Sajak Leksika
Oleh : D. Dudu A. R.
Acapkali awang auditorium dedak nafas pemburu berita
Atrium terkejut mendadak teriak, berseru kepada belikat
Ada sesuatu di dalam sana, topik baru bertema beluwak
Apalagi yang kau jinjing dalam keramba?
Belum sempat benahi seratus hari, dua puluh satu hari saja letih sudah cekat
Aku curiga, sambil menghisap cerutu di cangklong
Kau semaikan senyum cenderawasih bermuka jela
sasmita tarian bibirmu telanjangi sandiwara kepompong
Sudah kecewa beberapa kali
Atas sikapmu yang kesana kemari
Siakan waktu kelabu berbahasa prakerta
Dengan pidatomu yang bersastramorgana
Keraguan di aura muka kamera, seolah-olah wajahmu mengajak bicara
Tentang gaya kamuflasemu beraksi di televisi
Rikuh raut berlaga wibawa, kau dramakan di mimbar istana
Kau sudah lupa? Aku mempercayaimu lebih dari dua ratus juta manusia
Indonesia.
Padahal kau mantan candradimuka
Namun, begitu lemah jiwa rajamu
Hanya untuk putuskan ,siapa sebenarnya mafia?
Dari sayap-sayapmu itu, rimpuhkah terbangkan tubuh?
Sudahlah! Aku semakin tidak percaya
Setelah kau bersajak leksika
Hanya untuk menutup siluet
Kebobrokan sistem yang semerawut
Sekali lag!
Padahal kau mantan candradimuka
Namun, begitu lemah jiwa rajamu
Hanya untuk putuskan, siapa sebenarnya mafia?
Dari sayap-sayapmu itu, rimpuhkah terbangkan tubuh?
Menggendong penipu-penipu pulus,
kau setia saja antarkan mereka, sambil bercumbu manja
Bergelimang cahaya maya, menyinarimu sementara.
Alegori santunmu adalah parafrase para pembawa warta
Di setiap wacana.
Tasikmalaya, 27 November 2009
Kau di Puncak Hujan 2
Oleh : D. Dudu A. R.
Di puncak hari, langit menangis juga
Ketika cambuk matahari mengamuk
Aku tak sadar, lelah di muka malam
Adalah keringat tubuh yang merindu dekap hangat
Seribu kali sayang, keinginan hanyalah khayalan
Betapa tidak, penari dalam otak laksana bidadari di televisi
Direngkuh tak tergapai, di cium hanya mengembun di layar
Lalu, aku nanar, berontak menampar nalar
Rebahkan lelah di pembaring penantian, tak pernah
-lelap
Hanya bunga-bunga saja mengikuti sedari tadi
-di mimpi
Aku lemah, ketika mata memandang lengkuas hati
hanya jemari menarinari, di kertas bekas serabi
Aku tak ingin biasa menantimu disetiap senja
Kemari, jadilah lembayung ketika aku limbung
2010
Di Tol Ciperna
Oleh : D. Dudu A. R.
Tergesa, muncratkan tinta; darah di tubuh gelisah
Menggelora, ketika perjalanan lama hanya sekejap
Senyap,
Entah sadar terlarut ke pusaran maut
Terbang melengkung di safir langit, seperti Elang.
Menukik di surau jembatan; rebahkan lelah di pelataran taman
Tak pernah sebuncah kali ini, mendaki waktu tanpa remah kebiri resah
Ada perasaan ganjil menemani ruh, bergelombang di arus angin
Melesat satu arah, bergumul syahdu; menelorong ke langit tujuh
Menyatu dengan zat maha dahsyat, ”gawat aku kiamat”.
Dia kah mendekap? Membawaku ke tiada arah
Jiwa ke dasar sadar, tak ada gusar menampar
Daun senja melambai-lambai, saat terakhir merenung di buaian
Aku kembali mengembara.
2010
Bersemayam di Temaram Bunga Matahari
Oleh : D. Dudu A. R.
Karena Dia engkau bersemayam
Karena Dia engkau terjaga
Karena Dia engkau terbenam
Karena Dia Engkau ada
Malam, ketika sambit di lengkung langit. Para Malaikat melantunkan kidung Tuhan diantara awang-awang surga. Diiringi tabuhan tasbih bersenandung mengalun hingga kejora menyambut fajar. Bersimbuh embun di daun pagi adalah asal mula engkau tertanam yang kini terpelihara di plasenta; ruang nafasmu berhembus di dunia.
Kirana matahari masih malu berpendar di riak laut. Burung-burung bersasmita, berkicau rampak salami dunia. Kau bertanya padaNya, ”Apakah aku sanggup?”. Berkeluh tentang hidup, terbenam dalam resah. Sementara penunggumu bersedia menanti anugerah. Meskipun engkau masih sibuk berdiskusi dengan Tuhan, tentang dunia yang sangat kejam, para penanti tetap merayuNya agar engkau menjadi sempurna bulan ketika matahari terbenam .
Laksana pengobat rindu, kau adalah buaian nun jauh. Menerawang adamu di ruang damai tanpa suara. Membuncah hati pecintamu menjalar di keheningan jendela serupa titik cahaya. Dengarkan bisikkan lirih dari balik ruang hatimu, ”Yakinilah pilihan, ketika kau menyanggupi saran Tuhan untuk hidup berdampingan bersama malaikat-malaikatNya”. Semua kembali kepadamu jua, bertemu dengan penjagamu atau meminta kepadaNya kekuatan memekarkan bunga di genggaman syari’atmu; kau panggil mereka Ayah dan Bunda.
Cirebon, 27 Februari 2010
Kesenyapan
OIeh : D. Dudu A. R.
Entah apa makna hening berkepanjangan ini
Keramaian yang memecah gendang
Seolah tak mampu mencipta kegaduhan
Aku temaram di senyap ruang Tuhan
Semburat berkelibat di siang, memotret jelas
sudut-sudut nyata di antara alis keraguan.
Aku tak karuan menikmati keindahan
karena semua itu adalah kekhilafan adanya
Renung absurd gerayangi pikiran
selalu menari tanpa jeda di lingkar ripuan
dari matahari bergoyang hingga pagi berjelaga
mataku berkabut kehilangan rindu
Perasaan buncah di hati dan jiwa
adalah keringat resah yang memandikan tanya
ketika mabukku meracau bergelayut di ranting langit
Aku lenyap dari kenyataan yang selalu menjauhkanku
Dari keberadaan. Aku terlarut seperti seduhan teh senja
Tak berkeinginan bercinta dengan nafsu bara
Aku hanya ingin dicintai sesuatu yang menciptakanku
Dendang kidung minor dalam perjalanan
Adalah terjal bagiku. Melarutkanku dalam tarian abu
Mengebiri jantung berdetak, ketika tempo waktu berlalu
Aku gagu. Setiap gigil datang, khawatir adalah lemahku
DariMU.
Tasikmalaya, 13-04-2010
DI KOTA LAUT UTARA
(Puisi Pilihan Pekan ke 1, April 2010)
Oleh D. Dudu A. R.
Aku berlabuh di dermaga rencana Tuhan.
Di perbatasan laut jawa; rebon ucap orang
Singgah. Menuju pintu sakral sang wali di gunung jati
Ziarahi ruang berdinding guci yang suci
Akalku terbatas menafsirkan makna, saat itu.
Bahwa suatu hari aku kembali tidak ke pintu itu lagi
Namun, mengetuk hati permaisuri di jendela
Keraton. Kemudian menjadi pasutri sejati
Menjembatani hari ke hari lain tanpa bertanya
Melintas ke utara laut tanpa maksud merajut rasa
Kembarai kota tanpa rencana; hanya linglung saja
Di sinikah aku terdampar? Menerawang pertanyaan di setiap jelaga
Tak pernah berpikir di sinilah hati bermuara
Menjadi penghuni gubuk dekat laut sebelum delta
Lain waktu aku pun kembali
Bersenda gurau dengan nasib
Tak lebih sekedar canda tawa
Bersama pelangi sahabat karib
Jelajahi lorong waktu atas keinginan temaram
Terkadang membawa hidup tak sejumput terang
Terus berjalan sesayup melangkah meski tak berarah
Yang aku tahu ada satu cahaya untuk jiwa resah
: rancak wajah di lembayung laut utara
Seperti kini menjadi teman selangit malam
Di kotamu sadarkan kembara, bahwa engkau adalah takdir, muara.
Cirebon, 13 Februari 2010
SAJAK JURIT MALAM
Karya : D. Dudu AR
Maqam 1
Lorong sempit, pekat, tubuh tak mampu berkelit
menelusup ke ruang pengap. Tenung hati telah membaca,
bahwa nisannisan adalah penghias mata
hanya tali rapia sebagai petunjuk kembara ke pucuk bukit Dewantara
Antara kaki dan hati tak pernah akur, hingga tujuan tak terukur
kepada arwaharwah di bawah, maaf, aku tak ingin sebenarnya
menginjak kuburkubur yang sudah jarang ditaburi melati adanya
malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana
Empat ranum wewangian kuendus, lalu kutebak rupa dirimu
di legam belantara jati menari bersama rinai sendu
bulu kuduk makin kejang, tat kala semerbak dupa bercampur melati
hampir menusuk sadar bersamaan detak jantung yang tak karuan
Maqam 2
Perjalanan tetap kutelusur, meski rapuh menggoda remah jiwa
ya, menyerah, tapi tak mungkin. Fase ini, yang paling membanting
melanting paruh waktu yang ditunggutunggu, sedari niat yang kadung kuat
terjal memang, hampir selalu mengalasi seluruh langkah, bukan karena itu
tapi, malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana
Gubuk kecil lementik di penjuru mata, diterangi setengah lilin memintal temaram
aku salami seisinya, lagi, hanya dupa bercampur sengat melati merembes
ke bulubulu hidungku yang hampir kumat. Wewangian yang biasa hadir di ritus
malam Jum’at kliwon adalah pengharum malam ini, sangat merajam di pucat paras jalan
Menatap keranda tergantung, dipilin tambang yang hampir lepas, aku tetap ke sana
mencoba salami ’entah’ gerangan siapa yang menjawab lugas. Gemuruh hati berkecamuk, ketika coretancoretan tapak jejak yang pernah lewat terlukis di tanah liat. Mata terbelalak, jiwa menyeruak betapa tidak, benturan keranda ke tanah berbatu adalah penjawab salam tadi.
Silir angin semakin semilir, rimbun daun semakin mengalun
Menyelaraskan degup yang bertempo pikuk.
Maqam 3
Serunai menyemai sawah yang lapang, menegaskan pemandangan sepanjang jalan
lalu berhenti, saat di semak terdapat isyarat, bahwa jejak ini baru menyiratkan
setengah pengembaraan. Sementara nafas yang tersisa sebotol oksigen, adalah bekal terakhir yang hampir migren. Sudahlah, gerundul hati yang sempat menyimpul keringat, tak usah diikat.
Menjelajah waktu terkadang merambah ulu untuk berhenti menggauli tujuh peluru
kesetiaan kepada ketenangan, tegaskan saja sebagai bekal yang tak pernah aus ditelan lupus, tak perlu gusar, tak ’kan pernah kesasar meskipun sejenak rebah di selasar bawah sadar. Ya, dimensi seperti ini terkadang membuat kesejatian hidup mendadak tak serasi, biarkan dilebur ilusi. Tak perlu dibawabawa ke nyata. Hidup hanya sekali, jadi jangan sekalikali terrayu silir bayu sesaat yang membawa ke buaian tak bertepi.
Maqam 4
Sebotol nafas tersisa, tak perlu dihabiskan di depan ukiran pintu terakota yang justeru bisa mengunci untuk keluar dari penjelajahan sekian lama. Sabarlah sedikit, agar langkah yang tertatih tidak merintih di puncak perjalanan. Duduk bersama biru lebam langit lebih baik, agar kawan malam yang setia, bila awan tidak menculik binar sempurna bulan, segera berteman.
Purnama datang ataupun tidak, jangan lekas lemas meremas akhir kembara
Manfaatkan sisa tenaga yang terbungkus rapi di palung jiwa. Di sini kita berakhir
Atau justeru kembali ke semula. Begitulah miniatur hidup dalam bukitbukit yang kubentuk sederhana di jendela yang menembus ke awal matahari menampakkan pijar di fajar.
Tasikmalaya, 10 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar