FLASH FICTION


Di Ujung Gerbong Kereta Api Tasikmalaya-Bekasi

Sabtu pagi, sebelum berangkat sekolah, dengan hati-hati aku bicara kepada ibu. Harapanku adalah izinnya merestuiku berangkat ke Bekasi untuk mengikuti festival musik pelajar se-Jabodetabek.
“Bu, mohon izin. Saya mau berangkat ke Bekasi”.
“Mau ngapain?” Tanya ibu.
“Saya dan teman-teman mau mengikuti festival musik pelajar di Bekasi”, tegasku.
“Tidak! Kamu tidak boleh berangkat, pergi ke sekolah saja!” Perintahnya.
“Izin saja tidak diberikan, apalagi ongkos?”Gerutuku.
Kebetulan, di saku celana masih tersimpan uang seribu rupiah sisa uang jajan. Namun, tidak mungkin cukup membeli tiket kereta api Tasikmalaya-Bekasi. Kadung niat sudah bulat, aku dan keempat kawan lainnya sepakat untuk mengikuti festival pelajar di Bekasi.
Meskipun tanpa bekal uang yang cukup, kami berangkat atas nama keyakinan untuk membuktikan perjuangan kepada orangtua. Nasib kawan-kawan, sama sepertiku yang tidak diizinkan orangtua. Maka, kami berdiskusi hebat di stasiun Tasikmalaya. Sebab, tiket tidak mampu dibeli untuk mengantarkan kami ke Bekasi.
Satu-satunya jalan agar sampai ke Bekasi adalah berpura-pura menjadi pengamen sepanjang perjalanan. Di dalam kereta, kami berpencar. Berbeda gerbong, bukan berarti tidak ada komunikasi. Sebab selain menjadi pengamen, di antara kami juga ada yang berperan sebagai penyapu sampah agar tidak terlalu dicurigai petugas karcis di dalam kereta. Sehingga komunikasi pun tetap berjalan.
Di tengah perjalanan, Yono, pemain gitar rhythm kesakitan. Maagnya kambuh, karena telat makan. Kami pun beraksi di daerah Plered. Mencari sesuap nasi dengan mengamen dari gerbong satu ke gerbong lainnya. Hasil mengamen memang tidak banyak. Setidaknya, bisa meringankan sakit maag Yono. Kami pun membeli nasi, tahu, dan teh manis. Setelah keadaan mulai membaik, sisa makan Yono, baru kita makan sama-sama.
Dalam benakku, mulai bergemuruh. Betapa susahnya mendapatkan uang. Akhirnya, kami berlima menuju ujung gerbong untuk istirahat.
“Ngomong-ngomong, setibanya di Bekasi, kita tidur di mana?” Tanya Yosep yang suka gebuk drum.
“Gimana nanti sajalah”, jawabku.
“Iya, kalau sudah sampai baru kita pikirkan tempat menginap”, Heri menegaskan.
“Kita ‘kan ga punya uang, mana mungkin bisa tidur di Hotel!” Rendi mengingatkan kawan-kawan.
Sebelum obrolan selesai, segerombolan orang menghampiri kami di ujung gerbong.
“Hei! Kalian tadi ngamen, ya?” Pria bertato yang kulitnya hitam bertanya sambil membentak.
“Ayo, coba jujur!” Teman-temannya menekan kami untuk bicara.
Dalam keadaan panik, kami mengelak semua pertanyaan gerombolan yang sepertinya pengamen-pengamen wilayah Plered. Selama mengamen, kami tidak sadar bahwa setiap stasiun memiliki pemegang wilayah. Karena kami diam, membuat mereka muak. Akhirnya terjadi baku hantam di ujung gerbong yang tanpa pintu penghalang sama sekali. Paling mengerikan, parang dan cerulit yang mereka bawa mengenai tangan dan bahu di antara kami.
Tuhan belum menakdirkan kami untuk mati di ujung gerbong itu, masih ada kesempatan untuk meneruskan hidup. Sebab, empati penumpang dari gerbong lain membantu setelah kami terluka parah. Satu hal yang disadari bahwa izin orangtua adalah IzinNya. Pelajaran berharga dari perjalanan itu, jangan bernai melangkah ketika orangtua tidak merestui. Akibatnya akan fatal sekali.