Sabtu, 27 Februari 2010

Bersemayam di Temaram Bunga Matahari




Bersemayam di Temaram Bunga Matahari
Oleh : D. Dudu A. R.

Karena Dia Engkau Bersemayam

Karena Dia Engkau Terjaga

Karena Dia Engkau Terbenam

Karena Dia Engkau Ada


Kala malam, ketika sambit di lengkung langit. Para Malaikat melantunkan kidung Tuhan diantara awang-awang surga. Diiringi tabuhan tasbih bersenandung mengalun hingga kejora menyambut fajar. Bersimbuh embun di daun pagi adalah asal mula engkau tertanam yang kini terpelihara di plasenta; ruang nafasmu berhembus di dunia.


Kirana matahari masih malu berpendar di riak laut. Burung-burung bersasmita, berkicau rampak salami dunia. Kau bertanya padaNya, ”Apakah aku sanggup?”. Berkeluh tentang hidup, terbenam dalam resah. Sementara penunggumu bersedia menanti anugerah. Meskipun engkau masih sibuk berdiskusi dengan Tuhan, tentang dunia yang sangat kejam, para penanti tetap merayuNya agar engkau menjadi sempurna bulan ketika matahari terbenam .


Laksana pengobat rindu, kau adalah buaian nun jauh. Menerawang adamu di ruang damai tanpa suara. Membuncah hati pecintamu menjalar di keheningan jendela serupa titik cahaya. Dengarkan bisikkan lirih dari balik ruang hatimu, ”Yakinilah pilihan, ketika kau menyanggupi saran Tuhan untuk hidup berdampingan bersama malaikat-malaikatNya”. Semua kembali kepadamu jua, bertemu dengan penjagamu atau meminta kepadaNya kekuatan memekarkan bunga di genggaman syari’atmu; kau panggil mereka Ayah dan Bunda.


Cirebon, 27 Februari 2010



DI KOTA LAUT UTARA

(Puisi Pilihan Pekan ke 1, April 2010)

Oleh D. Dudu A. R.


Aku berlabuh di dermaga rencana Tuhan.
Di perbatasan laut jawa; rebon ucap orang
Singgah. Menuju pintu sakral sang wali di gunung jati
Ziarahi ruang berdinding guci yang suci

Akalku terbatas menafsirkan makna, saat itu.
Bahwa suatu hari aku kembali tidak ke pintu itu lagi
Namun, mengetuk hati permaisuri di jendela
Keraton. Kemudian menjadi pasutri sejati

Menjembatani hari ke hari lain tanpa bertanya
Melintas ke utara laut tanpa maksud merajut rasa
Kembarai kota tanpa rencana; hanya linglung saja
Di sinikah aku terdampar? Menerawang pertanyaan di setiap jelaga

Tak pernah berpikir di sinilah hati bermuara
Menjadi penghuni gubuk dekat laut sebelum delta
Lain waktu aku pun kembali
Bersenda gurau dengan nasib
Tak lebih sekedar canda tawa
Bersama pelangi sahabat karib

Jelajahi lorong waktu atas keinginan temaram
Terkadang membawa hidup tak sejumput terang
Terus berjalan sesayup melangkah meski tak berarah
Yang aku tahu ada satu cahaya untuk jiwa resah

: rancak wajah di lembayung laut utara

Seperti kini menjadi teman selangit malam
Di kotamu sadarkan kembara, bahwa engkau adalah takdir, muara.

Cirebon, 13 Februari 2010




Sajadah Serupa Permadani

Oleh : D. Dudu A. R.


Riak telaga menyeru wajah kirana

Mengingat waktu, menghadap yang Esa

Terhampar sajadah sutera, rajutan lancah di musim nikah

Mengalasi jingkat kaki si puan berdiri di batu prasasti


Aku adalah laki-laki, sebagai imam sang Isteri

Menawari seteguk air mata, meluruhkan ribuan dosa

Berjama’ah ke arah kiblat, lepas landas menuju suatu tempat

Mengawang terbang bersama permadani, menemui Sang Suci


Mawar, teratai, melati, bertaburan menenun malam

Menampani sempurna bulan di kamar sempit berlangit mutiara

Berpendar melingkar pelangi di ketemaraman hati.

Merajut terang di jiwa karam, tanpa lelah menyelimuti asa

Kemuskilan berganti, menjadi gairah sastra; bahasa terindah.


Cirebon, 2010



Puisi untuk Fiorenza Farica Jiilaan

Oleh : D. Dudu A. R.


Dari ribuan nama, inilah yang teristimewa

Tanpa menampar makna hak Tuhan, semoga.

Kau adalah bunga kedamaian; pilihan terbaik dari setiap ranum bermekaran

Bukan dari kebun ataupun halaman hutan.


Sepanjang pencarian, putik kata-kata beterbangan

Melayang kesana-kemari bersama bayu menari biru

Demaun frase melingkari pikiran, selayak kunag-kunang

Hinggap di otak nanar, endapkan khazanah yang indah-indah


Untukmu sang anugerah, kaulah pembawa berkah

Mengubah langit temaram berparas selaras malam

Afasia hampir merajam ingatan, sebelum kau datang

Sekejap berlalu saat kabar berbisik dari dinding rahim.


Dari ribuan nama, inilah yang teristimewa

Tanpa menampar makna hak Tuhan, semoga.

Kau adalah bunga kedamaian; pilihan terbaik dari setiap ranum bermekaran

Bukan dari kebun ataupun halaman hutan.


Seperti bunga rampai, kumpulan kata terangkai

Ketika bulan berdiskusi dengan kawan sejati; bintang.

Tercetuslah keputusan, bahwa kesimpulan sangat memuaskan

Menggengam kata yang berarti kesempurnaan di saat kejora mencumbu fajar


: Fiorenza Farica Jiilaan.


Kaulah Bunga yang mekar di taman

Kaulah Kedamaian di buncah jiwa

Kaulah Pilihan terbaik dariNya

Dan. Engkaulah jembatan pulang


Cirebon, 28-02-2010




Terombang-ambing laut sajak Bode Riswandi, yang aku ambil dari tangan kanannya; A Dwi Rusmianto, dengan segelas keringat langit, mencumbu rinai mata air langit merembes ke palung kembara kata hari ini.

Tasikmalaya, 04-03-2010



Bersama Sasmita Rinai Senja
Puisi untuk Bode Riswandi

Oleh : D. Dudu A. R.

[1]
Dalam dekap kursi butut Mang Amin
Aku pesan secangkir kopi tanpa melamin
Merebahkan lelah di kain lapuk tanpa debu
"Permisi, aku numpang duduk Mang"

Senja ini aku ke malam larut dalam seduhan
Bersama rinai embun, yang sempat meliuk deras
sore tadi.

[2]
Genggaman tak ingin kulepas; kitabmu
Seolah hidangan lezat menunggu
di lembayung kali ini.
Aku tadarusi keringat buncah dadamu
Kemudian kau tulis seperti yang kubaca

[3]
Dengan balutan cadar merah
Kau menggoda mataku yang berkaca-kaca
Karena hari ini, aku terpesona
Memandangmu laksana puteri kahyangan;
memuja.

[4]
Sehelai dan seterusnya; tersemai laut kata
Dari ombak yang mengombang-ambing perahuku
hingga tak sadar aku berlayar di tengah samudera
membawaku ke setiap tepian yang berbeda.

Tasikmalaya, 04-03-2010



Semburat Cincin Malam

Kali ini kau berterus terang,
memungut wajah-wajah malam,
terbalut di reruntuhan,
sesaat langit temaram hilang

: Bulan

2010



Sunat Malam Jum'at
Karya : D. Dudu A. R.

Terhanyut ke pusaran kias makna
Tenggelam menelusur kedalaman harfiah
Aku terdampar di bibir laut puisimu
Dengan suara sengau, aku sisakan nafas
untuk kembali terlarut di tengah laut

Tak jadi masalah, bila tulangku remah
Karena, aku ingin berenang hingga aus jasad
Puas bercumbu di taman laut aksaramu

Semoga engkau rindu, ketika aku kembali
membawa sekeranjang safir bola mataku
di limbung terakhirku.

Tasikmalaya, 05-03-2010



Planologi
Oleh : D. Dudu A. R.
(Puisi Pilihan situseni.com pekan ke 4 bulan Maret 2010)

jalan-jalan taman
beraspal rindu menjulang
di ruang-ruang kesejatian
antara Tuhan dan Setan
merenda lajur temaram di setiap selasar hati.



2010




Sang Bunga
buat generasi lazuardi (murid-muridku)

Oleh : D. Dudu A. R.

Kau yang kuncup di langit
Mekarlah ketika fajar mengulit
Menari bersama silir bayu
Hingga terbang riangkan sendu

Kau yang kuncup di langit
Semaikan pundi-pundi kelopak melatimu
ke bintang dan bulan
sampaikan salam rindu dari buaian kalbu
ke awang-awang puisiku

Kau yang kuncup di langit
Jangan merona karena malumu
Tanyalah selama kau berjalan
di setiap temaram fajar ke lembayung

Kau yang kuncup di langit
Bungamu 'kan matang dipetik orang
Senangkan pemupuk setia
Di seluruh rimbun senja

Tasikmalaya, 05-03-2010




Heningku
-untuk Keluarga yang tak pernah aku sapa
Oleh : D. Dudu A. R.


Selalu kelu bila gundah menanah di kalbu
Entah, bibirku tak berkutik persis lidah kaku
Beku. Tak pernah ada kata terujar
Aku tak mampu mengutarakan sendu ataupun gurauan

Darah ini memang sama seturunan
Dari sepuh sang perintis kehidupan

Namun, ada yang beda dari jiwa ini
yang temaram. berkumpul menjadi bagian dalam
Pembicaraan. Tak mampu menembus kegagapan
Bahwa aku mencintai kalian.

Diam, hening dan sepi
Begitulah aku adanya
Tanpa mencampuri urusan aku dan kalian
Aku adalah puisi, itulah sayangku kepada kalian

Kalian adalah bagian terbaik dalam hidup
Meskipun hanya sesekali menjadi yang terbaik

Tuhan. Berilah tempat, aku dan mereka
menjadi air dari kutub yang lama membatu
Aku hanya sungkan dekat dengan mereka
Karena diamku adalah pilihan hidup yang tenang

Tanpa jawaban untuk pertanyaan mereka
Kepadaku yang tak pernah memberi alasan
Bahwa damai itu adalah kesenyapan
Tanpa kata-kata yang bisa mengelabui perasaan

Kalian adalah aku, ketika kata melebur dengan debu

Tasik, 13-04-2010



Kesenyapan
OIeh : D. Dudu A. R.

Entah apa makna hening berkepanjangan ini
Keramaian yang memecah gendang
Seolah tak mampu mencipta kegaduhan
Aku temaram di senyap ruang Tuhan


Semburat berkelibat di siang, memotret jelas
sudut-sudut nyata di antara alis keraguan.
Aku tak karuan menikmati keindahan
karena semua itu adalah kekhilafan adanya

Renung absurd gerayangi pikiran
selalu menari tanpa jeda di lingkar ripuan
dari matahari bergoyang hingga pagi berjelaga
mataku berkabut kehilangan rindu

Perasaan buncah di hati dan jiwa
adalah keringat resah yang memandikan tanya
ketika mabukku meracau bergelayut di ranting langit

Aku lenyap dari kenyataan yang selalu menjauhkanku
Dari keberadaan. Aku terlarut seperti seduhan teh senja
Tak berkeinginan bercinta dengan nafsu bara
Aku hanya ingin dicintai sesuatu yang menciptakanku


Dendang kidung minor dalam perjalanan
Adalah terjal bagiku. Melarutkanku dalam tarian abu
Mengebiri jantung berdetak, ketika tempo waktu berlalu
Aku gagu. Setiap gigil datang, khawatir adalah lemahku
DariMU.

Tasik, 13-04-2010




28-08-2005

-untuk kawan lama

Oleh D. Dudu A. R.


Kelambu yang masih sama, berdebu cerita lima tahun lalu

Seolah kembali dihidangkan dinding lukisan maha karya

Seniman-seniman sejati. Di sini terbangun keselarasan jiwa

Jiwa yang sama menuju haluan yang mengumandangkan harapan


Tak pernah karam di lautan peristiwa yang meluruhkan kesetiaan

Kepada tujuan yang tak pernah lelah dikejar, mulai dari perbincangan

Hingga ditampar badai. Desis selaras malam adalah sahabat semburat langit

Jiwa yang berjelaga. Tanpa mengabaikan pesan singkat sempurna bulan

di setiap angan.



Meski kenyataan kini bukan tujuan; persis tenung rencana

Tak memudarkan lembayung mengapung di senja saja, kadang.

Tetap menjunjung kenang yang tak pernah hilang dari dada

Yang terbentuk lima tahun itu, justru semakin erat merantai



Ini hanyalah selasar hidup yang sudah di siratkan di arasy

Bukan masalah impian yang tak tergapai ataupun kecewa

Ada yang menginginkan berbeda, tentang jalan cerita

Meskipun rancang di nanak matang. Dia menjulur dari balik bulan

Menggenggam selibut menjadi kristal takdir yang tak pernah terpikir


Kini adalah nyata, bersama cakar garuda, terbang mengangkasa.

Hidup adalah proses, maka tak pelak akan terus berubah menjadi sesuai

Atau berai. Remah tulang ketika cobaan untuk menjadi seseorang teramat sadis

Di sanalah sebetulnya perjuangan yang dimaksud, begitu cerita ini dilansir

Semua telah berbeda seperti dinamika.


Tasikmalaya, 14-04-2010



Merayap ke Tuhan

Oleh : D. Dudu A. R.


Ruh yang setia memeluk jasad, merenda gairah

Saat hati dan pikiran bersenggama tanpa dosa.

Ketika demaun ranum bercanda bersama angin,

ada haru memilin lembut ke limbung renung.


Inikah daratan? Yang melabuhkan kegalauan

Di tengah arctic ke bibir buih. Nafas bayu dermaga,

menampar pasi, bila bahtera tak bersahabat dengan nakhoda

Sehingga pulau segenggam tangan, menjadi berarti di telapak harapan


Ombang-ambing riak menyeruak, di nanar laut yang bergelombang

Mabuklah para penumpang kesepian, muntahkan bahagia di pusaran

Tak ‘kan bergeming, meski hilang ke dasar samudera

Hingga mengepal kemerdekaan hakikat, di labuhan surga.


Adakah Tuhan menyapa? Di antara binatang melata

Atau serupa aus bangkai kapal yang karam, lenyap.

Sepertinya sama saja tiada, lalu di mana kesejatian

Yang dihadiahkan untuk para perompak mulia?


Pengembaraan yang tak berujung adalah hakikat hidup

Karena, tak ‘kan ada lagi tujuan kembara setelah mati di ujung tanduk

Maka, nikmati setiap sunyi menyelubungi jiwa; berjalan di keheningan

Hingga ketiadaan adalah nyata , sedekat mata sebelum memandang binasa.


Tasikmalaya, 14-04-2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar