumnya, guru mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada proses penulisan laporan PTK. Hal tersebut menjadi salah satu faktor kemampuan guru dalam melaksanakan PTK kurang berjalan baik. Karena kemampuan menulis guru sangat memprihatinkan, maka keterampilan menulis guru harus diberdayakan dengan mengadakan workshop atau pelatihan yang berkesinambungan. Kemudian membudayakan keterampilan menulis yang produktif dalam kegiatan KKG sebagai media peningkatan profesionalisme guru.

Kemampuan menulis setiap individu berbeda-beda, namun dapat diasah jika menguasai aspek bahasa lainnya. Artinya, aspek menyimak, membaca, dan mewicara atau berbicara harus dikuasai terlebih dahulu, maka kemampuan menulis akan dikuasai. Rangkaian keterampilan berbahasa diawali dengan aspek-aspek ; menyimak dan membaca (reseptif), kemudian mewicara atau berbicara dan menulis (produktif). Menyimak dan membaca merupakan kemampuan seseorang dalam menangkap atau menerima suatu pesan atau wacana yang ditransformasikan media manusia, alam, dan teknologi untuk diendapkan dalam pikiran. Sementara, berbicara dan menulis merupakan kemampuan berbahasa seseorang dalam menghasilkan (produktif) wacana dari endapan pikiran hasil dari menyimak dan membaca (reseptif).

Menulis
Bahasa adalah media komunikasi manusia melalui bentuk grafis atau huruf, kata, kalimat, dan wacana yang memiliki makna dalam menyampaikan pesan. Untuk menguasai bahasa yang baik dan benar, setiap individu harus memiliki keterampilan empat  aspek berbahasa, yakni ; menyimak, berbicara, membaca dan menulis.
Djago Tarigan (1990) dalam buku P3BSI (Dra.Novi Resmini, M. Pd., dkk., 2006 : 153), menyimak adalah suatu proses yang mencakup kegiatan mendengarkan bunyi bahasa, mengidentifikasi, menginterpretasi, menilai, dan mereaksi atas makna yang terkandung di dalamnya. Berbicara adalah keterampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan, (Djago Tarigan : 149). Membaca adalah interaksi dengan bahasa yang sudah dialihkodekan dalam tulisan, (Heilman : 1977).

Pengertian menulis menurut Dra. Novi Resmini, M. Pd., dkk dalam buku P3BSI (2006) mengatakan, “Menulis yang dipandang sebagai kegiatan seseorang menempatkan sesuatu pada sebuah dimensi ruang kosong adalah salah satu kemampuan seseorang dalam menggunakan bahasa tulis. Kemampuan menulis itu tidaklah berdiri sendiri, melainkan saling berhubungan dengan kemampuan lain (menyimak, mewicara, dan membaca)”.

Sementara menurut Saeful Badar (jurnalis, budayawan, dan penyair) mengatakan, “Menulis adalah menulis. Artinya dilewati setelah kita melakukan membaca. Kita tidak mungkin bisa menulis tanpa kita mampu membaca. Membaca tidak hanya yang berupa teks saja, tapi juga membaca beragam peristiwa dan berbagai fenomena di sekitar kita. Seribu kali orang berteriak ingin menjadi penulis, tapi dia ogah membaca apapun (cuek) terhadap segala hal yang berlaku di sekitarnya, maka seribu kali pula dia sebetulnya tengah mengatakan omong kosong belaka!”

Berangkat dari pengertian menulis di atas dapat disimpulkan bahwa suatu kegiatan berbahasa yang memerlukan daya baca dan simak terhadap peristiwa atau kejadian di lingkungan sekitar atau pustaka adalah modal utama (bahan) dalam menuangkan tanggapan, ide atau gagasan ke dalam tulisan.

Menulis, erat kaitannya dengan membaca. Ada dua ruang perihal kategori membaca (reseptif); literature (bahan bacaan/pustaka) dan lingkungan (peristiwa). Sebelum menulis, seseorang harus sadar membaca berbagai literatur dan lingkungan sebagai referensi dan penguatan terhadap tulisan itu sendiri. Artinya, membaca memerlukan waktu dan kesadaran. Mungkin untuk sebagian orang, membaca itu membuang waktu dan energi.



Jurnalisme
Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik (Wikipedia.org). Dari berbagai ragam pengertian dan teori  jurnalisme, dapat diambil kesimpulan bahwa catatan kejadian atau peristiwa sehari-hari merupakan langkah jurnalistis. Memang, kegiatan jurnalistik dalam opini publik identik dengan kegiatan seorang wartawan. Namun, tidak hanya wartawan saja; warga biasa, guru, dan apapun statusnya. Menulis merupakan dorongan seseorang yang sadar menuangkan setiap kejadian dalam hidup atau melalui pustaka, merupakan hal paling penting. Tidak semua tulisan bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik. Pembeda diantara keduanya adalah kriteria saja ; esai, artikel, resensi, laporan budaya, dan sebagainya. Tetapi, jika membicarakan tentang jurnalisme pasti hubungannya dengan menulis.

Keempat aspek bahasa di atas, dapat dikembangkan melalui teknik jurnalisme. Melalui kegiatan jurnalistik semua aspek bahasa di atas memiliki sinergitas terikat. Melalui teknik jurnalisme, setiap guru (peserta) dapat mengembangkan kemampuan menulis sebagai langkah pemberdayaan pembinaan profesionalisme guru dalam kegiatan kinerja guru, terutama merangsang pembuatan PTK. Karena, jika setiap guru tidak memiliki kemampuan menulis, mana mungkin mampu membuat sebuah penelitian tindakan kelas. Artinya, menuangkan tulisan berupa suatu masalah di kelas disertai pemecahannya adalah salah satu langkah penelitian tindakan kelas. Diawali dengan menulis peristiwa di sekitar akan melatih guru mengungkapkan gagasan tentang meningkatkan pembelajaran di kelas (PTK). Kegiatan ini lebih merangsang guru untuk membuat PTK demi meningkatkan pembelajaran. Intinya, kemampuan guru dalam membuat penelitian tindakan kelas, harus menguasai keterampilan menulis.

Menulis dengan menggunakan teknik jurnalistik dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut :
  1. Menentukan tema ; termasuk pertanyaan jika diperlukan.
  2. Investigasi atau observasi masalah
  3. Mengumpulkan data
  4. Mengorganisasikan data
  5. Mewacanakan seluruh data yang telah terkumpul
  6. Evaluasi.

Enam langkah di atas merupakan salah satu cara dalam membaca peristiwa atau masalah di kelas yang dilakukan oleh guru untuk mengumpulkan data yang diperlukan. Dalam menulis, data suatu objek atau tema yang telah ditentukan sangat penting peranannya. Hal tersebut merupakan indikator untuk memudahkan si observer dalam menuangkan data ke dalam tulisan.

Penulisan Jurnalistik
Apakah berita itu?
Dalam buku yang berjudul Teknik Penulisan Berita, Features, dan Artikel (Prof. Drs. M. Atar Semi, 1995:11), berita ialah cerita atau laporan mengenai kejadian atau peristiwa yang faktual, baru, dan luar biasa sifatnya.
Setelah mengetahui pengertian berita, kita harus mengetahui ciri-ciri berita.  Kriteria atau ciri penanda kejadian yang dapat dinilai sebagai berita adalah sebagai berikut.
1)      Kejadian itu merupakan suatu fakta
2)      Kejadian itu baru
3)      Luar biasa
4)      Penting dan ternama
5)      Skandal dan persengketaan
6)      Dalam lingkungan sendiri
7)      Sesuai dengan minat dan selera konsumen berita.

Medium
Wujud medium berita, pada umumnya topik berita itu disekitar : (1) diri orang, seperti cetusan perasaannya, cita-citanya, gagasannya, dan imajinasinya; (2) pengalaman manusia, baik berupa pengalaman si pemberita maupun pengalaman orang lain yang diketahuinya; (3) lingkungan alam sekitar dan seluruh isi jagat raya.

Sumber
Berita dapat diperoleh jika sumber itu ada. Sumber berita dibagi menjadi dua bagian, yaitu sumber resmi dan sumber tidak resmi. Sumber resmi berasal dari para pejabat, biasanya berita dari mereka sangat banyak; tentang koruptor, perkantoran, dan pemerintahan. Sedangkan sumber tidak resmi diperoleh dari masyarakat, tokoh masyarakat, para peneliti, teknisi, dan para ilmuwan, termasuk  berita yang menyangkut suatu tempat yang tidak terduga; kecelakaan, perampokan, bencana alam, dan lain-lain.

Perencanaan dan Pengelolaan
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan penulisan berita, yaitu : (1) penetapan tujuan yang hendak dicapai; (2) menetapkan dan mempelajari serta memahami khalayak yang akan menerima berita; (3) mengorganisasikan gagasan; (4) menetapkan topik dan judul; (5) memutuskan tentang isi; (6) mempertimbangkan proses penerbitan; (7) bekerja dengan batas waktu (deadlines); (8) mempertimbangkan masalah penerbitan.

Pengorganisasian
Organisasi dasar suatu wawancara terdiri dari tiga fase, yaitu : (1) fase pendahuluan, (2) fase tanya jawab, dan (3) fase penutup.
1.   Fase pendahuluan dalam suatu wawancara dapat pula dibagi atas tiga bagian, yaitu :
a. penciptaan suasana
b. orientasi
c.  Motivasi
2.   Fase tanya jawab, merupakan jantung  suatu wawancara.
3.   Fase penutup, Kadang-kadang pada bagian penutup ini digunakan untuk berbincang-bincang tentang sesuatu yang lain atau digunakan untuk memberikan kesempatan orang yang diwawancara mengajukan pertanyaan.

Penyusunan Pertanyaan
Kelancaran suatu wawancara sangat tergantung pada bagaimana persiapan dan kesiapan pewawancara dengan pertanyaan yang hendak diajukan. Pertanyaan yang diajukan dalam wawancara terdiri dari berbagai bentuk ;
  1. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang menghendaki jawaban yang luas dan bebas.
  2. Pertanyaan hipotetik terbuka, hampir sama gayanya dengan pertanyaan terbuka yang membedakannya hanya struktur pertanyaan itu sendiri.
  3. Pertanyaan langsung yaitu pertanyaan yang menghendaki jawaban singkat, dan kadang-kadang dapat dijawab dengan “ya” atau “tidak”.
  4. Pertanyaan tertutup adalah pertanyaan yang membatasi ruang gerak penjawab, bahkan kemungkinan jawaban telah tersedia.
  5. Pertanyaan beban adalah pertanyaan yang menimbulkan beban berat bagi penjawab, disebabkan tidak ada jawaban yang benar, tetapi menuntut jawaban emosional.
  6. Pertanyaan terpimpin merupakan pertanyaan yang diikuti dengan arahan jawaban.
  7. Pertanyaan orang ketiga adalah pertanyaan yang isinya diajukan seolah-olah merupakan pertanyaan yang datang dari orang ketiga, dan jawabannya pun sepertinya untuk orang ketiga.

Diharapkan kegiatan jurnalistik dapat membantu “kegagapan” guru menulis, terutama dalam pembuatan PTK. Sebab, jika tanpa kesadaran dari guru itu sendiri, maka budaya plagiarisme akan tumbuh subur di dunia pendidikan. Ironis bukan?



 
Nasionalisme dan Konsistensi Sang Seniman
Oleh : D. Dudu AR

Ternyata, tidak sedikit seniman dan budayawan Sunda yang menjadi pengajar di Belanda, salah satunya, Pak Momon (45th). Pimpinan Sanggar Manis Cikurubuk-Tasikmalaya ini, pada tahun 1989 ditawari seorang penikmat seni budaya Sunda dari Belanda. Setelah mempertimbangkannya dengan matang, beliau bersedia mengajar : Seni Tari, Gamelan, Pencak Silat, dan Rampak Kendang, di gedung seni budaya Modrekcht Provinsi Gouda Belanda. Setiap musim semi dan panas atau enam bulan sekali, beliau berangkat ke Belanda untuk mengajar pelajar-pelajar Belanda tentang kesenian dan kebudayaan Sunda.

Di sela-sela latihan Seni Tari siswa-siswi SDN. Perumnas 1 Cisalak Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya, beliau menceritakan banyak hal selama mengajar di Belanda. Beliau merasa miris dengan apresiasi anak-anak muda Tasikmalaya khususnya, terhadap kesenian dan kebudayaan Sunda. Berbeda dengan pelajar-pelajar Belanda yang antusias mendalami kesenian dan kebudayaan Sunda. Mereka sangat tekun menela’ah filosofi dan menguasai keterampilan Seni Tari, Pencak Silat, Gamelan, dan Rampak Kendang. Mereka merasa khazanah seni budaya Sunda sangat tinggi nilai estetis, pesan moral, dan esensi kehidupannya.
Meskipun dikontrak secara pribadi oleh seorang penikmat seni budaya Sunda dari Belanda, keberadaan beliau terdaftar di KBRI Belanda sebagai warga Indonesia yang menjadi pengajar seni budaya Sunda. Secara materi, berbeda jauh bila dibandingkan ketika mengajar di Tasikmalaya-Indonesia. Di Belanda, fasilitas lengkap dan gaji besar, adalah hak setimpal yang didapatkan beliau atas jasanya membagi ilmu seni budaya Sunda. Memang ironis, ketika negara lain menghargai sebuah kesenian dan kebudayaan begitu mahal. Sementara, kenyataan di negeri sendiri apresiasi dari pihak-pihak terkait cenderung acuh mereward jasa orang-orang yang melestarikannya.

Selama mengajar di sana, respon mereka sangat tinggi untuk menguasai setiap kemampuan Seni Tari, Pencak Silat, Rampak kendang, dan Gamelan. Malahan, pelajar-pelajar Belanda dengan serius menekuni setiap aspek seni budaya Sunda. Mereka sangat fokus menuntut ilmu kesenian dan kebudayaan Sunda.
Kejadian unik yang pernah dialami beliau, ketika pelajar-pelajar di sana memaksa meminta semua aspek pengetahuan dan keterampilan seni budaya Sunda. Namun, beliau tidak kalah cerdik untuk mempertahankan “kunci” kesenian dan kebudayaan Sunda yang diketahuinya. Maksud beliau, bukan pelit menurunkan keilmuannya tentang seni budaya Sunda. Hanya saja, sikap “penjajah” para pelajar Belanda sudah terbaca geliatnya ketika orang-orang Belanda yang menguasai teknik membuat batik, tidak lagi mengimport dari Indonesia. Tetapi, mereka membuat batik dan memasarkannya sebagai produk Belanda, bukan atas nama produk Indonesia. Hal tersebut, menjadi landasan kuat beliau untuk mempertahankan kunci seni budaya Sunda. Meskipun diiming-imingi materi yang besar dan ditawari pindah kewarganegaraan.
Kejadian unik lainnya, ketika beliau mencoba berkomunikasi dengan warga Belanda, dengan menggunakan bahasa Belanda, dijawab oleh warga tersebut dengan menggunakan Bahasa Sunda. Sontak kaget, beliau mendengar jawaban warga tersebut, yang fasih menggunakan Bahasa Sunda. Malah, bahasa-bahasa yang digunakan warga tersebut merupakan bahasa “buhun” yang belum pernah didengarkannya selama ini. Setelah berbicara panjang lebar, ternyata warga Belanda tersebut adalah Dosen Bahasa dan Sastra Sunda di Universitas terkenal di sana.

Banyak seniman dan budayawan Sunda yang menetap di Belanda, karena bayaran yang melimpah. Memang tidak bisa disalahkan sepenuhnya, ketika mereka hidup di negeri sendiri tanpa perhatian dari pihak-pihak terkait. Tapi tidak bagi Momon, beliau lebih memilih kembali ke Indonesia pada tahun 1992, tahun ketiga mengajar di Belanda. Beliau memilih mengembangkan di daerah sendiri dengan membuka sanggar dan mengisi acara-acara seni budaya. Meskipun resiko di negeri sendiri lebih berat menanggung hidup, apalagi hanya mengandalkan kemampuan di bidang kesenian dan kebudayaan Sunda. Tapi, hal tersebut tidak menyurutkan semangat beliau untuk tetap melestarikannya sekuat tenaga.

Setelah kembali ke Tasikmalaya, mulai tahun 1994 beliau menjadi guru honorer SMPN 4 Kota Tasikmalaya. Pengabdian menjadi tenaga honorer adalah pilihan hidup, setelah menolak penawaran perpindahan kewarganegaraan dari Belanda. Namun, apa boleh buat, apresiasi dari Pemerintah tidak kunjung didapat. Artinya, minimal pemerintah daerah mengangkat beliau menjadi pegawai negeri sipil sebagai reward atas jasa-jasanya yang telah mengenalkan kesenian dan kebudayaan Sunda di Belanda. Dan seharusnya, reward setinggi-tingginya kepada orang seperti beliau harus diberikan. Namun, enam belas tahun mengabdi kepada pemerintah sebagai tenaga honorer, tetap saja belum ada reward yang konkrit.
Entah alasan apa pihak-pihak yang seharusnya respect terhadap orang-orang yang mempertahankan dan melestarikan seni budaya Sunda khususnya. Kenyataannya, seniman dan budayawan seperti Momon harus menelan pil pahit di negeri sendiri. Kesenian dan kebudayaan Sunda adalah aliran darahnya, meskipun tanpa bantuan dari siapapun. Masalahnya, di mana nurani pihak terkait perihal pelestarian seni budaya Sunda seperti yang dilakukan beliau?




