Kamis, 18 Februari 2010

Antologi Puisi : dari Bibir Laut ke Pucuk Gunung


Nibiru pun Tak 'kan Sanggup
Oleh : D. Dudu A. R.

Semakin waktu berlalu, kudapati anggunmu, bidadari.
Melayaniku laksana Pangeran Penghuni Firdaus
Padahal, belum tentu aku lelaki yang lurus
Aku takjub. Engkau percaya pahatan janji yang kuukir di marmer hatimu

Ketika keringat mengguyur kelu tubuh, kurasai lelah yang menggairahkan.
Betapa tidak, kau jilati tenagaku di ujung cumbu.
Mungkin kau tak sadar, aku mabuk ketika liurmu kuteguk
Basahi tenggorokanku yang kemarau bersama embun di daun malam

Karenamu, aku kembarai bibir laut hingga pucuk gunung
Hanya untuk menapaki jembatan surga, seperti Harun tercinta
Jangan risau, karena aku akan kembali membawa megahnya
Membagikan ranum buah kesturi di kamar berkiswah tulusmu

Nibiru pun tak 'kan sanggup membunuh ruhku untukmu
Aku tetap selamatkan bulan, untukkau.
Agar malam tetap terang, di temaram jiwa
Tak ‘kan menciutkan setia hingga musnah balau

Demi engkau yang mencintaiku seadanya.


Tasikmalaya, 18 Feb 2010



Sedaun Perhatian
Oleh : D. Dudu A. R.

Tanpa sepatah kata; bersemayam di hati
Hanya remintik rinai menghibur pasi
Tanpa sesuap nasi pun di hari ini
Rasa nanar semakin menjadi-jadi


Bersenandung bersama semak-semak di dada
Entah kenapa, aku mulai menggila berbicara
Memandang semburat paras di langit berawan jingga
Aku ingin sampaikan salam, namun bisu menampar rasa


Menungu engkau turun dari tangga ke tujuh
Semakin menjambak jiwa hingga luruh
Suruhlah sambit berganti purnama
Agar aku terlihat sempurna di matamu


Aku ingin engkau kali ini taburkan sedaun perhatian
Atas butuhku pada sandaran ranting menahan kesepian


Tasikmalaya, 17 Feb 2010



Menunggu Sapa
Oleh : D. Dudu A. R.


Setia duduk di beranda magenta
Hanya untuk engkau saja
Tercenung, terkadang merenung
Adakah kabar bersama Matahari kembali ke barat?

Darimu.

Masih betah menatap senja menukik malam
Hanya untuk engkau saja
Secawan anggur, terkadang arak sahabat setia
Ingatkah pada awan yang melukis langit hatimu?

Kepadaku.


Tak sekedar penantian ataupun menunggu
Aku sebatas masih percaya
Bahwa akan datang di setiap harap
Engkau berpesan kepada angin waktu

"Aku datang untukmu, seperti di masa lalu".


Kesetiaan.


Tasikmalaya, 16 Februari 2010


Saat Kabut Mengambang
Oleh : D. Dudu A. R.

Alas kabut mengambang diantara bukit-bukit
Menghasut mata ke indah lukisan Maha Kuasa
Meliuk-liuk tanpa sadar berada di puncak rasa
Lalu muncul pijar di balik terawang awan

Dalam buai kau gerayangi pintu imajinasi
Menghamparkan permadani, membawaku lebih tinggi
Manjakan tubuh terkulai mengawang di selaras angkasa
Hingga keindahan memabukkan lelah di langit lazuardi


Aku mencari tapak-tapak lima tahun lalu
Di antara rimbun prasasti hati, di setiap situs kegamangan
Dari kota hampa menuju lautan utara berjuluk intan
Aku dibawa arus yang bermuara di palung dadamu


Tasikmalaya, 16 Feb 2010



DAMAI JUMIWA
Oleh : D. Dudu A. R.


Wajah seperti ini yang aku suka
Melengkung, biru di taman langit
Pijar mentari menembus retina
Menggerayangi putih awan melilit

Rerimbun pohon menari serasi
Bersama semilr angin berhembus di hati
Laksana ukiran maha anggun sang Pelukis
Menoreh habis warna penantian berlapis


Sudah kuduga, dari kejauhan berlenggak-lenggok
di depan mata.

Bidadari jiwa tersenyum seraya menyapa,
"Aku singgah ke hatimu kali ini, untuk waktu tak sebentar"

Wahai penunggu rindu


Tasikmalaya, 02 februari 2010



Selendang Puisi Sederhana
Oleh : D. Dudu A. R.

Begitu banyak kata mutiara di laut semesta
Aku katakan hal seperti ini saja, mengalir.

