CONTENT EKSPRESI PRIANGAN

Valentine Day di Mata Indie
Oleh : D. Dudu AR

 
Doc. Pribadi


Doc. Pribadi



Doc. Pribadi


INDI DINATA, mojang priangan kelahiran 27 Agustus 1980 ini bisa dibilang aktif menjadi MC di berbagai event di wilayah priangan. Sponsor-sponsor besar sering menggunakan jasa kelihaiannya menarik perhatian audien, baik off air maupun on air. Indi, sapaan akrabnya, adalah announcer Styleradio 93 FM Tasikmalaya, salahsatu chanel radio yang digandrungi anak-anak muda wilayah Priangan. Jadi, tidak heran jika dirinya dikenal oleh berbagai kalangan, terutama sponsor-sponsor besar.

Penggemar Sundanese Food ini, sering menjadi tambatan keluh kesah orang di balik telepon. Sebab, program CURHAT yang mengudara setiap malam sabat di Styleradio 93 FM, sudah menjadi jadwal rutinitas melayani pendengar setianya ketika on air. Dengan suaranya yang mendinginkan hati para pendengarnya, program ini sukses dibawakannya dari tahun 2007 sampai sekarang.

Menekuni dunia siaran, telah digelutinya semenjak SMU. Karena merasa enjoy “cuap-cuap” setiap on air di radio, penyuka warna Pink ini betah duduk di balik microphone hingga saat ini. Padahal, jika dilihat dari fisiknya yang tinggi, lehernya yang lenjang, dan parasnya yang menawan, cocok sekali menjadi seorang model. “Menjadi penyiar adalah naluriku”, tukas penikmat jus dan ice cream ini pada sela-sela perbincangan beberapa waktu lalu.

Dalam obrolan di depan teras rumahnya di Jl. Nusa Indah Perumnas Cisalak Kota Tasikmalaya, disinggung makna Valentine Day, baginya sangat berkesan. Sebab, di hari tersebut merupakan hari ulang tahun kekasihnya yang sudah menjalani hubungan lebih dari lima tahun. “Valentine Day adalah momentum untuk merayakan hari kasih sayang bersama keluarga, sekaligus hari paling spesial merayakan ulang tahun cowokku,”, pungkasnya sambil menikmati teh hangat senja.

Menurut penggemar Bahasa Inggris dan Matematika ini, Valentine Day hanyalah momentum saja. Bukan berarti, hari-hari biasa tidak dihiasi dengan rasa kasih sayang terhadap sesama. “Apalagi kepada teman spesial”, tegasnya sambil tersenyum.

Mengakhiri perbincangan dengan Indi, redaksi diajak merayakan Valentine Day pada acara yang akan dipunggawainya di sekitar alun-alun Kota Tasikmalaya.



Berkah Tadarus Puisi 
Oleh : A. Dwi Rusmianto  

Tiga Penyair Kamar  
Tasik – 23/10/10, menyimak dan memerhatikan Tadarus Puisi sesi kedua yang digelar Komunitas Cermin Tasikmalaya, membuat sadar akan segala ketidaktahuan. Mulai dari puisi sampai budaya dan karakter Tasikmalaya.

Penyair Muda Tasikmalaya; 3 Penyair Kamar. Begitulah tajuk acara Tadarus Puisi sesi kedua ini. Awal acara dibuka dengan pembacaan puisi dari ketiga penyair kamar oleh para bintang tamu. Diantaranya Aji Z, Asep Jumbo, Wit Jabo dari Teater Dongkrak, Lita dari SMA N 1 Ciamis, dan Wan Orlet dari Teater Oxigen. Ada nuansa lain ketika yang dirasakan ketiga penyair ketika karyanya dibacakan oleh orang lain, begitu ucap salah satu penyair yang karyanya didiskusikan.

Seiring waktu menaiki tangga malam, acara masuk pada inti, yaitu diskusi puisi dari ketiga penyair ini. Diskusi dipandu oleh Bode Riswandi (Penyair) dengan menghadirkan Irvan Mulyadi (Penyair) dan Ihya Ulumudin (Dosen)  sebagai pengulas.

Wacana diskusi melebar kepada wilayah-wilayah kebudayaan lainnya selain puisi. Seperti halnya kebudayaan lokal Tasikmalaya. Duddy RS mengemukakan tentang benang merah antara penyair dan karakter serta ciri khas Tasikmalaya. Bahwasannya para penyair ini harus berani mencoba membangun ciri khas Tasik dengan idiom-idiom khas Tasik. Hampir sama dengan yang dilontarkan Enung Sudrajat, dengan menitip pesan kepada penyair muda Tasikmalaya untuk  lebih tajam mempelajari detail dan idiom karena itu penting.
Ditambahkan Ahda Imran, yang kebetulan saat itu hadir, bahwa penyair harus mempunyai dan membangun kesadaran identitas serta harus mencoba mengeksplor bentuk. Sementara Nizar Machyuzar menyampaikan, teks menentukan identitas, kekuatan dalam diri kita yang mengonstruksinya.

Ada hal yang dapat diambil dari Tadarus Puisi kali ini. Selain menulis, penyair-penyair muda Tasikmalaya harus bisa membangun serta menjaga nilai identitas diri serta kebudayaan sekitarnya.
Tadarus Puisi, merupakan salahsatu bentuk acara yang dikemas untuk memelajari, menambah keingintahuan, serta ruang komunikasi bagi penggemar dan penggiat sastra khususnya dan insan seni pada umumnya. Kegiatan ini akan terus berlanjut dengan tema, isi, dan penyair-penyair muda lainnya.

  Tiga Penyair Jalanan 
Tasikmalaya, 27/11/10 - “MAAF TERGANGGU, PERBAIKAN GORONG-GORONG!”, papan perhatian yang dipasang di sebelah gundukan tanah merespon banyaknya galian dan perbaikan gorong-gorong di beberapa ruas jalan kota Tasikmalaya dalam upaya menghabiskan sisa anggaran, menjadi setting acara Tadarus Puisi sesi III yang digelar oleh Komunitas Cermin Tasikmalaya. Menampilkan 3 Penyair Jalanan diantaranya : Ade Afiat Kakapa, Qeis Surya Sangkala, John Heryanto. Yang selanjutnya diskusi puisi dipandu oleh Aan Farhan, dengan pengulas Duddy Rs (Redaktur Harian Umum Priangan Tasikmalaya) dan Doni Muhammad Nur (Aktifis Seni Tasikmalaya).

Acara dibuka dengan pembacaan puisi karya ketiga penyair oleh deklamator Tasikmalaya. Antara lain Dwiki Difsyal yang membacakan  puisi dengan sangat ekspresif; Herni, Metty, Novi dari SMK Mitra Batik; Eka Santoz dari SMA 9 Tasikmalaya. Paling menarik, ada 2 deklamator yang ditunggu-tunggu yaitu Kangeri Kustiaman dan Nunu Nazarudin Azhar (Sesepuh dan Penyair Tasikmalaya). Soalnya jarang sekali  menyaksikan Kangeri dan Nunu Nazarudin membacakan puisi di depan khalayak.

Tak banyak memang yang hadir pada kesempatan tadarus puisi saat itu. Tapi audien yang hadir cukup antusias sekali menyimak acara terseut. Apalagi ketika John Heryanto membacakan sebuah puisinya. Dengan latar belakang aktor, dia memanjat bambu penyangga saung. Seorang apresiator, Nero Taufik Abdillah tercengang melihat Jhon membacakan sajak sambil menggelayut pada sebatang bambu yang sengaja disetting panitia sebagai properti.  “Harita teu acan kapikir John bade naon, gening ngagulantung, mastaka di handap bari maca sajak”, begitu yang dituturkan Nero.

Ada satu penyair yang mungkin bisa dibilang gila lagi, yaitu Qeis Surya Sangkala. Sebagian orang mengenal Qeis itu sebagai perempuan yang suka cakakak-cikikik (ketawa-ketiwi), dan aktris pada pementasan teater beberapa waktu lalu di Gedung Kesenian Tasikmalaya. Dia membacakan sebuah puisi dengan full ekspresi. Sampai berani guyang di gundukan tanah yang menjadi setting panggung. “saya ingin mencoba menjadi orang gila yang paling waras!”, itu sebuah obrolan yang terlontar ketika ngobrol-ngobrol di sebuah café sebelumnya.

Di bawah hujan yang lumayan deras, diskusi pun dimulai. Penyair harus mempertanggungjawabkan karyanya di depan apresiator (mungkin mirip sebuah sidang dan yang menjadi terdakwanya adalah ketiga penyair itu). Ditemani cangkir-cangkir bajigur dan makanan khas rakyat seperti umbi-umbian dan rokok kretek. Syahdulah suasana malam itu.

Duddy RS mengemukakan bahwa sajak Qeis Surya Sangkala mungkin merupakan sebuah bentuk baru. Dari sudut pandang seorang Duddy RS yang sehari-hari bergelut dengan rancang bangun sebuah berita atau tulisan. Beda dengan puisi-puisi terdahulu yang terpaku pada rima, larik dan berbait, itu adalah puisi. Tapi pada puisi Qeis, sudah melepaskan unsur kesebangunan suku kata maupun rima. Dibebaskan lepas.  Tinggal yang harus diusahakan Qeis adalah menghadirkan penguatan metafora. Beda dengan puisi-puisi John Heryanto. Duddy RS, menemukan bahwasanya John Heryanto sudah asyik dalam majas terutama personifikasi. Adapun Ade Afiat, puisi- puisinya menghadirkan unsur pembangunan puisi yang paling dasar yaitu bunyi atau unsur bunyi, pola rima. Tapi cukup berhasil meskipun belum sepenuhnya konsisten.

Pergesekan kepenyairan dari generasi ke generasi mungkin membuat geliat puisi di Tasikmalaya semakin terasa ada. Ini yang dirasakan Doni Muhammad Nur ketika mencermati karya dari ketiga penyair jalanan. Puisi-puisi John Heryanto dan Ade Afiat Kakapa cukup menarik dan cukup fokus dengan adanya ruh puisi dalam rancang bangun puisinya. Puisi John Heryanto nyaris sempurna sedangkan puisi Ade Afiat memberikan ruh pada  puisi dengan mempertahankan irama. Beda dengan puisi-puisi Qeis Surya Sangkala, secara tematik sedikit kabur antara suasana atau setting dan pati atau inti serta misi puisi tersebut.

Perjalanan kepenyairan seseorang tidak terlepas dari pengaruh membaca dan lingkungan. Seorang penyair harus bisa menjadi peka terhadap lingkungan sekitar. Senjata utama adalah tulisan dengan pemikiran dan ide-ide yang mungkin gila. Dan untuk sebuah tujuan akhir tulisan yang dapat diterima oleh masyarakat umum. Tapi kita tidak boleh mengesampinkan unsur-unsur yang dapat membangun sebuah karya menjadi apik. Tata bahasa, irama, serta tema mungkin jadi pilihan utama.  Terlepas baik atau tidak sebuah tulisan kita, apresiatorlah yang menilai dengan latar belakang serta wawasan yang berbeda dan kesukaan yang berbeda juga.



A. Dwi Rusmianto, akrab dipanggil awi. Kelahiran Jogjakarta,
25 Agustus 1983. Menulis puisi sejak tahun 2003. Beberapa tulisannya pernah dimuat di koran lokal Tasikmalaya. Ikut tergabung di Oi Trotoar Tasikmalaya dan Komunitas Cermin. Saat ini selain menulis puisi, juga suka menulis artikel dan berita karena tergabung juga di Citizen Journalism Forum. Menulis baginya adalah membuat sebuah dunia kata yang berasal dari fenomena, rasa, dan nyata dibumbui sedikit aroma imajiner. Blog : http://www.oitrotoar.multiply.com/
Email : wie_rusmianto@yahoo.com CP. 087826964515




MULIANYA PROFESI GURU
Oleh: Ilam Maolani


Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pada tahun 2000 peringkat Human Development Index (HDI) atau Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada posisi 109. Lima tahun kemudian (tahun 2005) turun menjadi peringkat 112, dan pada tahun 2010 naik lagi ke peringkat 108 dari 150 negara di dunia (The Jakarta Post, edisi 8 November 2010).
Terdapat tiga faktor untuk mengukur peringkat IPM Indonesia, yaitu faktor pendidikan, derajat kesehatan, dan tingkat daya beli. Salah satu dari ketiga faktor tersebut yang sangat menentukan dan berperan penting adalah faktor pendidikan.
Berbicara masalah pendidikan di negara kita tidak terlepas dari pembicaraan masalah guru. Maka Peringatan Hari Guru Nasional dan HUT PGRI yang ke-65 pada tanggal 25 November 2010 yang lalu, mengingatkan kembali kepada kita tentang perbincangan mengenai profesi guru. Sebuah profesi yang saat ini lagi ‘diburu’, disorot, dan ‘dimanjakan’. Sebuah profesi yang menurut versi ‘guru’ bahwa di dunia ini hanyalah ada dua profesi, yaitu guru dan nonguru.
Guru yang mempunyai makna A person whose occupation is teaching others (seseorang yang pekerjaannya mengajar orang lain) merupakan pekerjaan mulia, penting, dan sangat strategis bagi kelangsungan kualitas pendidikan di Indonesia. Guru sebagai komponen utama pendidikan menempati posisi yang sangat terhormat. Hal ini dikarenakan tugas dan tanggung jawabnya yang berkaitan dengan jiwa anak didik. Hitam putihnya jiwa anak didik, salah satunya sangat bergantung pada guru.

Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Tidak akan dijumpai sedikitpun dalam dada atau pundak guru serentetan bintang tanda jasa. Beda halnya dengan tentara, polisi, jaksa, hakim, dan lain-lain. Pak Sukarno, Suharto, Habibie, Megawati, Gus Dur, SBY, mereka bisa menjadi presiden karena hasil cetakan para guru. Guru bisa mencetak presiden, tapi belum tentu presiden bisa mencetak guru. Guru bisa mencetak gubernur, akan tetapi belum tentu gubernur bisa mencetak guru. Semua bisa dan pernah merasakan duduk di kursi kekuasaan lantaran guru yang ‘mendorongnya' untuk duduk di kursi itu.

Guru bukan hanya berfungsi pengajar yang tugasnya menyampaikan sejumlah materi atau mata pelajaran di depan kelas, tetapi juga lebih dari itu guru adalah teladan (uswah) akhlak terhadap anak didiknya. Guru adalah sosok yang “digugu dan ditiru’. Ada ungkapan “Guru Ratu Wong Atua Karo”, guru diibaratkan sebagai pandita Ratu yang segala titahnya wajib ditiru. Guru harus merupakan cerminan insan kamil yang memiliki kesempurnaan. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga agama (Islam) menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan Nabi dan Rasul, sebab guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan sedangkan agama (Islam) sangat menghargai ilmu pengetahuan. Bahkan Allah SWT akan meninggikan derajat orang yang berilmu, sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Mujadilah ayat 11: "Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majelis", maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Islam mengangkat derajat orang yang berilmu pengetahuan melebihi daripada orang Islam lainnya yang tidak berilmu pengetahuan. Lebih dari itu, orang yang berilmu pengetahuan akan kelihatan berbeda segala-galanya dibandingkan dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan. Allah SWT berfirman dalam Surat Az-Zumar ayat 9: “(Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.”
Guru adalah bapak rohani atau spiritual father bagi anak didiknya, yaitu memberikan santapan jiwa dengan ilmu dan pendidikan akhlak. Dengan ilmu dan akhlak diharapkan anak didik mampu mencapai tingkat kedewasaan sehingga menjadi insan kamil yang mampu melaksanakan tugas hidupnya sebagai khalifah di muka bumi dengan baik.
Memperhatikan fungsi, peranan, kedudukan, serta tugas dan tanggung jawab guru yang yang sangat penting, berat, dan mulia dalam menyukseskan keberhasilan terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka sudah sewajarnya guru dihargai dan dihormati dengan sebaik-baiknya. Penghargaan dan penghormatan ini bukan semata-mata karena “guru juga manusia”, akan tetapi disebabkan kedudukan yang mulia dan sangat terhormat yang akan membawa kondisi manusia Indonesia ke arah yang lebih baik.
Mari kita mencoba untuk menengok bangsa lain. Setelah Hirosima dan Nagasaki dibom atom oleh Sekutu tahun 1945, segera Kaisar Hirohito mengumpulkan para pejabat negara dan bertanya' "Berapa orang guru yang masih tersisa di negeri kita?". Pada tahun 1957, ketika pesawat Sputnik dari Rusia sukses diluncurkan, masyarakat Amerika Serikat heboh karena merasa tertinggal. John F Kennedy yang kala itu masih Senator bertanya, "What's wrong with our classrooms?" Atau sejenak lihat pula betapa Presiden Vietnam memberikan suatu statement di hadapan para pembantunya dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan negaranya,"No Teacher, No Education". Tidak ada guru, tidak ada pendidikan. Begitulah guru dan pendidikan di negara maju, senantiasa berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya.

Nah, sekarang bagaimana dengan Negara Indonesia? Di Indonesia, penghargaan terhadap guru mengalami ‘grafik pasang’ alias kecenderungan ‘naik’. Pada jaman penjajahan, profesi guru merupakan profesi yang ‘disepelekan’. Ketika Pemerintah Belanda pada pertengahan abad ke-19 mulai mendirikan sekolah kejuruan (vakscholen), anak kalangan priyayi dan orang pribumi kaya lebih tertarik kepada "Sekolah Radja" (Hoofdenscholen/Sekolah Calon Pegawai Sipil Pribumi) ketimbang masuk Sekolah Pelatihan Guru Pribumi (Kweekschool). Sebab, guru dianggap sebuah karier yang tidak prestisius dan menjanjikan. Kecenderungan itu tampaknya terus berlanjut sehingga kebanyakan siswa berprestasi tidak tertarik masuk lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK). Semua ini berdampak buruk pada kompetensi guru, ditandai oleh rendahnya penguasaan materi dan metodologi pembelajaran, kurangnya kematangan emosional dan kemandirian berpikir, serta lemahnya motivasi dan dedikasi. Selanjutnya, pekerjaan sebagai guru tertinggal dan tidak seistimewa profesi lain.
Memasuki Orde Lama dan Orde Baru, perhatian pemerintah masih kurang begitu besar terhadap guru. Guru masih ‘agak dianaktirikan’ dibanding dengan profesi lain. Guru masih dianggap ‘kelas dua’. Bahkan ada seloroh yang mengatakan bahwa jika seorang gadis menangis, maka untuk menghentikan tangisannya, si orangtua gadis mengancam anaknya akan dikawinkan dengan guru. Mendengar ancaman tersebut, gadis itu seketika berhenti menangis. Atau pernah suatu saat penulis bertanya kepada para siswa yang ada di suatu kelas tentang cita-cita mereka, dari 35 orang siswa, hanya ada dua orang yang bercita-cita ingin menjadi guru.
Pada perkembangannya kemudian, baru setelah ada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003 dan Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) No. 14 tahun 2005, profesi guru semakin dihargai dan dihormati. Kesejahteraan guru semakin meningkat dan diperhatikan. Terutama dalam UUGD, guru semakin dituntut untuk meningkatkan kompetensi, kualifikasi, dan disertifikasi sehingga pada akhirnya guru akan mendapatkan sertifikat pendidik sebagai tanda bahwa ia seorang guru yang sudah profesional. Secara otomatis jika sudah mendapatkan sertifikat pendidik, maka guru berhak untuk mendapatkan tunjangan profesi.
Maka tak berlebihan jika setelah adanya UU Sisdiknas dan UUGD, profesi guru semakin diminati dan diburu. Hampir di semua perguruan tinggi negeri dan swasta yang membuka fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, program studi pendidikan/keguruan peminatnya membludak. Hal ini menjadi buklti bahwa keberadaan guru semakin eksis dan diperhitungkan.
Dengan adanya perhatian pemerintah dan masyarakat yang semakin besar, kini tiba saatnya bagi para guru untuk lebih meningkatkan kompetensi dan profesionalitasnya. Jadilah guru yang bermutu. Guru yang tidak memandang apakah ia sudah disertifikasi atau belum, yang penting didiklah anak-anak dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Hindari cara mendidik dengan menghardik, jauhi cara mengajar dengan menghajar, tidak ada dalam diri guru teknik membimbing dengan “nampiling”, anak didik bukan dipukul tetapi mereka harus dirangkul.
Dalam hal proses pembelajaran, hindari cara mengajar “Chalk and Talk”, hampir setiap pertemuan di kelas hanya menulis dan berbicara (ceramah). Guru bukanlah profesi yang mendapat panggilan Bapak/Ibu ‘Ambeyen’, yaitu guru yang hanya duduk di belakang meja guru tanpa ada aktivitas variasi gerak dalam mengajar. Tidak patut guru disebut sebagai ‘tukang obat’ (terus-terusan menggunakan metode ceramah), tanpa adanya variasi metode. Atau sangat janggal jika bapak guru mendapat julukan “Guru Peci” (bagi guru yang berpeci), artinya ketika mengajar hanya pecinya saja yang ada di atas meja guru sedangkan gurunya tidak ada di dalam kelas, ia keluar kelas tanpa menghiraukan anak didik yang sedang belajar.
Ingatlah selalu bahwa mengajar bukan hanya transfer of knowledge (pengalihan pengetahuan), tetapi lebih dari itu mengajar merupakan transfer of values (pengalihan nilai), tentunya nilai-nilai kebaikan bukan nilai-nilai keburukan. Pertanggungjawaban mendidik bukan hanya di dunia, akan tetapi juga di akhirat kelak. Jadilah Guru Indonesia yang amanah, bertanggung jawab, aktif, kreatif, inovatif, dan menyenangkan. Selamat Hari Jadi Guru.

Ilam Maolani adalah Pemerhati Pendidikan, Guru Agama SDN Sambongpari Mangkubumi Kota Tasikmalaya.




Dualisme Bermusik Ala Band Tasikmalaya
Oleh : D. Dudu AR

Berkesenian tidak terbatas oleh ruang dan waktu, salahsatunya di bidang musik. Sah-sah saja ketika beberapa anak muda Tasikmalaya yang konsisten dan intens mengeksplorasi kemampuannya mengasah insting untuk selalu mencari pembaruan genre atau aliran musik yang sesuai “dengan kata hati’ (baca: tidak plagiat). Hal tersebut memacu Monday’s Blue Band dan Capung Biru Band yang dipunggawai oleh orang-orang yang sama, namun berbeda satu sama lainnya dalam hal genre musiknya itu sendiri.

Monday’s Blue
Monday’s Blue lahir di Bandung, Senin 19 Januari 2009. Monday’s Blue identik dengan Junot (vocal), Ibow (guitar), Badud (bass), dan Prams (drum). Tahun 1999-2001 mereka menempuh pendidikan di SLTP yang sama di kota Tasikmalaya. Lama berpisah, di awal tahun 2009 saat menempuh tahap akhir perkuliahan, mereka bertemu di Bandung. Dengan spontan mereka berempat sepakat untuk membentuk band dengan nama Monday’s Blue.

Nama Monday’s Blue berasal dari filosofi yang ingin mentransformasi hari Senin yang buruk (I Hate Monday), menjadi hari Senin yang menyenangkan (I Like Monday). Monday’s Blue bernuansa “Pop Monday”, artinya genre Pop unik yang dikemas minimalis tapi dinamis. Sering orang bilang musik mereka berani, ramah, dengan lirik yang menarik.

Awalnya mereka mendesain Monday’s Blue sebagai produk dari persahabatan mereka berempat. Namun, perlahan Monday's Blue terjun secara profesional ke industri musik Indonesia. Terlebih lagi, Monday’s Blue lolos menjadi finalis tahap 2 di ajang A Mild Wanted 2009 dan 2010 dari seleksi regional Jawa Barat. Kondisi ini memicu semangat mereka untuk dapat memberikan “sesuatu” yang lebih, bagi musik Indonesia, dan mereka bahagia melakukannya. Bicara tentang musik, bagi mereka “Tak pernah ada musik yang salah, yang ada adalah musik yang belum siap untuk didengar dan siap dikatakan sempurna saat hati merasakan kepuasannya”.

Dari latar belakang yang berbeda masing-masing personil memiliki influence beragam diantaranya: Junot; GIGI, The Calling, Jason Mraz. Ibow; John Lennon, John Petrucci, The Beatles, Dream Theater. Badud; Dream Theater, Ryan Star, Prisa, Napalm Death. Prams; Limp Bizkit, Slank, Rolling Stone, ACDC, The Gorillaz. Keberagaman tersebut tidak menjadi perbedaan yang signifikan, justeru musik mereka semakin berkhazanah ketika dipadukan.

Capung Biru
Dibentuk pada 5 Januari 2010; Erika (vokal), Ibow (gitar), Badud (bass) dan Prams (drum), mulai band dengan memainkan lagu sendiri. Pengaruh "John dan The Plastic Ono Band", "Green Day", dan "The Cranberries" dirasakan pada setiap lagu yang mereka buat. Filsafat Capung Biru yang bisa terbang bebas tanpa kesalahan dan biru melambangkan perdamaian, menginspirasi mereka untuk memberi nama bandnya "Capung Biru". Genre Capung biru sendiri adalah lollipop yang terkesan seksi tapi patri. Sampai sekarang, mereka masih mematangkan konsep musik yang ingin lebih berkarakter dan beda. Karena bagi mereka, musik adalah waktu untuk mengaktualisasikan diri.

Jika pembaca ingin lebih dekat dengan mereka kunjungi saja situs web:http://www.myspace.com/themondaysblue dan http://konsepbunga.blogspot.com/. Atau
hubungi saja leadernya, Ibow ( +62 813 210 35554).

Perbedaan dari kedua band di atas adalah vokalis dan genre musiknya. Di luar itu adalah orang-orang yang sama. Tidak ada yang mengharamkan dualisme dalam bermusik, yang penting kreatif agar dilirik oleh berbagai perusahaan musik. Dengan menikmati proses, suatu hari pasti akan bermuara kepada satu rasa, karakter, dan memiliki khazanah sendiri. "Music is time for self actualization", kata mereka. Sukses!


Doc. Monday's Blue



 
Doc. Capung Biru




Pengusaha Payung Geulis Kini Meringis
Oleh : Arief Ridwan Effendi

Tasikmalaya,IT-2, Keabadian sebuah tradisi dan budaya nenek moyang sangat sulit dipertahankan pada era globalisasi sekarang ini, masyarakat cenderung memakai pola hidup praktis termasuk dalam menggunakan kebutuhan hidupnya baik yang primer maupun yang sekunder.

Hal demikian menimpa pada produk payung geulis yang merupakan kerajinan tangan peninggalan nenek moyang. Payung sebagai alat untuk menaungi tubuh dari sengatan matahari atau guyuran air hujan sampai saat ini sangat dibutuhkan. Namun seiring berjalannya waktu, payung yang digunakan oleh masyarakat kian beragam, kepraktisan adalah pilihan utama masyarakat pengguna. Payung geulis yang terbuat dari kertas sebagai naungannya dan kayu sebagai pegangan dinilai sangat tidak praktis dan kaku untuk dibawa kemana-mana.

Berbeda dengan payung buatan China maupun Jepang yang terbuat dari kain parasit dan besi ringan dinilai sangat praktis digunakan, apalagi jenis payung yang bisa dilipat sangat diminati masyarakat.

Hingga akhirnya payung geulis sekarang ini hanya merupakan produk seni yang tidak layak untuk digunakan sesuai fungsinya. Payung geulis saat ini hanya dijual untuk kebutuhan estetika dan juga prosesi.
Berbeda dengan tahun 1926 saat Belanda menduduki wilayah Indonesia,none-none belanda sangat menggemari payung geulis produksi Tasikmalaya, saat itulah payung jenis ini sangat berjaya sampai tahun 1968. Babakan Payung dan Panyingkiran serta Empang Kota Tasikmalaya tercatat sebagai sentra pembuatannya.

Hingga akhirnya saat Indonesia menganut politik ekonomi terbuka pada akhir tahun 1968, masa kejayaan payung geulis berangsur-angsur surut, impor payung dari mancanegara menjadi pesaing yang sulit ditandingi oleh payung tadisional yang mengedepankan nilai seni.
Sejak saat itu payung geulis terus merosot walaupun pada tahun 1980-an sempat mendapat penghargaan upakarti dari pemerintah. Namun sampai saat ini pengrajin payung geulis yang merupakan generasi ketiga belum merasakan kembali masa kejayaan seperti masa dulu.
“Tidak seperti dulu jika ada kunjungan wisata, Panyingkiran sebagai sentra produksi payung geulis yang masih bertahan walaupun hanya empat pengrajin merupakan target kunjungan dari luar kota, sekarang sepertinya terlewat begitu saja” ujar Budi pemilik Nailah Collection di rumah produksinya yang sekarang memiliki satu karyawan.

Diakui Budi sebenarnya pemerintah Kota Tasikmalaya sudah maksimal memperhatikan nasib pengrajin payung geulis, terbukti ada bantuan alat-alat dan juga pembinaan. Namun dengan adanya persaingan harga yang sulit dihindari perjalanan usaha ini sulit sekali berkembang. Tidak adanya Koperasi yang bisa meyeragamkan harga standar menjadi kendala persaingan yang tidak terkendali.

Mampukan generasi muda Tasikmalaya mempertahankan maskotnya yang selalu melengkapi mode mojang tasik bila tampil di hadapan publik pada event pariwisata baik lokal maupun nasional. Karena saat ini para pembuat payung geulis adalah generasi ketiga yang usianya tidak muda lagi. Jika tidak tercipta generasi penerus untuk melestarikan payung geulis, maka generasi selanjutnya hanya akan tahu bentuk payung geulis pada lambang Kota Tasikmalaya.**

Arief Ridwan Effendi yang biasa dipanggil Arief Reff, lahir di Tasikmalaya, 28 Maret 1968. Lulusan Unwin Fakultas Perhutanan 1991. Beliau senang mengikuti kegiatan sastra di berbagai daerah. Hobi menulis sajak/puisi sejak SMA. Bergiat di Sanggar Sastra Tasik (SST) dan Pondok Media (Citizen Journalism Forum), juga sebagai Pimpinan Yayasan Bungawari yang concern mengangkat kearifan lokal. Karyanya dimuat di media cetak / online lokal dan nasional.




Kolom Redaksi Ekspresi Priangan : Pemimpin Redaksi D. Dudu AR Dewan Redaksi : Nero Taopik Abdillah, Dini Nur Khairina, Maman   Nurzaman, Annisa Sholehah, Alma Febriana, Ayudhia Prasasti, Ilam Maolani.


Sekretariat : Jl. Jend. Ibrahim Adjie No. 164 Indihiang Kota Tasikmalaya.
Email    : sajakbiru@yahoo.co.id   Web : priangan-online.com, pondokmedia.web.id, kastilsajakbiru.blogspot.com      Contact Person : 081573890760