Inspirasi dari Bali
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Pada kesempatan wawancara melalui surat elektronik (E-mail) dengan Made Sugianto (Pemred Majalah Ekspresi Tabanan Bali) dan Nanoq Da Kansas (Pemred Tabloid Bali Bicara) dalam waktu yang berbeda, Selasa (5/10) dan Kamis (7/10). Memberikan angin segar kepada masyarakat yang suka menulis khususnya, terutama bidang sastra dan pendidikan di Bali. Bali yang notabene pulau pariwisata, banyak menawarkan industri perdagangan (cinderamata), kuliner dan penginapan (hotel) sebagai pilihan tepat untuk membuka usaha yang dapat memberikan income besar.
Tapi tidak! Bagi Made dan Nanoq. Mereka lebih mengutamakan panggilan jiwa – memberi ruang  kepada masyarakat – agar mendapatkan tempat di media cetak (konvensional) dalam mengekspresikan karya tulis sastra maupun pendidikan di skala lokal. Hal ini dilakukan sebagai kontribusi mereka dalam membangun kesusastraan dan pendidikan di Bali. Meskipun tanpa embel-embel atau bantuan pemerintah setempat. Dengan perjuangan yang berdarah-darah, mereka rela mencari sumber dan reportase dari berbagai kalangan ahli ataupun citizen dengan dana transportasi sendiri.
Seluruh dana yang mereka keluarkan sebagian besar dari uang pribadi. Namun, hal itu tidak menyurutkan semangat untuk membangun kastil kesusastraan dan pendidikan di sana. Juga, tidak terlalu memikirkan kompetisi dengan mainstream media lainnya, yang penting berbuat sesuatu di dunia kesusastraan dan pendidikan khususnya. Bagi mereka, penulis idealis dan masyarakat (citizen) juga harus diberi kesempatan untuk menuangkan ide, gagasan, dan hal kreatif dalam bentuk tulisan untuk dipublikasikan. Terkadang, ide-ide luar biasa itu datang dari orang biasa yang memiliki niat, seperti Albert Einstein yang dianggap bodoh mampu menemukan teori relativitas. Yang umumnya, mereka kurang mendapatkan tempat untuk memuat karya jurnalistik, sastra, dan pendidikan di media lain.
Perjalanan yang ditempuh memang baru seumur jagung, namun kendala tak ubahnya ujung pohon tinggi dihempas badai. Meskipun tertatih tapi harus tetap berjalan, agar senantiasa berkembang dan lebih maju. Mereka adalah inspirator juga pionir di lingkungan masyarakat Bali yang cenderung mengutamakan dedikasi dan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan pendidikan. Hal ini patut ditiru oleh generasi muda untuk sama-sama berjuang, tidak sekedar hura-hura, senang-senang, dan membuang waktu, lebih baik berbuat sesuatu untuk negeri tercinta.
Pada kenyataannya, alternatif media beragam bentuknya; cetak dan online. Terutama media online yang sangat mudah diakses oleh beberapa kalangan masyarakat menengah-atas. Namun sayang, belum seluruh lapisan masyarakat dapat mengakses media online. Ditegaskan Nanoq, “Hal yang dilakukan jajaran redaksi Tabloid Bali Bicara untuk bisa bertahan di tengah gencarnya media-media lain terutama media online adalah dengan membangun jaringan kerjasama informasi dengan media-media online itu sendiri. Sejauh ini kami yakin bahwa sebagian besar anggota masyarakat masih belum bisa sepenuhnya mengakses media online. Mereka tetap membutuhkan media konvensional (cetak) yang bisa mereka lihat dan pegang serta mereka simpan sebagai kliping setiap saat”.
Ekspresi
Terbit perdana 3 Nopember 2007, sekaligus ditetapkan sebagai tonggak berdiri Majalah Ekspresi yang dipelopori oleh  I Made Sugianto, yang memuat wacana seputar pendidikan dan sastra. Memiliki visi membangkitkan minat baca dan tulis bagi guru dan para siswa. Walaupun setiap edisinya masih disusui kantong pribadi, tapi semakin memompa adrenalin Made untuk senantiasa bertahan membangun Majalah Ekspresi lebih berjaya lagi. Di Bali, sastra (cerpen / puisi) belum tergarap maksimal, sehingga menjadikan hal tersebut sebagai peluang untuk dikembangkan.
Made mengatakan perjalanan selama tiga tahun ini memiliki suka duka; sukanya, seiring waktu, pelanggan terus bertambah. tidak hanya dikenal di seputaran Bali, tetapi lebih meluas berkat jejaring sosial, terutama Facebook. Dukanya, kerap keteteran dalam penggarapan, karena lay out, reporter dan distribusi masih dilakukan sendiri. Dominasi sastra, membuat beda dan menjadi ciri khas isi dari Majalah Ekspresi, disamping itu profil sekolah dan siswa menjadikan kalangan pelajar semakin meminati Majalah Ekspresi.
Bali Bicara
Filosofi Tabloid Bali Bicara adalah “Suara dari Luar Pagar”. Artinya, isi Tabloid Bali Bicara adalah mewakili wacana, aspirasi, kreativitas yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah maupun masyarakat umum yang cenderung berorientasi  pada pasar. Wacana yang ada pada Tabloid Bali Bicara meliputi: Sosial, Politik, Budaya dan Pendidikan. Motivasi penerbitan Tabloid Bali Bicara adalah untuk memberi ruang kepada penulis serta karya-karya kreatif jurnalistik yang sulit mendapat tempat di media-media umum atau media yang sudah besar.
Tabloid Bali Bicara berdiri tanggal 1 Februari 2010. Pendiri Tabloid Bali Bicara adalah Nanoq Da Kansas yang sekaligus menjadi Penanggung Jawab dan Pemimpin Redaksi. Sedangkan jajaran redaksi lainnya adalah:
-       Ibed Surgana Yuga (Redaktur Pelaksana)
-       Wendra Wijaya (Redaktur Senior)
-       De’a Yogantara (Redaktur)
-       Dyah Ayu Purnama Sari (Redaktur)
-       I Ngurah Suryawan (Kontributor Denpasar)
-       Figur Saka Nugraha (Kontributor Singaraja)
-       Uliana Dewi Irwandani (Kontributor Buleleng)
-       Ida Bagus Punia Atmaja  (Ilustrator)
-       Ketut Nadhi Purnama (Karikatur)
-       Wayan Sunantara (Tata Usaha)
-       Ni Putu Tristiana Dewi (Administrasi)
-       I Ketut Aswabawa Raharja (Divisi Litbang)
-       Wahyu Pradnya Sutha (Grafis)
Hal yang dilakukan jajaran redaksi Tabloid Bali Bicara untuk bisa bertahan di tengah gencarnya media-media lain terutama media online adalah dengan membangun jaringan kerjasama informasi dengan media-media online itu sendiri. Sejauh ini mereka yakin bahwa sebagian besar anggota masyarakat masih belum bisa sepenuhnya mengakses media online. Masyarakat tetap membutuhkan media konvensional (cetak) yang bisa dilihat dan dipegang serta disimpan sebagai kliping setiap saat. Sementara untuk bisa “bersaing” dengan media cetak besar, mereka upayakan isi Tabloid Bali Bicara bukan sebagai stright news, tetapi lebih pada tulisan-tulisan yang bersifat pendalaman atau feature.
Tabloid Bali Bicara lebih menyasar pembaca dari kalangan dunia pendidikan (guru, dosen, siswa, mahasiswa), para budayawan dan seniman, politikus dan pemerhati masalah-masalah kemasyarakatan. Mereka tidak punya visi-misi, karena tidak ingin menjadi sebuah media yang “mapan”. Keunggulan yang mereka tawarkan adalah, bahwa artikel ataupun berita-berita di Tabloid Bali Bicara tidak ada di media lain. Atau setidaknya wacana-wacana yang ada pada Tabloid Bali Bicara selalu disuguhkan dengan perspektif yang berbeda dari media umum lain.
Hal serupa dengan Made, Nanoq dan kawan-kawan juga memiliki suka duka selama perjalanan membangun Tabloid Bali Bicara : sukanya mereka bisa ikut berpartisipasi memberikan wadah kreatif bagi penulis-penulis independen dan idealis yang banyak tersebar di seantero Bali dan seantero negeri. Sementara dukanya adalah, sampai saat ini mereka belum bisa memberikan imbalan atau honorarium yang layak bagi orang-orang yang telah menyumbangkan karya-karyanya. Di samping itu, mereka juga masih sangat sulit untuk menjual produk kepada para pembaca yang mau berlangganan atau membeli. Jadi sebagian besar produknya diberikan secara cuma-cuma terutama kepada sekolah-sekolah.  Maka  setiap kali cetak, mereka harus utang sana utang sini dulu. Seluruh jajaran redaksi Bali Bicara juga tidak ada yang digaji, alias relawan semua. Hal yang membedakan Tabloid Bali Bicara dengan media lain adalah; untuk setiap wacana yang disuguhkan kepada para pembaca, Tabloid Bali Bicara tidak melakukan konfirmasi kepada subyek wacana tetapi menyuguhkan wacana tersebut dari perspektif di luar subyek. Maka dari itu, filosfi yang mereka usung adalah “Suara dari Luar Pagar”.
I Made Sugianto dan Nanoq da Kansas adalah sebagian orang di negeri ini yang jiwanya gelisah untuk membangun masyarakat yang kritis, cerdas, kreatif, dan lebih maju dalam berpikir dengan memberikan ruang (media cetak) kepada masyarakat Bali khususnya. Orang-orang seperti ini dibutuhkan bangsa ini, yang memiliki dedikasi dan loyalitas tinggi dalam memperjuangkan kesempatan bagi orang-orang yang kurang memiliki ruang ekspresi. Jiwa dan kesadaran adalah hal utama selain materi, karena dengan kesadaran dan jiwa, hal biasa akan menjadi luar biasa.
(Dimuat di www.priangan-online.com)







Pengikut Sesat Sang Penyair
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Puisi atau sajak adalah kumpulan larik, bait, syair yang ditulis dari renungan penyair. Pengalaman hidup seorang penyair dikontemplasikan sebagai bahan atau endapan yang kemudian ditulis dalam bentuk karya sastra puisi atau sajak. Banyak kata-kata indah, pilu, miris, berontak, dan gundah menghiasi puisi atau sajak. Tidak mudah mewujudkan kata-kata bermetafora dalam sebuah puisi, perlu proses dan perenungan untuk mengungkapkannya, sehingga menghasilkan puisi yang mapan, terutama bagi para pemula. Menulis puisi perlu sensitivitas jiwa, hal ini diperlukan untuk memudahkan seseorang dalam membaca ruang lingkungan dan pustaka serta mengendapkan bahan renungan yang pada akhirnya menghasilkan kiasan-kiasan (metafora) natural. Metafora yang alami akan terasa dahsyat tatkala pembaca mengapresiasi hasil karya puisi tersebut. Berbeda dengan metafora yang dibuat-buat, rasanya hambar dan janggal.
Penyair yang berpengalaman tidak gegabah mencurahkan renungan-renungannya ke dalam puisi. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengungkapkannya ; semiotika, sintaktis, metafora, alegori, unsur intrinsik-ekstrinsik, rancang bangun, dan semuanya itu dibiarkan mengalir. Setelah puisi dibuat, kemudian diendapkan, lalu direvisi sebagai bentuk evaluasi sebelum dipublish ke wilayah publik adalah hal yang lumrah dilakukan seperti penyair-penyair ternama masa lalu seperti Chairil Anwar penyair angkatan 45. Hal tersebut dilakukan semata-mata keperluan tela’ah akhir si penyair terhadap karya puisinya, agar benar-benar layak dikonsumsi pembaca (apresiator).
Karya puisi maestro sangat digemari para pemula, banyak yang dapat dipelajari, sebagai referensi dan tentunya inspirasi dalam perjalanan seseorang yang ingin serius belajar membuat puisi atau sajak. Tidak sedikit pula yang mengkultuskan salah satu penyair yang dielu-elukan pengikutnya. Hal ini tidak disadari oleh beberapa kalangan yang merasa ‘mazhab’ mereka yang paling hebat dalam kesusasteraan Nusantara ataupun dengan alasan lainnya. Bagi saya, tidak perlu mengkultuskan penyair manapun, kecuali Allah SWT. Rupanya, ada yang dilupakan oleh sebagian penyair ini tentang ayat “para penyair yang diikuti orang-orang sesat”.
Patut direnungkan oleh kita semua, sebuah ayat Al Qur’an yang sangat wajib dibaca oleh setiap muslim yang menyukai sastra khususnya. Ayat tersebut menggugah hati saya yang senang mengapresiasi salah satu karya sastra yaitu puisi. Untuk itu sebagai pribadi merasa perlu menelusur dan menela’ahnya agar tidak salah tafsir.
Setelah berdiskusi dengan Drs. Edi Hendri M. M. Pd., salah satu Dosen UPI Kampus Tasikmalaya dan Pemuka Agama, Kamis (07/09), memberi pencerahan dan pemahaman kepada saya yang hampir stagnan. Satu pertanyaan gundah saya seputar ayat di atas, dijelaskan sangat rinci dan lengkap oleh beliau. Kenapa ayat Al Qur’an (Asy-Syu'ara, 26 : 227) menyatakan penyair itu diikuti orang-orang sesat? Beliau menjelaskan, pertanyaan semisal ini pernah ditanyakan Hasan bin Tsabit sebagai sahabat sekaligus penyair Nabi ketika turun ayat yang mencela penyair jahiliyah, dan Rasulullah saw menegaskan: “bukan kamu yg dimaksud!”. Di zaman Imam Ali bin Abi Thalib pun ada penyair pecinta Ahlulbait namanya Farazdaq yang berusia panjang hingga masa cucu Imam Ali yakni Imam Ali Zainal Abidin (yang juga sangat piawai dalam bersyair). Salah satu puisi Farazdaq yang mahsyur adalah qashidahnya yang menyanjung Imam Ali Zainal Abidin di hadapan penguasa pembenci ahlulbait sehingga penguasa itu merasa dipermalukan .
Menurut beliau, para mufasir mejelaskan arti kalimat mengembara di tiap lembah ayat di atas, para penyair yang diikuti orang-orang sesat itu suka mempermainkan kata-kata yang mereka sendiri tak tahu makna dan tujuannya, hanya ekspresi angan-angan dan tidak didasari keyakinan apa pun, kecuali mengobral kata-kata hampa.
Intinya, setiap kata-kata yang terkandung dalam sebuah puisi harus dipertanggungjawabkan secara horizontal maupun vertikal. Artinya, visi dan misi yang ingin disampaikan si penyair harus sesuai dengan aqidah keyakinan dan tidak hanya fokus kepada permainan-permainan kata yang omong kosong belaka. Agar dirinya dan yang menela’ah karyanya tidak terjebak kepada khayal dan angan yang justeru menenggelamkan hakikat kebenaran kepada lembah kesesatan. Apalagi membangkang kebenaran yang telah diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dalam Al Qur’an.
Beliau juga melanjutkan penjelasannya tentang tradisi syair atau karya sastra Imam Ali, Hasan bin Tsabit maupun Farazdaq (yang didedikasikan untuk kebenaran) diteruskan oleh para pemikir sufi. Mereka menyusun gagasan-gagasan dakwah dan tarbiyah dalam bentuk puisi yang berpengaruh luas di kalangan umat Islam. Kebiasaan membuat nadzam (puitisasi) untuk mempermudah mempelajari ilmu-ilmu fiqh, sharaf-nahwu (tata bahasa Arab), dan ilmu-ilmu lain yang terwariskan hingga kini di lingkungan pesantren-pesantren Salafiyah (konvensional-tradisional) merupakan contoh nyata. Termasuk juga penggunaan-penggunaan aforisma (kata-kata mutiara) dari kitab-kitab susunan para ulama sufi klasik. Sebab titik-tolak dari karya sastra sufi adalah Alquran surat Asy-Syu’aro, terutama ayat 224-227.
Oleh karena itu, penyair dan puisi sufi, selalu punya visi dan misi yang jelas. Puisi-puisi mereka bertujuan mendorong kemuliaan akhlak dan semangat pembenahan masyarakat.
Di luar ekstrimitas temporer, beberapa penyair sufi dalam menafsirkan kaidah dan aplikasi iman dan ibadah ritual, seperti Ibnu Arabi ( abad 13), Jalaluddin Rumi (abad 14), dll., beberapa penyair sufi malah cenderung konvensionalis-puritanis. Seperti karya-karya Hafidz, Saadi, Firdausi, Fariduddin Attar, Al Junaid, Bisyr Harits, dan sebagainya.
Jadi, maksud penyair yang diikuti orang-orang sesat, seperti dijelaskan ayat di atas adalah orang-orang yang memintal angan dan khayalnya ke dalam puisi tanpa substansi kebenaran yang diusung dalam karyanya. Mereka berputar-putar saja dalam metafora yang kosong, hampa, dan salah kaprah secara semantik (pemaknaan). Sesuai dengan tujuan para pendahulu (Islam), puisi adalah salah satu media sastra untuk menuangkan ungkapan-ungkapan tentang kemuliaan, kebenaran, dan pembenahan moral masyarakat yang sepatutnya kita tiru pada era sekarang.
Pada dasarnya, kesesatan dan manusia itu seperti dua sisi mata uang, sangat dekat jaraknya. Baik yang berstatus tukang becak, tukang sampah, pemuka agama, guru, menteri, presiden, dsb, bisa tersesat dan selalu diikuti setan. Karena, setan akan selalu menjerumuskan makhluk Tuhan, seperti janjinya, mulai tidak sujud (hormat) di depan Adam hingga akhir dunia, bukan penyair saja. Selama kebenaran-kebenaran yang menjadi ayat Tuhan tidak dipegang, di sanalah setan beraksi, menggoda siapa saja tanpa melihat status sosial seseorang. Yang penting manusia-manusia tersesat, jatuh ke lembah maksiat agar menemani setan dan konco-konconya di neraka laknat.
(Dimuat di Harian Pagi Radar Tasikmalaya, Edisi Minggu, 26 September 2010)


Ukhuwah Islamiyah dan Keistimewaan Al-Fatihah
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Diawali do’a bersama, dipimpin Drs. Edi Hendri M. M. Pd., dengan khidmat dipanjatkan seluruh undangan halal bi halal yang diselenggarakan Pengurus Daerah Ikatan Jamaah Ahlulbait (PD IJABI) Kota Tasikmalaya, Senin (27/9) di Masjid Imam Ali - Perum Taman Cilolohan Indah Kota Tasikmalaya. Pada acara tersebut, undangan yang hadir berasal dari berbagai jama’ah, LSM, Forum, dan lainnya.
“Acara ini, kami adakan tidak khusus untuk jama’ah ahlulbait saja!”, jelas Drs. Edi Hendri M. M. Pd., ketua PD. IJABI Tasikmalaya. Beliau menegaskan, apapun latar belakang mazhab yang diyakini oleh jama’ah yang hadir, tidak menjadi masalah, demi terciptanya ukhuwah Islam yang kuat. Hal tersebut diungkapkan untuk mempererat persaudaraan antar umat Islam yang nyatanya dihiasi oleh berbagai mazhab. Meskipun berbeda mazhab, yang penting kerukunan dan kekerabatan Islam harus tetap dijaga.
Perihal ukhuwah islamiyah ini, ditegaskan kembali oleh Ma’mun Jamaludin Rahmat dalam sambutannya. Beliau menjabat sebagai pengurus PD. Ijabi Jawa Barat dan Pengurus Ranting Muhammadiyah. Beliau menjelaskan perihal kepengurusan dirinya di Ijabi dan Muhammadiyah – sebagai  perumpamaanya – semata-semata  sebagai bukti bahwa Islam itu beraneka ragam, tidak perlu mempermasalahkan syari’at yang dipraktekkan oleh berbagai mazhab saudara-saudara Islam lainnya. Masyarakat tidak  perlu resah dengan aneka ragam tersebut, karena cara berpikir dan keyakinan setiap orang itu pasti berbeda. Yang penting beribadah kepada Allah SWT dan mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhirNya. Anggap saja keanekaragaman itu sebagai khazanah Islam.
Sementara Ustad Miftah Fauzi Rakhmat, MA., sebagai pengisi tausyiah acara halal bi halal sore itu, datang terlambat, karena selama perjalanan dari Bandung menuju Tasikmalaya terbentur berbagai hal teknis. Kaitan dengan keterlambatannya, ada hal yang menarik sekaligus ajaran yang sangat penting. Beliau tidak malu untuk meminta maaf, karena setiap orang yang memiliki kesalahan harus melakukan 3 hal; meminta maaf, mengembalikan hak, dan berbuat baik kepada yang bersangkutan. Maka, ketiga hal tadi beliau lakukan kepada jama'ah yang salah satunya membagikan buku Shahifah Sajjadiyyah (Gita Cinta Keluarga Nabi) dan beberapa CD-nya Karya Imam Ali Zainal Abidin terjemahan  Prof. Drs. K. H. Jalaluddin Rakhmat, M. Sc.
Dalam ceramahnya, Ustad Miftah membuka tabir surat Al-Fatihah yang tinggi hikmahnya. Beliau mengajak jama’ah mencari huruf-huruf hijaiyah yang tidak ada dalam surat Fatihah. Karena menurut beliau, seluruh huruf hijaiyah terdapat dalam surat Al-Fatihah, kecuali tujuh huruf; ج/ja, خ/kho, ش/syin, ف/pa, ث/tsa, ز/zay/ dan ء/hamzah. Ketujuh huruf tersebut adalah huruf-huruf yang mengawali kata dan memiliki makna dalam alqur’an – berarti  kurang baik – seperti  pada huruf ز/zay/ (zaqqum) kata terakhir dalam QS. Ash-Shaffat : 62.
Sumber lain menjelaskan tentang keajaiban seputar surat Al-Fatihah yaitu jumlah ayat dalam surat Al-Fatihah ada tujuh ayat. Jumlah langit ada tujuh. Jumlah bumi ada tujuh. Jumlah hari dalam seminggu ada tujuh hari. Jumlah putaran yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan thawaf mengelilingi ka'bah adalah tujuh putaran. Sa'i (berlari-lari kecil) antara Shafa dan Marwa dilakukan sebanyak tujuh kali. Melempar jumrah dilakukan oleh orang yang sedang melaksanakan ibadah haji sebanyak tujuh kali. Anggota tubuh yang diperintahkan oleh rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk di tempelkan ke tanah ketika sujud ada tujuh anggota tubuh. Jumlah pintu jahannam ada tujuh buah. Kata "jahannam" disebutkan dalam al-Quran sebanyak 77 kali (77=7x11).
Maksud Ustad Miftah mengajak jama’ah menela’ah surat keistimewaan Al-Fatihah ini, agar masyarakat memahami tingginya makna yang terkandung, sehingga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, selain membacakannya dalam setiap Sholat lima waktu. Halal bi halal 2010 yang diadakan PD. Ijabi Tasikmalaya ditutup dengan sholat magrib dan makan bersama.
(Dimuat di HU. Kabar Priangan, Edisi Jum’at, 1 Oktober 2010)



Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
AJAKAN workshop menulis kritik sastra dan laporan budaya dari Jodhi Yudono (pemangku rubrik oase-kompas.com) kepada saya (Pondok Media) beberapa waktu lalu, merupakan salah satu indikasi produktivitas masyarakat Tasikmalaya–menulis essay kritik sastra–jarang geliatnya. Beliau menyatakan ingin sekali masyarakat Tasikmalaya intens menulis kritik sastra dalam rangka memasyarakatkan sastra. Pernyataan tersebut dikuatkan Ashmansah Timutiah (Budayawan dan salah satu pendiri Teater Ambang Wuruk), pada kesempatan acara Tadarus Puisi (04/09) di markas OI Trotoar bahwa sudah saatnya masyarakat Tasikmalaya sering mengadakan acara kritik sastra secara rutin, seiring kelahiran penyair-penyair baru, sepatutnya didampingi kritik konservatif dari apresiator (masyarakat) sehingga berkembang dinamis dan membudayakan masyarakat sadar sastra.
Berbeda dengan pelaku sastra seperti: Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Soni Farid Maulana, Nazaruddin Azhar, Bode Riswandi, Yusran Arifin, Ashmansah Timutiah, Irvan Mulyadi, Sarabunis Mubarok, dll. Beliau-beliau ini produktif menulis essai seputar sastra. Ya, karena mereka sastrawan dan budayawan Tasikmalaya! Penelusuran saya, selama browsing alias berselancar di media online atau cetak pun hanya menemukan esai-esa sastra dari para pelaku sastra di atas. Artinya, masyarakat Tasikmalaya masih kurang aktif dan produktif menulis essay kritik sastra. Bukan masalah ingin menjadi penyair atau ahli sastra, setidaknya jiwa apresiasi dapat bertumbuh dan berkembang – dengan menulis esai kritik sastra – seiring waktu berjalan kesadaran masyarakat terhadap sastra akan meningkat.
Pada kenyataannya, kesadaran masyarakat Tasikmalaya dalam menulis esai kritik sastra, masih sangat minim. Pernyataan saya ini dapat dibuktikan dengan esai-esai yang setiap saya baca di media online atau cetak, hampir nihil yang penulisnya masyarakat (citizen) Tasikmalaya.
Menulis, erat kaitannya dengan membaca. Menurut hemat saya, ada dua ruang perihal kategori membaca (reseptif); literature (bahan bacaan/pustaka) dan lingkungan (peristiwa). Sebelum menulis, seseorang harus sadar membaca berbagai literatur dan lingkungan, sebagai referensi dan penguatan terhadap tulisan itu sendiri. Artinya, membaca memerlukan waktu dan kesadaran. Mungkin untuk sebagian orang, membaca itu membuang waktu dan energi. Barangkali ini yang menyebabkan masyarakat Tasikmalaya enggan menulis, khususnya esai kritik sastra. Seperti yang dikatakan Saeful Badar (Sastrawan dan Pemerhati Budaya), ”Menulis adalah menulis. Artinya dilewati setelah kita melakukan membaca. Kita tidak mungkin bisa menulis tanpa kita mampu membaca. Membaca tidak hanya yang berupa teks saja, tapi juga membaca beragam peristiwa dan berbagai fenomena di sekitar kita. Seribu kali orang berteriak ingin menjadi penulis, tapi dia ogah membaca apapun (cuek) terhadap segala hal yang berlaku di sekitarnya, maka seribu kali pula dia sebetulnya tengah mengatakan omong kosong belaka!”.
Latar belakang di atas mendorong saya sebagai warga masyarakat untuk menulis (jawaban) sekelumit perkembangan sastra di Tasikmalaya, alakadarnya. Pada tahun ini saja, Tasikmalaya diramaikan acara-acara sastra yang di antaranya: lomba baca puisi se-Jabar dan Banten (SST), lomba baca puisi tingkat SMP-SMU se-Priangan Timur (SMU Pasundan), lomba baca pusi siswa tingkat SD se-Priangan Timur (Aksara UPI Kampus Tasikmalaya), bedah buku antologi puisi karya Bode Riswandi (UNSIL), Tadarus Puisi, bedah antologi puisi tiga penyair sasntri: Aos Mahrus, Syifa Agnia, Aan A. Farhan (Komunitas Cermin), bedah buku antologi puisi karya Dhea Anugerah (Penyair Yogyakarta), dan bedah puisi penyair luar daerah lainnya.
Perjalanan Panjang
Sepanjang pengetahuan penulis, tumbuh-kembang kesusasteraan di Tasikmalaya, khususnya sajak/ puisi memiliki perjalanan panjang, dimulai lahirnya Acep Zamzam Noor, Saeful Badar, Nazaruddin Azhar, Soni Farid Maulana, Bode Riswandi, Sarabunis Mubarok, Irvan Mulyadi, Yusran Arifin, dll. Beliau-beliaulah yang memberi khazanah kesusasteraan di Tasikmalaya khususnya dan nasional. Kemudian membangun Yayasan Sanggar Sastra Tasik (SST) yang dikukuhkan dengan Akta Notaris Heri Hendriyana, SH. nomor 21.- tanggal 29 Oktober 1998 yang bersekretariat di Jalan Argasari No. 18 Telp. 0265-327386 Tasikmalaya 46122.
Selama ini pun, Sanggar Sastra Tasik telah berhasil menerbitkan antologi-antologi berikut:
(1) Antologi Puisi NAFAS GUNUNG. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 1997 bekerjasama dengan Penerbit Biduk Bandung. Berisi puisi-puisi yang lolos seleksi ketat pada acara Cakrawala Sastra Kita (CS-KITA) di Radio RSPD FM Tasikmalaya yang diasuh oleh Sanggar Sastra Tasik (SST).
(2) Antologi Puisi DATANG DARI MASA DEPAN. Editor Toto Sudarto Bachtiar, Acep Zamzam Noor, Hikmat Gumelar & Karno Kartadibrata. Terbit tahun 1999, berisi 37 puisi dari 37 Penyair Indonesia yang masuk nominasi Lomba Cipta Puisi Nasional, Pesta Sastra Tasikmalaya 1999.
(3) Antologi Puisi ORASI KUE SERABI. Editor Drs. Jojo Nuryanto M.Hum. Terbit tahun 2001 bekerja sama dengan Gedung Kesenian Tasikmalaya. Berisi
puisi-puisi para penyair Tasikmalaya, Garut, Bandung dan Ciamis yang aktif
bersosialisasi di Sanggar Sastra Tasik (SST).
(4) Antologi Puisi 6 PENYAIR MENEMBUS UDARA. Editor Irvan Mulyadie. Terbit tahun 2001. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 1.
(5) Antologi Puisi EPIGRAM BUAT SUHARTO. Karya Saeful Badar. Terbit tahun 2001. Berisi 36 puisi sosial karya penyair Saeful Badar.
(6) Antologi Puisi 6 PENYAIR MEMBENTUR DINDING. Editor Nizar Kobani. Terbit tahun 2002. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 2.
(7) Antologi Puisi 6 PENYAIR MEMINUM ASPAL. Editor Sarabunis Mubarok. Terbit tahun 2002. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi Enam’ tahap ke 3.
(8) Antologi Puisi MUKTAMAR. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari 30 Penyair peserta Muktamar Penyair Jawa Barat 2003 yang diselenggarakan oleh Sanggar Sastra Tasik bekerjasama dengan Forum Komunikasi Sastra Jawa Barat di Tasikmalaya.
(9) Antologi Puisi 6 PENYAIR MENGHISAP KNALPOT. Editor Ashman Syah Timutiah. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari penyari peserta ‘Program Tradisi
Enam’ tahap ke 4.
(10) Antologi Puisi POLIGAMI. Editor Acep Zamzam Noor. Terbit tahun 2003. Berisi puisi-puisi dari para Penyair Tasikmalaya yang lolos ‘Program Tradisi Enam’, sebuah program dengan mengupayakan uji publik dan telaah karya (kritik) bagi para penyair Sanggar Sastra Tasik (SST).
SST sebagai media sastra, menjadi vital eksistensinya menumbuh-kembangkan kesadaran masyarakat terhadap sastra di Tasikmalaya. Sebagai warga biasa, penulis berharap, SST tetap survive dan tidak jenuh menebarkan virus kesusasteraan di Tasikmalaya agar seiring perkembangan sastra yang sekarang telah beralih ke cyber sastra mampu mendampingi masyarakat untuk memahami dan tentunya memasyarakatkan sastra lebih intens lagi.
Dengan begitu, perkara menulis esai sastra yang masih minor dikidungkan masyarakat Tasikmalaya akan semakin mayor seiring perkembangan kesadaran masyarakat terhadap sastra meningkat. Terimakasih.
(Dimuat di HU. Kabar Cirebon Edisi Sabtu, 18 September 2010)




Mengawinkan Jurnalisme, Seni, dan Dakwah
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Sabtu (04/09), rangkaian kegiatan Pesantren Media yang dimulai pada tanggal 14 Agustus – 04 September, dikomandoi Pondok Media kerjasama dengan Kabar Priangan, Indosat, Dinas Pendidikan, UKM Aksara UPI Kampus Tasikmalaya, dan UKM TMC UPI Kampus Tasikmalaya di Aula Kampus UPI Tasikmalaya, diakhiri dengan kreasi seni dari berbagai kelompok peserta. Banyak penampilan menarik dari kelompok-kelompok tersebut, saat tampil di panggung. Mereka menunjukkan kreatifitasnya ; mulai dari grup musik, musikalisasi puisi, solo, teatrikal dan sulap.
Konsep akhir kegiatan ini dirancang semata-mata untuk mengembangkan bakat para peserta yang notabene para pelajar Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, Manonjaya, dan Singaparna. Agar selalu memanfaatkan berbagai media untuk meningkatkan kreatifitas. Hal tersebut sesuai dengan visi Pondok Media selaku penyelenggara yaitu meningkatkan kesadaran bermedia yang sehat di kalangan pelajar.
Setelah kreasi seni berakhir, tausyiah  Drs. Edi hendri M. M. Pd., menyempurnakan kegiatan Pesantren Media 2010 yang dilanjutkan dengan buka bersama dan penyematan Kartu Identitas Citizen Journalism serta sertifikat untuk peserta Pesantren Media dari Pondok Media.
Para peserta (komunitas jurnalis pelajar) dibekali berbagai keterampilan-keterampilan seputar jurnalistik. Mereka menggali pengetahuan empirik seputar jurnalistik, dipandu mentor-mentor  yang telah disiapkan oleh Pondok Media dan pemateri-pemateri seperti : Duddy RS (Redaktur Kabar Priangan), Kelik Nursetyo (Pemerhati Pendidikan), Ai Nurhidayat (Aktivis Pendidikan), A. Dwi Rusmianto (Pemred matapelajar.com), Arief Reff (Marketing Media), Nero Taopik Abdillah (Aktivis Pendidikan), Dede Tsukana (Design Grafis), Edi Martoyo (Fotographer), Soca (Audiovisual), Aksara (UKM Sastra UPI Tasikmalaya), TMC (UKM Musik UPI Kampus Tasikmalaya), Kang Efis dan Johan (Teater Windu).
Diharapkan, para peserta menjadi generasi uploader yang mengisi ruang matapelajar.com sebagai media tindak lanjut dari kegiatan Pesantren Media. Dengan menjadi member matapelajar.com, para peserta dapat mencurahkan kratifitasnya, baik menulis, fotograpi, audiovisual, design grafis dan karya jurnalistik lainnya. Para peserta Pesantren Media dibentuk sebagai pioneer masyarakat yang sadar media. Pelajar merupakan ujung tombak – dalam  tatanan masyarakat – untuk melesatkan pengaruh budaya yang mampu memanfaatkan media-media sebagai ruang belajar dan mem-publish endapan-endapan daya bacanya terhadap lingkungan dan peristiwa sekitar, di masyarakat.
Membangun budaya masyarkat yang sadar media dan tidak semena-mena menjiplak karya orang lain (plagiat), dimulai dari pelajar-pelajar yang sungguh-sungguh belajar mendalami bidang jurnalisme. Dalam hal ini, para pelajar sebagai virus yang dapat memberi dampak positif terhadap perkembangan sadar media di masyarakat.
Kekuatan media mampu membangun paradigma, perubahan, dan informasi baru dalam masyarakat. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan pola pikir masyarakat sekarang dengan masyarakat dahulu. Karena media, paradigma dan budaya masyarakat berubah setelah dijejali berbagai pengetahuan dan informasi. Setelah proses panjang, dengan sendirinya masyarakat menjadi bagian budaya kontemporer (kekinian).
Namun, tidak seluruh media memberikan hal positif bagi masyarakat. Tidak sedikit media-media yang justeru memberi pengaruh negatif terhadap masyarakat. Misalkan, media-media online di internet, banyak sekali situs-situs yang tidak senonoh untuk dikonsumsi masyarakat. Ataupun, media cetak, audio, dan audiovisual yang selama ini meresahkan masyarakat.
Acara Pesantren Media ini, merupakan langkah kecil membangun masyarakat pelajar – sadar  media – yang  sehat dan mampu mengimbangi media-media yang kurang baik dalam membangun budaya masyarakat kini.
Mudah-mudahan para peserta dapat mengaplikasikan dan mengimplementasikan proses pembelajaran selama kegiatan Pesantren Media dan memberi pengaruh baik di masyarakat dalam hal kesadaran bermedia.
(Dimuat di HU. Kabar Priangan, Edisi Rabu, 15 September 2010)





Mengenalkan Jurnalisme di SDN. Perumnas 1 Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Rabu (02/06), siswa Kelas V SDN. Perumnas 1 Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya, melaksanakan kegiatan wawancara di lingkungan sekitar dalam rangka pembelajaran Bahasa Indonesia. Kegiatan ini, selain tuntutan Kurikulum Tingkat Satuan pendidikan, diilhami oleh redaktur Kabar Priangan (Duddy RS), sebagai ajang pengenalan jurnalisme sejak dini.
Hari itu, guru Kelas V SDN. Perumnas 1 Cisalak, D. Dudu AR., S. Pd., membagi siswanya menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok, beranggotakan dua orang. Sebagai langkah awal, mereka diberi tugas mencari topik sesuai yang diinginkan. Dalam diskusi, siswa terlihat sangat antusias, satu sama lain saling berbagi tugas; sebagai reporter dan penulis bahan berita. Setelah topik berita disepakati kelompok, guru kelas V memberikan pengarahan dalam melakukan wawancara. Guru membimbing siswa, membuat pertanyaan sebagai bekal wawancara. Dasar membuat pertanyaan untuk wawancara, siswa disuruh membuat pertanyaan dengan kata tanya; apa, kenapa, bagaimana, siapa, berapa, dst. Kemudian, setelah bahan pertanyaan dibuat, siswa diajak keluar, terjun langsung ke lapangan, mewawancarai orang-orang yang dijadikan sumber sesuai dengan topik berita masing-masing kelompok. Guru memantau dan mengarahkan siswa saat wawancara berlangsung. Mungkin saja, ada kelompok yang masih belum bisa mengawali kegiatan wawancara alias canggung.
Setelah kegiatan di luar, siswa kembali ke kelas untuk merangkai kalimat berita dari hasil wawancara. Kalimat berita wartawan profesional dengan wartawan cilik (siswa), tentu berbeda. Maka dari itu, guru Kelas V, memberikan contoh kalimat-kalimat berita yang dimuat di surat kabar. Agar siswa memahami kalimat-kalimat berita yang baik dan benar.
Hasil dari kegiatan tersebut, keterampilan siswa dalam menulis kalimat berita, mengalami peningkatan. Setidaknya, melalui kegiatan wawancara, siswa lebih gampang memahami penulisan kalimat berita, ketimbang dengan metode konvensional, salah satunya ceramah.
Banyak hal yang unik dan menarik ketika kelompok siswa melaksanakan tugas wawancara, mereka meikmati kegiatan tersebut. Adapun yang mereka wawancarai diantaranya; siswa Kelas VI, adik kelas, siswa yang sedang olahraga, ibu-ibu yang menunggu anaknya, si bibi kantin sekolah, penjaga sekolah, dlsb.
Kegiatan wawancara ini, selain mengembangkan 4 aspek berbahasa siswa; berbicara, membaca, menulis dan menyimak, menumbuhkan rasa ingin tahu siswa dalam suatu permasalahan, sehingga cara berpikir mereka menjadi “kritis tapi etis”, sesuai motto Harian Umum Kabar Priangan. Semoga dengan langkah kecil ini, sedikit memberi inspirasi dalam meningkatkan keterampilan siswa menulis kalimat berita Bahasa Indonesia. Terimakasih.
(Dimuat di HU. Kabar Priangan, Edisi Selasa, 11 Mei 2010)


Ketika Anak SD Dididik Menjadi Wartawan
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Kedatangan redaktur HU. Kabar Priangan Kota Tasikmalaya (Duddy RS) dan aktivis budaya (A. Dwi Rusmianto), Sabtu pagi (13/6) ke SDN. Perumnas 1 Cisalak Kecamatan Cipedes Kota Tasikmalaya – dalam rangka meninjau pembentukan jurnalis cilik yang direkomendasikan saya kepada kepala sekolah (Tati Heryati, S. Pd.) – disambut meriah oleh siswa-siswi Kelas V. Selain merintis jurnalis cilik di sekolah, juga bertujuan menajamkan konsep kegiatan jurnalisme yang sempat dilaksanakan, Rabu (2/6).
Sebelum kegiatan dimulai, setelah keduanya memperkenalkan diri kepada siswa, saya mempersilahkan Duddy RS untuk memegang kendali proses pembelajaran. Adapun tugas Dwi Rusmianto sebagai dokumenter, dan saya memantau (supervisor) siswa selama kegiatan berlangsung.
Kegiatan diawali dengan memberikan stimulus kepada siswa, mengingat dan membahas kembali – kegiatan jurnalisme, Rabu (2/6) – materi sebelumnya. Duddy RS mengevaluasi terlebih dahulu kegiatan jurnalisme siswa Kelas V, Rabu (2/6). Kemudian, mengajak siswa berdiskusi tentang kalimat berita yang mereka ketahui. Sekedar mengingatkan siswa, beliau menenteng koran – di meja kelas – yang dipersiapkan sebagai sumber pembelajaran. Mengajak siswa menela’ah hasil tulisan yang kebetulan hasil kegiatan siswa dan saya ”Mengenalkan Jurnalisme Kepada Siswa” tempo hari yang dimuat di HU Kabar Priangan rubrik pendidikan, Jum'at (4/6).
”Siapakah orang yang ada di dalam foto?” Kang Duddy memulai pertanyaan kepada siswa. ”Si ganteng Pak”, celetuk salah satu siswa, Roqi. ”Annisa pak”, Yuneu pun menjawab. ”Sandal siapa yang ada di foto?” Kang Duddy bertanya lagi. ”Sandal Mang Amin, Pak”, yang lainnya pun menjawab, dst.
Menurut penjelasan beliau, cara identifikasi di atas, siswa sudah memiliki kemampuan identifikasi jurnalistik. Artinya, siswa sudah memiliki kemampuan tela’ah dalam membaca literasi maupun peristiwa. Hal ini, tidak jauh berbeda dengan kegiatan sehari-harinya sebagai wartawan HU. Kabar Priangan dalam mencari suatu peristiwa di lingkungan masyarakat sebagai bahan pemberitaan. Melalui langkah identifikasi tokoh atau masalah sebagai bahan berita adalah tindakan jurnalis, tegasnya.
Setelah kegiatan tanya jawab dilakukan, siswa diperintahkan untuk menceritakan pengalaman selama kegiatan jurnalisme (2/6). Dengan ingatan yang masih segar – per kelompok – para siswa menceritakan kembali pengalaman masing-masing. Beliau pun terperangah, melihat keaktifan siswa yang detail menceritakan pengalaman jurnalisnya.Beliau pun, menceritakan pengalamannya selama menjadi wartawan HU. Kabar Priangan. Surat kabar harus memiliki pengurus yang peranannya sangat penting bagi keberlangsungan media (cetak) itu sendiri. Tugas-tugas pengurus surat kabar, diantaranya : Komisaris (pemilik surat kabar), Pimpinan Redaksi (membawahi redaktur-redaktur), Redaktur (membawahi reporter-reporter), dan terakhir Reporter yang mencari berita di lapangan.
Setelah penjelasan rinci di atas, barulah siswa mulai paham tentang perjalanan suatu berita sampai dimuat di surat kabar. Mereka pun diajak melakukan kegiatan seperti yang telah dijelaskan di atas. Namun, sebelum kegiatan dilanjutkan, terlebih dahulu diresmikan pembentukan Komunitas Jurnalisme di SDN. Perumnas 1 Cisalak. Sesuai saran beliau, akronim ”Percisa (Pers Cilik Siswa Cisalak)”, sangat menarik bila dijadikan sebuah nama komunitas jurnalis SDN. Perumnas 1 Cisalak. Tanpa panjang lebar, saya pun setuju dengan nama yang disematkan untuk komunitas jurnalis cilik tersebut.
Setelah meresmikan Percisa, siswa diberi tugas sesuai tugas yang telah dibagi sebelumnya; Pimpinan Redaksi (Yusrina), Redaktur (Yunia, Salsabila, Soraya, Viska dan Nadya) dan siswa lainnya diposisikan sebagai reporter.
Sebelum diakhiri, Duddy RS, Dwi Rusmianto dan saya, mengondisikan siswa melaksanakan tugas sesuai dengan kapasitas mereka, layaknya bekerja di suatu harian umum surat kabar. Dalam simulasi hari itu, Yusrina (Pemred), memimpin rapat bersama redaktur-redaktur, kemudian redaktur-redaktur memberikan perintah kepada reporter-reporter. Berhubung waktu terbatas, kegiatan tadi dilangsungkan secara berkesinambungan, sesuai jadwal kegiatan ekstrakurikuler jurnalisme di SDN. Perumnas 1 Cisalak setiap hari sabtu.
Hasil dari kegiatan ini, siswa dimotivasi untuk mengelola Majalah Dinding Percisa sebagai tindak lanjut. Agar dalam perjalanannya, siswa memiliki ruang ekspresi dalam menciptakan karya jurnalistik ataupun lainnya, terutama menumbuhkan minat menulis anak. Siswa-siswi kelas V SDN. Perumnas 1 Cisalak menjadi pelopor mata pelajar sekolah dasar di Kota Tasikmalaya yang memiliki ”Pers Cilik Siswa Cisalak”. Jika didukung oleh segenap stakeholder di lingkungan sekolah, sebagai upaya mewujudkan Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif dan Menyenangkan (PAIKEM) ; siswa akan merasa betah, senang dan antusias dalam proses pembelajaran. Kegiatan ini akan menjadi salah satu wadah bagi siswa dalam mengembangkan bakat dan minatnya.
Sebagai pendidik, saya menyarankan rekan-rekan guru lainnya untuk mengembangkan kegiatan serupa. Agar sikap reflektif – kepedulian siswa membaca peristiwa dan lingkungan – menjadi salah satu motivasi dalam menumbuhkan sikap sosial yang tinggi dan memberikan pengalaman belajar yang langsung diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak bisa dipungkiri, kegiatan jurnalisme akan dicintai siswa-siswi sebagai pembelajaran yang aplikatif dan kreatif, terutama meningkatkan 4 aspek keterampilan berbahasa anak ; menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Bagaimana tidak! Pola pikir mereka akan semakin kritis-dinamis dalam pembelajaran, karena diberi pengalaman belajar yang menghubungkan lingkungan dengan materi.
(Dimuat di Majalah Ekspresi Tabanan Bali, Edisi Oktober #31)






Pesantren Media, “Jurnalisme dan Dakwah”
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Kegiatan Pesantren Media yang akan diselenggarakan pada tanggal 14 – 04 Agustus 2010 di Kampus UPI Tasikmalaya ini, dikomandoi oleh Pondok Media (Citizen Journalism Forum) kerjasama dengan UKM Aksara (UPI Kampus Tasikmalaya), UKM TMC (UPI Kampus Tasikmalaya), Harian Umum Kabar Priangan, Indosat, dan Dinas Pendidikan Kota Tasikmalaya, merupakan salah satu program yang dilaksanakan setiap setahun sekali pada bulan ramadhan.
Tujuan kegiatan Pesantren Media adalah membangun warga biasa meramaikan jurnalistik – partisipatif, sehingga seiring waktu berjalan, tumbuh kesadaran bermedia dalam kehidupan masyarakat. Dewasa ini, teknologi berkembang sangat pesat, seperti virus yang menjalar tanpa jeda. Banyak media alternatif yang dapat dimanfaatkan masyarakat, baik cetak, visual, audio, audio-visual, ataupun online untuk digunakan sebagai media transformasi reseptif dan produktif. Hal tersebut menjadi sabab-musabab motivasi Pondok Media mengadakan acara ini.
Peserta yang akan mengikuti kegiatan ini merupakan komunitas jurnalis pelajar, mahasiswa dan umum dari berbagai wilayah Tasikmalaya, Singaparana, Ciamis dan Banjar. Kegiatan ini akan berlangsung selama 4 kali pertemuan (seminggu sekali) di Padepokan dan Aula UPI Kampus Tasikmalaya.
Jurnalisme dan Dakwah merupakan dua hal yang sifatnya berbeda, namun memiliki kaitan yang sangat erat, sehingga terjalin sinergisitas fungsi dalam penyampaian informasi. Jurnalisme identik dengan dunia kewartawanan, artinya tulis-menulis peristiwa di lingkungan dan masyarakat, lalu dijadikan pemberitaan pada suatu media. Menulis bukan berarti milik wartawan saja, justeru kepedulian seseorang membaca lingkungan sekitar kemudian ditulis dan menjadi informasi bermanfaat bagi orang lain adalah suatu kewajiban seorang muslim. Dalam hal ini, seseorang berdakwah melalui tulisan, karena ada suatu komunikasi antara pembaca dengan penulis (interaksi pasif).
Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik (Wikipedia.org). Dari berbagai ragam pengertian dan teori  jurnalisme (menulis), menurut Saeful Badar (jurnalis senior salah satu surat kabar Tasikmalaya) mengatakan, “Menulis adalah menulis. Artinya dilewati setelah kita melakukan membaca. Kita tidak mungkin bisa menulis tanpa kita mampu membaca. Membaca tidak hanya yang berupa teks saja, tapi juga membaca beragam peristiwa dan berbagai fenomena di sekitar kita. Seribu kali orang berteriak ingin menjadi penulis, tapi dia ogah membaca apapun (cuek) terhadap segala hal yang berlaku di sekitarnya, maka seribu kali pula dia sebetulnya tengah mengatakan omong kosong belaka!”.
Berangkat dari pengertian menulis Kang Badar, jurnalisme berarti kegiatan yang memerlukan daya baca terhadap peristiwa atau kejadian di lingkungan sekitar, sebagai modal utama (bahan) dalam menuangkan tanggapan dan ide atau gagasan ke dalam tulisan.
Dakwah
Memang, selama ini – dakwah – yang kita ketahui adalah kegiatan para ustad dalam ceramah-ceramah. Pada prakteknya, mereka selalu mengajak, memanggil, menghimbau agar selalu mengikuti  ajaran yang benar (Islam). Istilah penyampaian (ceramah) ustad, kita kenal dengan dakwah. “Dakwah adalah kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk beriman dan taat kepada Allah Subhaanahu wa ta'ala sesuai dengan garis aqidah, syari'at dan akhlak Islam. Kata dakwah merupakan masdar (kata benda) dari kata kerja da'a yad'u yang berarti panggilan, seruan atau ajakan. Kata dakwah sering dirangkaikan dengan kata Ilmu dan kata Islam, sehingga menjadi Ilmu dakwah dan Ilmu Islam atau ad-dakwah al-Islamiyah” (Wikipedia.org).
Melihat latar belakang di atas, dakwah adalah usaha verbal persuasive kepada masyarakat, ihwal kebenaran. Sinergisitas jurnalisme dan dakwah adalah memberikan informasi kepada masyarakat baik dengan cara retorika persuasive ataupun retorika dialektika (tulis-lisan). Membaca suatu keadaan di lingkungan kemudian disebar luaskan melalui tulisan merupakan langkah dakwah seseorang (penulis/jurnalis). Ataupun sebaliknya, dari sebuah tulisan seorang ulama mencari sumber untuk dijadikan bahan dakwah, sehingga terjadi umpan balik antara keduanya.***
(Dimuat di HU. Kabar Priangan, Edisi Sabtu, 15 Agustus 2010)










                                






Dilema Guru, Karakter Siswa, dan Sastra di Sekolah
Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.
Tidak salah, jika para kritisi sastra mempertanyakan peranan guru terhadap perkembangan sastra di sekolah. Hal ini dibuktikan, kurangnya kompetensi guru dalam kesusastraan. Khususnya guru di sekolah dasar, yang memiliki bejubel peranan sebagai : administrator, pengajar semua mata pelajaran, ekstrakurikuler, dlsb. Jangankan memikirkan sastra, banyak hal yang membuat mereka sering tidak fokus dan konsentrasi mengelola pembelajaran. Oleh sebab itu, sastra di sekolah dasar kurang berkembang.
Sementara, untuk memupuk generasi masa depan yang sadar dan menjadi pelaku sastra di negeri tercinta ini adalah siswa-siswi sekolah dasar. Pada kenyataannya, mereka disuguhi pembelajaran yang kaku; membaca puisi, menulis puisi, mendengarkan prosa, tanpa larung berdiskusi atau mengajak menela’ah secara baik dan benar. Sehingga dalam prosesnya, mereka gampang jenuh dan cenderung tidak berminat mengikuti pembelajaran sastra. Meskipun kurikulum tingkat satuan pendidikan sudah dirancang sedemikian rupa, memberikan petunjuk kepada guru, melaksanakan proses belajar mengajar, tetap saja kurang memberikan kontribusi yang cukup untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di sekolah.
Kaitan dengan kemampuan guru sekolah dasar terhadap sastra, memang sangat menyedihkan. Betapa tidak, mereka harus memberikan pembelajaran sastra, sementara kemampuan sastra itu sendiri tidak dimiliki. Memang, guru sekolah dasar bukan ahli sastra atau sastrawan, setidaknya mereka perlu diberikan seminar atau workshop tentang sastra. Banyaknya peran ganda mereka yang membuat konsentrasi dalam memberikan pengajaran terbagi-bagi, ini juga menjadi salah satu faktor penghambat.
Apakah dengan begini, lalu pembelajaran dan pengajaran sastra di sekolah dasar akan kreatif, efektif, dan menyenangkan? Selain kurangnnya seminar atau workshop sastra untuk guru, pihak-pihak terkait juga terkesan kurang respect terhadap perkembangan sastra di sekolah dasar. Padahal, sastra merupakan cara ampuh membentuk karakter siswa sebagai penerus bangsa yang berbudaya dan beretika.
Ironisnya, kenyataan di lapangan paradoks dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Wajah pengajaran sastra seperti ini, mungkin tidak akan pernah jelita sepanjang guru itu sendiri tidak dibekali kemampuan seputar sastra. Setidaknya, mengadakan seminar ataupun mengadakan bengkel sastra yang direkomendasikan dinas pendidikan ke sekolah-sekolah, kemudian mengundang sastrawan-sastrawan untuk memberikan pengarahan sastra kepada guru-guru sebagai bekal di kelas. Tindakan seperti itu merupakan langkah yang lebih baik dan aplikatif. Ketimbang berretorika setiap rapat-rapat ataupun berapriori dalam ritus pendidikan selama ini, yang mengharapkan pembelajaran sastra di sekolah berkembang dan maju.
Selama ini, guru sekolah dasar kurang diberdayakan dalam pengembangan sastra di sekolah. Intensitas pengadaan seminar yang minim diikuti oleh guru, juga merupakan alasan guru sekolah dasar gagap terhadap pengajaran sastra. Bukan perkara mudah, tugas yang diemban guru sekolah dasar, apalagi mengembangkan sastra yang seharusnya dipegang oleh guru ahli bahasa dan sastra. Ini menjadi tugas dinas terkait untuk memikirkan solusi yang tepat, kaitan pengembangan sastra di sekolah dasar.
Pembentukan sikap siswa-siswi di sekolah dasar merupakan suatu masa yang tepat untuk memberikan bekal kesusasteraan sejak dini. Hal ini sesuai dengan teori tabularasa (kertas kosong) yang dikemukakan Jhon Locke seorang tokoh empirisme, dalam buku pedagogik (2007 ; 74), diibaratkan sebagai ”tabularasa”, yaitu sebuah meja yang dilapisi lilin, yang digunakan di sekolah dalam rangka belajar menulis. Artinya, anak ibarat kertas putih yang bisa dicorat-coret oleh pengaruh lingkungan dan manusia dewasa. Sebetulnya, bagi guru sekolah dasar, merupakan waktu yang pas untuk memberikan pemahaman dan pengalaman kepada siswa tentang sastra yang mampu membentuk karakter siswa ; berbudaya dan beretika.
Jika pihak-pihak terkait sadar akan pentingnnya perkembangan sastra di sekolah dasar, mungkin para kritisi sastra tidak lagi mengkambinghitamkan kepada dunia pendidikan, khususnya guru sekolah dasar atas ”kegagalan sastra” selama ini. Betul, sudah seharusnya perkembangan sastra di sekolah dasar merupakan tanggung jawab bersama. Bukan mencari-cari kesalahan yang tidak sepatutnya disematkan kepada guru. Harus dipikirkan oleh kita semua, baik pemerintah, guru dan sastrawan di negeri ini. Jangan hanya menyalahkan salah satu pihak, agar perkembangannya itu sendiri selaras sesuai dengan tumbuh-kembang generasi kita.
Selain itu, pembagian tugas guru di sekolah dasar harus dikelola oleh pihak-pihak terkait dengan baik, agar tugas mengajar guru tidak tumpang tindih dengan administrasi yang pada kenyataannya mengganggu proses belajar-mengajar. Salah satunya, mengangkat tenaga kerja seluas-luasnya untuk dijadikan pegawai negeri sipil di setiap sekolah dasar, yang barang tentu harus sesuai dengan kompetensi dan bidangnya masing-masing. Agar fungsi guru sekolah dasar di kelas, tidak bekerja ke sana ke mari atau harus mempersiapkan berbagai macam persiapan yang bukan kompetensinya. Kemudian, menggalakan program guru bidang di sekolah dasar, yang harus segera direalisasikan. Bagaimana tidak, satu kelas yang dikelola oleh satu orang guru, merupakan pekerjaan yang sangat muskil menghasilkan murid berkualitas, terutama dalam pembelajaran sastra.
(Dimuat di Majalah Ekspresi Tabanan Bali, Edisi Oktober #31)






Ramadhan di Mata Kita
Oleh : Dini Nur Khairina
Tanggal 11 Agustus ini sekarang kita akan menjalankan ibadah puasa “shaum”,sebagaimana kita sebagai umat muslim sudah di wajibkan untuk menjalankan ibadah shaum.Dasar hukum menjalankan shaum ini terdapat di surat Al-Baqoroh ayat 183,yang artinya “hai orang-orang yang beriman,diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”.
Bagi umat muslim bulan puasa ini sangat di tunggu-tunggu karena bulan ini adalah bulan yang sangat suci.Selain itu di bulan ramadhan juga mempunya keistimewaan tersendiri yaitu bulan beribadah,bulan ampunan,bulan jihad,bulan kemenangan dan bulan turunnya al-quran.
Yang dimaksud bulan ramadhan itu bulan turunnya al-quran karena Alloh bersabda pada surat al-baqoroh ayat 185,yang artinya “pada bulan Ramadhan di turunkannya kitab suci Al-quran untuk memberi petunjuk manusia dan penjelasan-penjelasan itu,dan untuk menjadi garis pemisah(antara yang hak dan yang batil”.
Di bulan suci ramadhan ini kita sebagai umat muslim suka mengerjakan amalan-amalan baik itu sholat sunnat maupun bersedekah misalnya sholat tarawih,sholat witir,zakat fitrah dan kegiatan-kegiatan lainnya.
Pengertian sholat tarawih yaitu sholat yang dikerjakan pada malam bulan ramadhan,waktunya sesudah sholat isya hingga terbit fajar.Sedangkan pengertian sholat witir yaitu sholat yang dikerjakan setiap malam dengan jumlah rokaat yang lazim,yang penting ganjil.Setelah melaksanakan sholat tarawih di sunatkan sholat witir.Zakat fitrah wajib dikeluarkan oleh tiap-tiap orang islam,laki-laki maupun perempuan,bayi,anak-anak,orang tua.
Kita sebagai umat islam sering menyambut datangnya bulan suci ramdhan ini dengan senang,dan juga ini sudah menjadi tradisi kita yang disebut “munggahan”.
Kita menjalankan ibadah puasa ini selama 1bulan penuh,setelah kita menjalankannya kita akan merayakannya yang disebut “hari raya idul fitri”.1 malam sebelum hari raya idul fitri,di masjid-masjid sering mengadakan takbiran sampai sholat idul fitri dimulai.
(Dimuat di HU. Kabar Priangan, Edisi Selasa, 24 Agustus 2010)