Melukis dirimu di langit kemarau
tanpa tertawan awan
Laksana hati dilingkari cincin mawar
berpendar di taman awang

Aku oleskan cat berwarna pelita,
seperti parasmu yang jelita
Tak perlu berimajinasi membayangkan dirimu
Karena wajahmu terpampang disetiap kelopak bunga

Kunang melatimu selalu berpendar di temaram jiwa


Tasikmalaya, 01 Februari 2010


Di Liuk Jalan
Oleh : D. Dudu A. R.

Masih seperti minggu lalu meliuk jalan
Menujumu yang menunggu di teras penantian
Namun, ada yang berbeda kali ini
Rinduku terbagi dua, tidak untukmu saja

Janganlah nanti engkau cemburu karena sikapku
Cukuplah setengah hati ini untukmu
Nikmati saja bahagia dari kedatanganku
Mencumbumu kemudian menimang si generasi


Sebelum ini
Aku juga meliuk jalan dengan tujuan yang sama
Memberimu hati sepenuhnya
Aku datang disambut secawan kecupmu di teras senja
Aku bahagia tanpa terbatas mutiara

Aku mengingat surat-surat yang ku tulis dengan bisikan do'a
KepadaNya.
Kemudian dia balas dengan gemuruh bahagia kali ini
Aku ingin segera tiba memberi salam kepadamu
di pelataran sederhana kita.

Rasanya tak pernah bertemu di setiap waktu
Menjadi sayatan yang menggairahkan; tentang hatiku kepadamu

Sejenak aku rebahkan lelah di telaga
mereguk air yang menawan keringat
Lelah pun kembali pulih dan rindu begitu kuat.
Untuk segera melanjutkan perjalanan

Kembali, aku semakin girang diantaraliukan
Karena paras-paras kalian
terlukis di layar langit
Memberiku senyuman di siluet jelita
Merayu, menunggu, kemudian berseru; kalian kepadaku.

Aku tenangkan hati dan pikiran untukmu
Agar perjalanan ini nikmat tanpa sadar

Tunggu saja beberapa saat ramuan rindu!
Hamparkan saja tembikar sutera, untukku yang segera tiba.

==========================


Cirebon, 31 Jan 2010


Kau di Puncak Hujan
Oleh : D. Dudu A. R.

Selubung awan hitam legam menutup paras lazuardi
Warnamu tak berpendar lagi di pelangi, kemana engkau pergi?

Biasanya engkau cumbu laut, menggarami hawa yang juga sejuk
Kembalilah seperti biasa, menerangi jiwa-jiwa yang binasa, karena cinta

: Biru Langit


Tasikmalaya, 24 januari 2010



Sajak Malam Bisu
Oleh : D. Dudu A. R.

Demi batang nadi
Biarkan aku berdiri
Bergegas menari-nari
Beralas tembikar hati

Demaun yang hijau
Melambai di taman
Kemayu bunga rampai
Merangsang setiap angan

Maafkan angin
Maafkan awan
Maafkan badai
Maafkan gelap

Sejenak bersedia
Sejenak kupinta
Sejenak rela
Sejenak tiada

Dia menanti
Dia menunggu
Dia di senja
Dia ke malam

Sepi

Tanpa belaian
Tanpa sentuhan
Tanpa kelembutan
Tanpa Aku

Bila tega
Bila memang
Bila begitu
Bila diam

Malam ini bisu!
Tak ada aku
Tak ada dia
Tak akan ada cumbu rayu

Tasikmalaya, 23 Januari 2010



Yang
Oleh : D. Dudu A. R.

Yang berorasi hingar
Yang beraksi menjadi
Yang membangkang bingar
Yang mutilasi lupa diri

Yang makan bangkai
Yang kerubuni mayat
Yang berkidung dawai
Yang tetap menyayat


Yang mana?
Yang ambruk
Yang nanar
Yang semerawut

Yang sekarat
Yang lapar
Yang melarat
Yang terkapar

Yang benar
Yang salah
Yang hina
Yang mulia

Yang bersumpah
Yang terdakwa
Yang sampah
Yang berwibawa

Yang engkau
Yang aku
Yang kita
Yang mereka


INDONESIA RAYA.


Tasikmalaya, 22 Januari 2010




Bidadari Kejora
Oleh : D. Dudu A. R.


Kejora kerlingkan pijar yang menyerunai kidung di gendang iman

Saling menyahut di balik-balik toa, hingga bergemuruh di jiwa rampai

Berselibut pikiran rapuh untuk sejenak menghening di bilik Tuhan

Betapa tidak, sang Khanzab berskongkol dengan dingin merayu niat simpai.


Katarsis. Bidadari mengejutkan jantung di balik pijar sinar pagi

Menawari air kehidupan menjelang siang pergi. ”Kopi ?”, katanya.

Tak sempat sepatah kata terucap, aku langsung terhisab mata cerahnya

Hingga dalam retinanya, bercumbu bisu tanpa keraguan hidup yang stagnan.


Tasikmalaya, 13 Januari 2010.




Mak Ijah
Oleh : D. Dudu A. R.

[Awal]

Serunai angin dari sawah menggugah tenung naluri tua
Melentera kejora di kepala nanar, terbangun dari kasur lapuk
Demi dini hari, sambut bintang timur untuk mewudlu muka
Jemput waktu yang semakin sempit untuk bercumbu denganNya

Selaput mata kemuning; berjuang sesayup-sayup kehidupan di depan
Tak menjadi rintangan berarti untuk menjalani keadaan; tidak memihak.
Raga yang kian mengeriput, mengulit kerut, tetap tegar berjelaga di shubuh
Bernyanyi bersama panggilan Tuhan yang semakin rampak dilagukan


[Tengah]

Kebun, suluh dan gubuk adalah teman sejati
Begitu pula keseharian yang tidak mengenal harta melimpah
Meniup selongsong bara di hawu yang kumuh sebagai rutinitas
Hanya untuk menyajikan sarapan cucu-cucu tersayang

Berganti hari tak ada beda dengan hari kemarin
hanya mencari kayu untuk mendapatkan sesuap nasi saja
Itupun, kadang tidak sesuai dengan kebutuhan
Karena, semakin maju negeri ini adalah kesengsaraan

Betapa tidak, pepohonan rimbun disulap menjadi apartemen
Tanah perkebunan dimanipulasi pusat perbelanjaan mewah
Tidak berarti untuk Mak Ijah, karena ladangnya adalah alam
Baginya, pemimpin yang adil adalah bumi ini yang tercinta


[Akhir]

Tujuh dasawarsa ia bersahabat dengan kemiskinan
Menunggu senja yang berakhir kepiluan, karena renta.
Ketidakberdayaan merebahkan tubuhnya yang lemah
Menunggu mati adalah kawan, disetiap raungan ruang derita

Anaknya yang sempat pamit ke Malaysia, adalah harapan hampa
Karena surat terakhir yang diterima, adalah uang pinjaman tetangga
Semakin tidak terjaga ragiwa rimpuh yang tinggal belulang adanya
Bangku bambu penopang tidurnya, adalah teman setia di siang malam

Cucunya yang masih ada, tak mampu jua semaikan jerih payah
Karena, untuk menjadi 'orang' saat ini adalah khayalan di sayup bulan
kekecewaan yang seharusnya membunuh dirinya, tak mampu melukai kecintaan
Atas sayap-sayapnya yang masih mengepak, meskipun tak sekuat dahulu terbangkan cita

Melagukan kidung indah di sisa waktu, memilin jiwa rapuh yang memang peluh
Berpintal semangat yang kian redup, tak melentera di hati pejuang yang terpuruk
Tak pernah menyalahkan nasib, tak pernah menuntut hak, tak pernah meminta apapun
Dari pemerintah ataupun sebangsanya. Dia adalah dia yang tak kenal hak untuk dirinya

Kirana yang memijar di aura nyawanya kian gulita, pertanda dirinya akan segera kembali
Untuk pergi ke pangkuanNya, selamanya.
Satu-satunya harta adalah wasiat terakhir yang mendesis, berpetuah peribahasa;

”Wahai cucu-cucuku tercinta, pulangkan ibumu dari Malaysia!”

Dan setelah itu; ”Laa Ilaa Ha Illallah Muhammadarrasuulullaah”


Tasikmalaya, 21 Desember 2009



Ghadir Khum
Oleh : D. Dudu A. R.

"Siapa yang sesungguhnya pendusta?"

Coba tela'aah referensi yang otentik
Coba buka mata hati
Coba bicara tanpa berkelit
Cobalah!!

Betapa sulitnya membuka tabir
Hanya karena alasan gengsi faham
Bagaimana bisa bersatu, jika banyak pertentangan?
Maka, sudilah semuanya dinginkan hati

Peristiwa ini kubaitkan, karena kerelaan
Peristiwa ini kusyairkan, karena kemegahan


Betapa tidak, sang Nabi memberi awlanya
Secara alami hanya untuk Ali a.s
Ini bukan aklamasi, tetapi hujjah bagiku
Jawaban dari Dia yang memberi hak kepada pilihanNya

Maaf.

Aku bukan sunni, syiah, sufi ataupun madzhab lainnya
Aku adalah aku yang merangkak karena ketidak berdayaan

Seperti nilai historis yang terkesan disengaja ditimbun rapi
Seperti kekuasaan yang mengendalikan sejarah kuasanya

Adakah yang mempedulikan tentang ini?
Tentang hakikat hirarki khalifah sebenarnya

Sudilah redamkan amarah yang berujung curiga
Marilah menggunakan hati jua fikir
Bukankah semua pertanyaan, sudah Dia sediakan jawabannya?
Buanglah dengki, benci jua permusuhan diantara kita


Sekali lagi!
Siapa pendusta sebenarnya?

Aku?
Kamu?
Kami?
Kita?

Simpan pertanyaan itu untuk di jawab oleh hati!

Tasikmalaya, 19 Desember 2009



Kidung Minor
Oleh : D. Dudu A. R.

"Siapa yang harus aku ikuti?"


Begitulah setiap gemuruh membuat rusuh peluh
Di hati
Di jiwa
Di nyawa yang diselimuti keputus asaan


Telah banyak kekeliruan dari masa lampau
Yang akhirnya menjadi darah dalam daging
"Muslim", kata bibir yang mengaku mukmin
Berdustalah si dirinya, si diriku yang menulisinya.

Semenjak wasiat kekasihNya menjadi seperti aklamasi
Seolah pilihan sang Nabi tak digubris lagi pengikut sejati
Dimana lagi kebenaran, jika para penjaga Islam meributkan kekuasaan?
Dari situlah cermin perceraian keutuhan faham, menjadi bertaburan.

Selama pendewasaan perjalanan, terjadilah penyesatan arah
Karena satu-satunya titik yang aku jua kalian cari hanya ada satu
Maka jemeramilah yang menutupi kemanunggalan pemilik Al-Kitab lapuk
Menggapai muka halamanNya saja adalah anugerah, apalagi tersentuh.

Karena itu pula, pencarian ini harus mengorbankan demarah kalbu
Selama ini.


Aku hanya menyadari cucuran air mata ini hanyalah keminoran lagu.
Yang menjebakku seolah patuh kepada wasiat, nasehat, jua wahyu
Sewindu kini memuruk pengkajian yang tak berujung, masih ragu.
Marah selalu menjamah jua mengebiri kemantapan penemuan rerinduMu

Banyak yang telah menawariku berbagai faham
Namun, keraguan selalu memberiku jeda ketika itu
Pun, ada satu keyakinan yang tinggal kukuatkan
Hanya senandung-senandung minor yang menjebakku


Coba telisik kembali 'tangisanmu', sendukah? sedihkah?
Sama halnya, diriku merasakan itu, menjadi pilu menanah
Rasa terjebak dalam rerintihan para biduan sholawat, dzikir jua pengaji Qur'an
Semoga saja disetiap lembah langkah kali ini tak memuara keliru

Selibut Muharam, 17 Desember 2009



Pulau Kematian
Oleh : D. Dudu A. R.

Regam, bergumam tak berdaya antara bumi dan langit kini adanya


Lirih, lalu lantang pesakitan meradang ruang
Merenda kepiluan di terjal detak waktu
Kini antara jasad dan nyawa berkecamuk perang
Betapa sakit bak tusukan tiga ratus pedang

Menatap rupa-rupa yang dicintai menghampiri.
Ingin hendak berkata “Sakit ini masih tersisa selepas kematianku nanti!”
Menangisi setiap helaan yang tersendat-sendat
Mengisaki sesak yang terasa mendedak jiwa

Saat tujuh puluh dua macam tipuan syaitan

Jelaslah Iblis yang mendatangi, mendekap engap
bersapa murtad.
Padahal senandung Yaasin terlantun diantara keringat
Berulang kali hantarkan lagu bergantian, dari biduan tuan.


Tak ada waktu lagi untuk mengelak dari sakaratal
Malaikat maut melenggang;
Berkulit legam, berbau busuk, berupa menyeramkan
Ibrahim a.s saja pingsan memandangnya, tak kuasa.

Segala cambukan memaksa nyawa keluar dari tubuh
Menghinakan sehina kelakuan semasa jasad kekar
Tak ada lagi saat yang meregangkan sedahsyat kini
Menjemput hunian abadi menunggu hisab Illahi


Percuma terucap Bila;Andai;Jika;Kalau;
Karena, waktu telah ditentukan sebelum datang
kematian menjemput di Lawkh Mahfudz
Tidak, tidak, tidak, tidak, tidak, tidaaaaak!!!!!!


Lautan alam tak cukup lepaskan jerat dahaga, kini.
Sempit menghimpit tujuh langit sendatkan hembusan

Hujan air mata banjirkan gulana tak henti menjerat asa
Pikulmu tak mampu lagi selamatkan diri, saat ini.
Karena inilah hari itu, tak terduga datang bertamu
Mengembalikan Haq kepada Sang Haq, tak terpungkiri lagi.

Sungguh rugi ini waktu, mengakhiri umur tak berbaju
Melepas sombong di lain hari, tat kala lupa adalah kebiasaan.
Bila tak berbekal sejuta kebaikan isak kekallah menangisi keadaan
pula sukar berujar; Laa Ilaa Ha Illallah, Muhammadarrasuulullaah.



Isla de Muerta;Pulau Kematian.

Menunggu kita, kita semua, semua dari kita
--------------------------------------------

Tasikmalaya, 3 Desember 2009



Kidung Isteri Jelita
Oleh : D. Dudu A. R.

Paras tak berbedak selalu dedakan nafas puja
Memandang anggunmu bak mereguk seembun air
Di padang gersang.
Belalakkan mata menakjubi Hawa Sang Kuasa

Tak ‘kan mampu mutiara pun berkata
Atas kartikamu beraura di mata berkaca
Sungguhlah anugerah tiada tara, jelitamu.
Menjelajah jiwa dalam kembara rupa

Sayu mata di dinding lukisan meneduh gundah
Menatap ayu kepadaku, yang melirik syahdu.
Seolah menggenggam gumpalan rindu
Menswakarsa tulus, berpulas elus mendekap.

Seraya tasbih menjamah kalbu, terbujur luruh.
Mengingat. Ragiwa syukuri makhluk tercipta
Berufuk elok di segala mata angin tak bersudut arah
Barat, Timur, Utara, Selatan samalah aku kira berselibut pesona

Menggerayangi mega, menguning langsat di senja
Di bola matamu yang bilau nan berpipi mengilau
Sekiranya cerahmu ini adalah samudera arctic
Sudilah aku menjelajahi lautan yang berbahaya fanatik

Harum bunga melati yang ranum di dada
Mewangikan gelora mendegup jantung tak berjeda
Merayu puji untukmu, wahai purnama rembulan
Berbuah kasih, merelakan diriku menjatuhkan ragaku
Di mulus tubuhmu yang mawar hingga bercumbu lillah.

Meski berbatas kota kau adanya kini
Meski pisah adalah kata pahit menghiasi
Meski ubun-ubun gerak-gerikkan memori
Kurelakan kau tak menggugahku di imsaki

Desir-desir puisilah yang bisa kutenun
Menyelimuti lelapmu gantikan pelukku selayaknya.
Menhangat renung bila terbangunkan mimpi, berharap ada.
Ketika ternyata di sampingmu hanyalah guling sahaja


Pun begitu, aku.

Aku, kau kini adalah tenung terjal merapat kira.
Tanpa lelah menanti kabarNya, tentang kita.
Untuk disandingkan sebagai pasutri sejati
Disetiap kosong, sepi, sendiri, jua dahaga patri

Harap ini tak lebih hanya hidangan di teras senja
Untukmu dan aku, yang mematamorganakan angka satu
Sebuah nilai padu tat kala jiwa-jiwa rapuh merindu pilu
Ketika Batas ribuan sungai masih membelah jarak adanya kau dan aku.
Seperti kini.

Dawaikanlah kidung-kidung damai,
Taburkan melati, mawar yang kau, aku pun menikmati.
Meski berpapasan empat belas hari sekali,
Sudilah tengadahkan kerelaan, di tanganmu yang lembut tanpa keriput


Tasikmalaya, 1 Desember 2009


Kembang Desa
Oleh : D. Dudu A. R.

Gemulai lekuk tubuh melenggang bak puteri kerajaan
Berlenggak-lenggok berjalan di pelataran padepokan
Harum melati menyengat dengus dari tubuh mulus nan putih
Wanginya tak lekas pergi meski wujud telah hilang

Taburkan bunga senyuman menghiasi sepanjang jalan
Memaksa abdi-abdi menyembahmu tanpa paksaan
Mata sayu memandang alam, semakin menyipu malu
Raja di singgasana.


Sayang seribu kali sayang, hadirmu kini adalah imagie
Yang telah terbunuh fashion show mode modernitas
Sungguh penghias seperti dirimu kini
Hanyalah sebutan saja dalam wacana para pujangga

Seumpama kupu-kupu menghisap sari bunga
Kau adalah bunga yang telah habis sarinya
Sementara kupu-kupu yang lepas dahaga
Adalah rajam global yang membantaimu dari keutuhan


Oh, pujaan!
Sudikah engkau hadir disetiap angan?
Menggugah mimpi menjadi kenyataan?
Rasanya terbenamlah matahari di barat menjadi terbit di timur
Hanya untuk memastikan bahwa kau sejatinya cahaya perempuan



Kau Sang Perawan.

Masih terjaga di sudut negeri kahyangan berselimut awan
Tak pernah adalagi serupa dirimu untuk dipuja para bujangan
Karena negeriku kini adalah rimba hedonis jua metropolis
Yang tak lagi rimbun dengan kembang mekar penghias hutan

Gemulai lekuk tubuh melenggang bak puteri kerajaan
Berlenggak-lenggok berjalan di pelataran padepokan
Harum melati menyengat dengus dari tubuh mulus nan putih
Wanginya tak lekas pergi meski wujud telah hilang

Taburkan bunga senyuman menghiasi sepanjang jalan
Memaksa abdi-abdi menyembahmu tanpa paksaan
Mata sayu memandang alam, semakin memabukkan
Raja di singgasana.

Seperti adanya dirimu.

Tak ada sedikitpun jijik melihatmu di tengah sawah pagi hari
Saat berlumur lumpur di kulit cerah, tetap saja indah dipandang
Kau tebarkan rayuan kepada tanaman-tanaman peliharaan
Agar ranum merangkul dirimu yang anggun menggemaskan

Sudah beberapa dasawarsa tak ada yang memuisikan
Tentang dirimu yang terlupakan; kesibukan matrealis
Aku bersumpah hujamkan belati pujian untukmu menawan
Karena, ribuan jenis burung beterbangan saat aku tulis bait-bait ini
Menyambut eksistensi dirimu.

Tak ingin rasanya hawa yang ayu menyerupai bidadari surga
Tergores ataupun ternoda zaman yang dikendalikan libido sahaja
Oleh para pengagum kenikmatan sesaat yang mengatasnamakan kemajuan
Karena, adanya dirimu adalah anugerah yang masih tersimpan
Di negeri seberang.


Begitulah perumpaan yang dapat kusematkan
Kepada dirimu yang sudah jarang kutemukan
Di setiap sudut kampung ataupun kota
Yang kini rimpuh oleh belantara rimbawan nafsu

KESESATAN

KESERAKAHAN

KETAMAKAN

dan

KESEXUALITASAN;BIRAHIAN


Tasikmalaya, 29 november 2009



Sajak Leksika
Oleh : D. Dudu A. R.

Acapkali awang auditorium dedak nafas pemburu berita
Atrium terkejut mendadak teriak, berseru kepada belikat
Ada sesuatu di dalam sana, topik baru bertema beluwak
Apalagi yang kau jinjing dalam keramba?


Belum sempat benahi seratus hari, dua puluh satu hari saja letih sudah cekat
Aku curiga, sambil menghisap cerutu di cangklong
Kau semaikan senyum cenderawasih bermuka jela
sasmita tarian bibirmu telanjangi sandiwara kepompong

Sudah kecewa beberapa kali
Atas sikapmu yang kesana kemari
Siakan waktu kelabu berbahasa prakerta
Dengan pidatomu yang bersastramorgana


Keraguan di aura muka kamera, seolah-olah wajahmu mengajak bicara
Tentang gaya kamuflasemu beraksi di televisi
Rikuh raut berlaga wibawa, kau dramakan di mimbar istana
Kau sudah lupa? Aku mempercayaimu lebih dari dua ratus juta manusia
Indonesia.

Padahal kau mantan candradimuka
Namun, begitu lemah jiwa rajamu
Hanya untuk putuskan ,siapa sebenarnya mafia?
Dari sayap-sayapmu itu, rimpuhkah terbangkan tubuh?

Sudahlah! Aku semakin tidak percaya
Setelah kau bersajak leksika
Hanya untuk menutup siluet
Kebobrokan sistem yang semerawut

Sekali lag!
Padahal kau mantan candradimuka
Namun, begitu lemah jiwa rajamu
Hanya untuk putuskan, siapa sebenarnya mafia?
Dari sayap-sayapmu itu, rimpuhkah terbangkan tubuh?

Menggendong penipu-penipu pulus,
kau setia saja antarkan mereka, sambil bercumbu manja
Bergelimang cahaya maya, menyinarimu sementara.
Alegori santunmu adalah parafrase para pembawa warta
Di setiap wacana.

Tasikmalaya, 27 November 2009



si Hitam Cerdas
Oleh : D. Dudu A. R.

Sosok.

Kulit hitam pekat berambut ikal berbaju lusuh
Jelas tak menawan disedap mata setiap sudut
Perut busung tubuh cengkrang bak anak tak bertuan
Tak sedikitpun rupa jaim meludah nasibmu yang asin

Dari leksikon anatomi ragamu yang seperti itu
Kau adalah Etiopianus kurus, sepintas lalu.
Terkesan harapan hanyalah lukisan keluh di dinding langit
Menyerupai pengemis meminta sesuap nasi pahit, ini hari.


Di ruang.

Kau tak bisa ditipu atas ketaksanggupan ibu bapakmu
Untuk Membiayai uang jajan di sekolah tujuanmu
Kau hanya makan tiga kali mata pelajaran setiap hari
Itupun masih kurang untuk mengenyangkan otakmu yang lapar


Takjub.

Hanya beberapa kalimat transformasikan pengetahuan
Kau sepuluhlangkah lebih maju dari kawanmu
Yang sudah barang tentu mengagetkan sang guru
Bahwa, ternyata kau cerdas menakjubkan kalbu

Dibanding teman sebangkumu yang kaya
Otakmu lebih sehat darinya, hebat.
Padahal, laukmu hanya singkong, ubi dan serundeng
Keren, gerutu hati berdecak di dada orang bergandeng

Pijar.

Yah, kau adalah lentera dari suram ekonomi keluarga
Harapan satu-satunya dari curam keadaan berkesan terpaksa
Kau berjalan,
Tanpa menghiraukan jelaga disetiap lampion-lampion keresahan

Kau tetap menembus meski cahaya berkilau setitik
Tak peduli lalu lalang cemooh mendesis persis di telinga
Melaju tanpa aral melintang, demi satu yang kau mau
Menjadi panji benderang masa depan, membangun ketidak berdayaan

Tasikmalaya, 27 november 2009



Uban Urban
(Puisi untuk Bapak Seberang)
Oleh : D. Dudu A. R.

Berlukiskan lalu lalang kendaraan
Di seberang, parasmu selintas menembus retina
Siapakah gerangan?
Gerutu di hati menggelitik perasaan

Aku tergoda untuk menghampiri raga lusuh
Oh, penyelamat hari lalu yang memapahku
Dari gorong-gorong berbau sisa jamban
Yang menusuk busuk penyakit paru-paruku

Tatapmu berselibut kosong.

Ketika ingatan sudah tak begitu kuat menempel di otak
Kau meraba amnesia agar tidak terlalu mengelus lembut
Akh, tetap saja matamu kabur berbumbu debu kelambu
Yang akhirnya kaupun tak mampu mengenal siapa aku kini

Sulit aku lupakan meski tak sadar diri, gelayuti dirimu.
Atas kebaikan yang pernah kau beri dulu, saat kubutuh.
Aku akan membalasmu dengan keberhasilanku sekarang
Tanpamu, mungkin aku masih tersesat dari peraduan waktu itu

Seperti dirimu yang tiba-tiba ada di persimpangan jalan.

Bapak tua yang tulus,
Mari aku antar kau ke seberang
Karena rentamu ini adalah tanggung jawabku


Bila tak merawatmu saat sekarat, akan aku kirimkan
Ribuankuntum mawar do’a, wangikan tanah merah di kafanmu
Akan aku guyur dengan anggur ketulusanmu seperti kau menyambutku
Dengan segalon air kebaikan saat dahaga segera membunuhku

Kau adalah peluluh lantah kesombongan
Penuntun jalan gelap saat mudaku tak karuan
Dari kesesatan yang menghadang, kau menggenggam tangnaku
Membawa ke pinggir surau sederhana, padahal ragaku setengah nyawa

Waktu lama, telah melupakanmu di suatu kota
Saat itu kau masih lantang, berujar nasehat klasik sansekerta
Namun, setelah kau hadir seperti adanya dirimu kini
Dosaku semakin mengerucut tatkala aku segera menyelamatkanmu

Lembut, mengalun terbangkan jiwa ke arah langit tujuh
Bahasamu menghempaskan jiwa-jiwa lusuh saat itu
Biarlah, bila kau tak mengingat kebaikanmu kepadaku
Yang penting kau ku antar ke tempat yang lebih damai

Menghabiskan senja usiamu di berandaku sekarang
Hasil dari didikanmu sehari dulu, kini adalah rumahmu
Silahkan rebahkan tubuhmu yang rimpuh di kasur nasihatmu
Aku sediakan hidangan terimakasihku atas segala

Tasikmalaya, 23 november 2009



Rimbun Sesal untuk Telapak kakiku
Oleh : D. Dudu A. R.

Baru terasa bila raga ini jauh
Dari wujud lusuh yang pasti kurindu
Bayang parasmu Mencabik kalbu berhias sesal
Menggelayut di hati terbalut debar

Namun bila aku dekat
Aku selalu siakan waktu
Menaburkan bunga mawar nan melati
di tangkai jiwamu yang rapuh

Sebenarnya aku pemujamu
Walaupun perangaiku tak seperti itu
Membalas kebaikan-kebaikan tulus
Terangkai nasihat indah nan bijaksana

I...bu, tak pernah kuusap cucuran keringatmu
Yang kau persembahkan untuk jiwa lazuardimu tersayang
Tak pernah pula aku lupa riwayat Hasan dan Husein
yang biasa kau ceritakan untuk mengantarku terbang ke arasy


Aku memang bukan cucu dan putera dari puteri Nabi
Yang s’lalu memperlihatkan keindahan tutur dan berbakti
Namun, aku juga bukan kan’an putera Nuh
Yang s’lalu membangkang bila diperingati

Ibu.. Ibu.. Ibu..
Kemuliaanmu menundukkan kepalaku
Karena, Tuhan saja menyebutmu tiga kali

Hanya kau yang bisa…,

Hanya kau restu paruku
Hanya kau yang mampu membebaskanku
Dari rantai ranting zaqqum yang panas membara

Dari lubuk hati yang paling dalam
Izinkanlah tangan ini menyentuh harum kakimu
Hanya untuk mendapatkan ampun-ridhomu
Dari setiap laku buruk yang pernah kulakukan

Damailah jiwa-jiwa yang telah lelah mem-besar(didik)kanku

Cirebon, 14 Juni 2009



Jiwa merdeka
Oleh : D. Dudu A. R.

Persis seperti berfikir ketika fajar menampakkan paras indahnya
Bergelayut perangai lembut menembus kalbu lusuh merenyuh.
Disini jiwa-jiwa menjadi teduh-melayu, bak santun bahasa para pepatah
Merasuki gelisah; merajam telapak kaki; meremas jantung, mendesah.

Sahut pujian Tuhan bersenandung bak remintik rinai hujan firdaus,
semiliri hati.
Membumbung ke awan, menjulang ke langit, menggapai Arasy
Kebebasan seperti ini merindu insan yang bertajuk diri kembali
Landas terbang kepakkan sayap-sayap keselarasan ke sana

Lukisan senja menjadi sempurna eloknya, kala itu dilepas ruh dan jasad
Mampukah terbebas seperti itu? Dengan senyum diakhir, mengigil bibir,
Melantunkan kemesraan dalam kearifan diri, membunuh segala birahi
Demi satu yang esa merelakan keberlianan kita untuk dibayar mahal surga

Begitulah merdeka yang kumaksud menjelma saat hembusan nafas
bergelombang rata di detak terakhir tat kala arteri berhenti memompa dada

Tasikmalaya, 22 Oktober 2009



Gerayangi Sepi
Oleh : D. Dudu A. R.

Malam ini, masuk ke jendela sendu
Aku lebur bersama bayu
Lelapkan rindu tanpa kamu
Terpaksa terapung di laut cumbu

Bukan tak mau menemui
Bukan pula menebar janji
Tunggu di empat belas hari
Kan kubawa bunga berseri

Sungguh aku terkapar
Tanpa ratu asa di malam binar
Semoga sedia kala
Menunggu di pelataran sederhana

Seperti yang telah lalu
Engkau kujamah sampai ke ulu
Di atas tembikar hati menari-nari
Membuncah sasmita birahi suci

Akan aku ganti ketika bertemu nanti.


Tasikmalaya, 19 Februari 2010



Sajak Kisah : Perlente Muna
Oleh : D. Dudu A. R.


Seperti biasa aku duduk di sudut horizontal yang mengarahkanku ke jendela berkaca embun.
Memandang kabut menyelimuti lukisan birumu yang semakin redup dihembus debu kemunafikan.
Bersama kepulan tembakau yang semakin menyesakkan dada, sedikit meredam jemawa hati untuk mengutarakan kata-kata tak pantas.

Angin menyusup ke jantung lewat tirai yang sudah lapuk karena sikapmu yang buruk. Sudah barang tentu, kesal selalu mengerutkan kening bila engkau berbicara tentang kebenaran yang hanya di catat lewat polemik berkepanjangan.

Batukku menanah, setiap menyimak kelu bibirmu berdalih, "Aku berbuat untukmu yang tidak berdaya".
Sebuh janji yang membatu di fosil hasrat penguasa perlente sepertimu.
Tak perlu kau katakan lagi, karena seribu tahun aku hidup berarti melanjutkan episode telenovele yang masih dilakoni pemeran itu-itu saja.
Basi, bila aku mencicipi sandiwara di layar siluet mukamu yang memiliki cadangan ratusan.

Begini saja, aku tutup jendelaku yang masih temaram, atau kau yang mengganti tenungku tentang kepastian. Tanpa ada transaksi yang saling menguntungkan, beranikah kau tinggalkan keglamouran, seperti aku yang sekarat di sudut angkuhmu yang semakin menampakkan kegetiran.


Tasikmalaya, 22 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar