
Bersemayam di Temaram Bunga Matahari
Oleh : D. Dudu A. R.
Karena Dia Engkau Terjaga
Karena Dia Engkau Terbenam
Karena Dia Engkau Ada
Kala malam, ketika sambit di lengkung langit. Para Malaikat melantunkan kidung Tuhan diantara awang-awang surga. Diiringi tabuhan tasbih bersenandung mengalun hingga kejora menyambut fajar. Bersimbuh embun di daun pagi adalah asal mula engkau tertanam yang kini terpelihara di plasenta; ruang nafasmu berhembus di dunia.
Kirana matahari masih malu berpendar di riak laut. Burung-burung bersasmita, berkicau rampak salami dunia. Kau bertanya padaNya, ”Apakah aku sanggup?”. Berkeluh tentang hidup, terbenam dalam resah. Sementara penunggumu bersedia menanti anugerah. Meskipun engkau masih sibuk berdiskusi dengan Tuhan, tentang dunia yang sangat kejam, para penanti tetap merayuNya agar engkau menjadi sempurna bulan ketika matahari terbenam .
Laksana pengobat rindu, kau adalah buaian nun jauh. Menerawang adamu di ruang damai tanpa suara. Membuncah hati pecintamu menjalar di keheningan jendela serupa titik cahaya. Dengarkan bisikkan lirih dari balik ruang hatimu, ”Yakinilah pilihan, ketika kau menyanggupi saran Tuhan untuk hidup berdampingan bersama malaikat-malaikatNya”. Semua kembali kepadamu jua, bertemu dengan penjagamu atau meminta kepadaNya kekuatan memekarkan bunga di genggaman syari’atmu; kau panggil mereka Ayah dan Bunda.
Cirebon, 27 Februari 2010
DI KOTA LAUT UTARA
(Puisi Pilihan Pekan ke 1, April 2010)
Oleh D. Dudu A. R.
Di perbatasan laut jawa; rebon ucap orang
Singgah. Menuju pintu sakral sang wali di gunung jati
Ziarahi ruang berdinding guci yang suci
Akalku terbatas menafsirkan makna, saat itu.
Bahwa suatu hari aku kembali tidak ke pintu itu lagi
Namun, mengetuk hati permaisuri di jendela
Keraton. Kemudian menjadi pasutri sejati
Menjembatani hari ke hari lain tanpa bertanya
Melintas ke utara laut tanpa maksud merajut rasa
Kembarai kota tanpa rencana; hanya linglung saja
Di sinikah aku terdampar? Menerawang pertanyaan di setiap jelaga
Tak pernah berpikir di sinilah hati bermuara
Menjadi penghuni gubuk dekat laut sebelum delta
Lain waktu aku pun kembali
Bersenda gurau dengan nasib
Tak lebih sekedar canda tawa
Bersama pelangi sahabat karib
Jelajahi lorong waktu atas keinginan temaram
Terkadang membawa hidup tak sejumput terang
Terus berjalan sesayup melangkah meski tak berarah
Yang aku tahu ada satu cahaya untuk jiwa resah
: rancak wajah di lembayung laut utara
Seperti kini menjadi teman selangit malam
Di kotamu sadarkan kembara, bahwa engkau adalah takdir, muara.
Cirebon, 13 Februari 2010
Sajadah Serupa Permadani
Oleh : D. Dudu A. R.
Riak telaga menyeru wajah kirana
Mengingat waktu, menghadap yang Esa
Terhampar sajadah sutera, rajutan lancah di musim nikah
Mengalasi jingkat kaki si puan berdiri di batu prasasti
Aku adalah laki-laki, sebagai imam sang Isteri
Menawari seteguk air mata, meluruhkan ribuan dosa
Berjama’ah ke arah kiblat, lepas landas menuju suatu tempat
Mengawang terbang bersama permadani, menemui Sang Suci
Mawar, teratai, melati, bertaburan menenun malam
Menampani sempurna bulan di kamar sempit berlangit mutiara
Berpendar melingkar pelangi di ketemaraman hati.
Merajut terang di jiwa karam, tanpa lelah menyelimuti asa
Kemuskilan berganti, menjadi gairah sastra; bahasa terindah.
Cirebon, 2010
Puisi untuk Fiorenza Farica Jiilaan
Oleh : D. Dudu A. R.
Dari ribuan nama, inilah yang teristimewa
Tanpa menampar makna hak Tuhan, semoga.
Kau adalah bunga kedamaian; pilihan terbaik dari setiap ranum bermekaran
Bukan dari kebun ataupun halaman hutan.
Sepanjang pencarian, putik kata-kata beterbangan
Melayang kesana-kemari bersama bayu menari biru
Demaun frase melingkari pikiran, selayak kunag-kunang
Hinggap di otak nanar, endapkan khazanah yang indah-indah
Untukmu sang anugerah, kaulah pembawa berkah
Mengubah langit temaram berparas selaras malam
Afasia hampir merajam ingatan, sebelum kau datang
Sekejap berlalu saat kabar berbisik dari dinding rahim.
Dari ribuan nama, inilah yang teristimewa
Tanpa menampar makna hak Tuhan, semoga.
Kau adalah bunga kedamaian; pilihan terbaik dari setiap ranum bermekaran
Bukan dari kebun ataupun halaman hutan.
Seperti bunga rampai, kumpulan kata terangkai
Ketika bulan berdiskusi dengan kawan sejati; bintang.
Tercetuslah keputusan, bahwa kesimpulan sangat memuaskan
Menggengam kata yang berarti kesempurnaan di saat kejora mencumbu fajar
: Fiorenza Farica Jiilaan.
Kaulah Bunga yang mekar di taman
Kaulah Kedamaian di buncah jiwa
Kaulah Pilihan terbaik dariNya
Dan. Engkaulah jembatan pulang
Cirebon, 28-02-2010
Terombang-ambing laut sajak Bode Riswandi, yang aku ambil dari tangan kanannya; A Dwi Rusmianto, dengan segelas keringat langit, mencumbu rinai mata air langit merembes ke palung kembara kata hari ini.
Tasikmalaya, 04-03-2010Bersama Sasmita Rinai Senja
Puisi untuk Bode Riswandi
Oleh : D. Dudu A. R.
[1]
Dalam dekap kursi butut Mang Amin
Aku pesan secangkir kopi tanpa melamin
Merebahkan lelah di kain lapuk tanpa debu
"Permisi, aku numpang duduk Mang"
Senja ini aku ke malam larut dalam seduhan
Bersama rinai embun, yang sempat meliuk deras
sore tadi.
[2]
Genggaman tak ingin kulepas; kitabmu
Seolah hidangan lezat menunggu
di lembayung kali ini.
Aku tadarusi keringat buncah dadamu
Kemudian kau tulis seperti yang kubaca
[3]
Dengan balutan cadar merah
Kau menggoda mataku yang berkaca-kaca
Karena hari ini, aku terpesona
Memandangmu laksana puteri kahyangan;
memuja.
[4]
Sehelai dan seterusnya; tersemai laut kata
Dari ombak yang mengombang-ambing perahuku
hingga tak sadar aku berlayar di tengah samudera
membawaku ke setiap tepian yang berbeda.
Tasikmalaya, 04-03-2010
Semburat Cincin Malam
Kali ini kau berterus terang,
memungut wajah-wajah malam,
terbalut di reruntuhan,
sesaat langit temaram hilang
: Bulan
2010
Karya : D. Dudu A. R.
Terhanyut ke pusaran kias makna
Tenggelam menelusur kedalaman harfiah
Aku terdampar di bibir laut puisimu
Dengan suara sengau, aku sisakan nafas
untuk kembali terlarut di tengah laut
Tak jadi masalah, bila tulangku remah
Karena, aku ingin berenang hingga aus jasad
Puas bercumbu di taman laut aksaramu
Semoga engkau rindu, ketika aku kembali
membawa sekeranjang safir bola mataku
di limbung terakhirku.
Tasikmalaya, 05-03-2010
Planologi
Oleh : D. Dudu A. R.
(Puisi Pilihan situseni.com pekan ke 4 bulan Maret 2010)
jalan-jalan taman
beraspal rindu menjulang
di ruang-ruang kesejatian
antara Tuhan dan Setan
merenda lajur temaram di setiap selasar hati.
2010
Sang Bunga
buat generasi lazuardi (murid-muridku)
Oleh : D. Dudu A. R.
Kau yang kuncup di langit
Mekarlah ketika fajar mengulit
Menari bersama silir bayu
Hingga terbang riangkan sendu
Kau yang kuncup di langit
Semaikan pundi-pundi kelopak melatimu
ke bintang dan bulan
sampaikan salam rindu dari buaian kalbu
ke awang-awang puisiku
Kau yang kuncup di langit
Jangan merona karena malumu
Tanyalah selama kau berjalan
di setiap temaram fajar ke lembayung
Kau yang kuncup di langit
Bungamu 'kan matang dipetik orang
Senangkan pemupuk setia
Di seluruh rimbun senja
Tasikmalaya, 05-03-2010
Heningku
-untuk Keluarga yang tak pernah aku sapa
Oleh : D. Dudu A. R.
Selalu kelu bila gundah menanah di kalbu
Entah, bibirku tak berkutik persis lidah kaku
Beku. Tak pernah ada kata terujar
Aku tak mampu mengutarakan sendu ataupun gurauan
Darah ini memang sama seturunan
Dari sepuh sang perintis kehidupan
Namun, ada yang beda dari jiwa ini
yang temaram. berkumpul menjadi bagian dalam
Pembicaraan. Tak mampu menembus kegagapan
Bahwa aku mencintai kalian.
Diam, hening dan sepi
Begitulah aku adanya
Tanpa mencampuri urusan aku dan kalian
Aku adalah puisi, itulah sayangku kepada kalian
Kalian adalah bagian terbaik dalam hidup
Meskipun hanya sesekali menjadi yang terbaik
Tuhan. Berilah tempat, aku dan mereka
menjadi air dari kutub yang lama membatu
Aku hanya sungkan dekat dengan mereka
Karena diamku adalah pilihan hidup yang tenang
Tanpa jawaban untuk pertanyaan mereka
Kepadaku yang tak pernah memberi alasan
Bahwa damai itu adalah kesenyapan
Tanpa kata-kata yang bisa mengelabui perasaan
Kalian adalah aku, ketika kata melebur dengan debu
Tasik, 13-04-2010
Kesenyapan
OIeh : D. Dudu A. R.
Entah apa makna hening berkepanjangan ini
Keramaian yang memecah gendang
Seolah tak mampu mencipta kegaduhan
Aku temaram di senyap ruang Tuhan
Semburat berkelibat di siang, memotret jelas
sudut-sudut nyata di antara alis keraguan.
Aku tak karuan menikmati keindahan
karena semua itu adalah kekhilafan adanya
Renung absurd gerayangi pikiran
selalu menari tanpa jeda di lingkar ripuan
dari matahari bergoyang hingga pagi berjelaga
mataku berkabut kehilangan rindu
Perasaan buncah di hati dan jiwa
adalah keringat resah yang memandikan tanya
ketika mabukku meracau bergelayut di ranting langit
Aku lenyap dari kenyataan yang selalu menjauhkanku
Dari keberadaan. Aku terlarut seperti seduhan teh senja
Tak berkeinginan bercinta dengan nafsu bara
Aku hanya ingin dicintai sesuatu yang menciptakanku
Dendang kidung minor dalam perjalanan
Adalah terjal bagiku. Melarutkanku dalam tarian abu
Mengebiri jantung berdetak, ketika tempo waktu berlalu
Aku gagu. Setiap gigil datang, khawatir adalah lemahku
DariMU.
Tasik, 13-04-2010
28-08-2005
-untuk kawan lama
Oleh D. Dudu A. R.
Kelambu yang masih sama, berdebu cerita lima tahun lalu
Seolah kembali dihidangkan dinding lukisan maha karya
Seniman-seniman sejati. Di sini terbangun keselarasan jiwa
Jiwa yang sama menuju haluan yang mengumandangkan harapan
Tak pernah karam di lautan peristiwa yang meluruhkan kesetiaan
Kepada tujuan yang tak pernah lelah dikejar, mulai dari perbincangan
Hingga ditampar badai. Desis selaras malam adalah sahabat semburat langit
Jiwa yang berjelaga. Tanpa mengabaikan pesan singkat sempurna bulan
di setiap angan.
Meski kenyataan kini bukan tujuan; persis tenung rencana
Tak memudarkan lembayung mengapung di senja saja, kadang.
Tetap menjunjung kenang yang tak pernah hilang dari dada
Yang terbentuk lima tahun itu, justru semakin erat merantai
Ini hanyalah selasar hidup yang sudah di siratkan di arasy
Bukan masalah impian yang tak tergapai ataupun kecewa
Ada yang menginginkan berbeda, tentang jalan cerita
Meskipun rancang di nanak matang. Dia menjulur dari balik bulan
Menggenggam selibut menjadi kristal takdir yang tak pernah terpikir
Kini adalah nyata, bersama cakar garuda, terbang mengangkasa.
Hidup adalah proses, maka tak pelak akan terus berubah menjadi sesuai
Atau berai. Remah tulang ketika cobaan untuk menjadi seseorang teramat sadis
Di sanalah sebetulnya perjuangan yang dimaksud, begitu cerita ini dilansir
Semua telah berbeda seperti dinamika.
Tasikmalaya, 14-04-2010
Merayap ke Tuhan
Oleh : D. Dudu A. R.
Ruh yang setia memeluk jasad, merenda gairah
Saat hati dan pikiran bersenggama tanpa dosa.
Ketika demaun ranum bercanda bersama angin,
ada haru memilin lembut ke limbung renung.
Inikah daratan? Yang melabuhkan kegalauan
Di tengah arctic ke bibir buih. Nafas bayu dermaga,
menampar pasi, bila bahtera tak bersahabat dengan nakhoda
Sehingga pulau segenggam tangan, menjadi berarti di telapak harapan
Ombang-ambing riak menyeruak, di nanar laut yang bergelombang
Mabuklah para penumpang kesepian, muntahkan bahagia di pusaran
Tak ‘kan bergeming, meski hilang ke dasar samudera
Hingga mengepal kemerdekaan hakikat, di labuhan surga.
Adakah Tuhan menyapa? Di antara binatang melata
Atau serupa aus bangkai kapal yang karam, lenyap.
Sepertinya sama saja tiada, lalu di mana kesejatian
Yang dihadiahkan untuk para perompak mulia?
Pengembaraan yang tak berujung adalah hakikat hidup
Karena, tak ‘kan ada lagi tujuan kembara setelah mati di ujung tanduk
Maka, nikmati setiap sunyi menyelubungi jiwa; berjalan di keheningan
Hingga ketiadaan adalah nyata , sedekat mata sebelum memandang binasa.
Tasikmalaya, 14-04-2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar