CERPEN


Jelaga Bintang
Oleh : D. Dudu AR

Sedu sedan dari balik bilik merintih saban kejora mengecup shubuh. Sedang suara parau berdesir setiap lelap menitik nadir. Terkadang embun mata selalu mencoba merayu haru, lalu jatuh membasahi kasur lusuh. Hal itu selalu menghiasi shubuh Bintang, bila ibunya menengadahkan kepala ke langit tujuh setelah tahajud.

rerimbun jagung, pepaya, singkong, dan kelapa di kebun, serta pemandangan sawah dan pegunungan di depan rumah adalah lukisan indah yang dilukis Maha Pencipta. Semua itu, menambah khazanah kedamaian kalbu bagi Bintang dan keluarga.

Hari dinikmati, Minggu digumul, Bulan diterjang dan tahun serta musim berlalu. Sikap bersahaja keluarga sederhana Bintang tak berubah. Seperti yang lalu-lalu, mereka menjalani hidup tanpa berlebihan.

Namun, ada kegundahan merasuki hati Bintang. Saat itu masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Mungkin, karena proses hidup yang mulai meremaja. Bintang, mulai berpikir bahwa seni adalah anugerah yang diberikan Tuhan kepada manusia untuk bersasmita dengan intuisi dan birama jiwa. Otak kanan mulai menerima kesan-kesan estetis dari getaran nada harmonis yang dihasilkan Gitar orange, neck hitam, stem putih dan fret 18, warisan kakaknya.

Bintang jatuh hati pada alat musik berdawai enam. Meskipun dia sadar membangkang prinsipnya dahulu. Namun, hal itu tidak menjadi hambatan untuk mendalami keinginannya. Karena dia sudah mampu berpikir seimbang tentang ’pengharaman’ memainkan gitar yang pernah dilontarkan ke kakaknya, beberapa tahun lalu.

Kawan-kawan kakaknya yang biasa nongkrong, mulai dirayu Bintang untuk mengajarkannya memainkan gitar. Setiap sore Bintang belajar bersama Mas Andre tentang chord-chord standar, kunci yang biasa digunakan dalam memainkan gitar.

”Brang.. breng.. brong.. brang.. breng.. brong” Begitulah nada yang keluar dari permainan gitar Bintang, satu minggu pertama di rumah Mas Andre. ”Duh.. jari kamu masih kaku, jangan setengah-setengah kalau pengen cepet bisa!” Keluh mas Andre.

”Ooouh.. gini sih mas, gitarku ’kan ’ga s’lalu ada di rumah, teman-teman kakak suka pinjem, jadi jarang latihan di rumah”, dalih Bintang.

Mas Andre memberikan solusi agar Bintang selalu memanfaatkan waktu untuk melakukan senam jari. Hampir sebulan belajar gitar, Bintang mulai jenuh memainkan chord-chord standar yang diberikan Mas Andre. Karena jarinya sudah lumayan bisa menarikan chord-chord standar.

”Mas, minta diajarin lagu dong, buat selingan di rumah, ’kan jenuh ngapalin chord gitu-gitu aja!” Bintang memohon sambil mengeluh.

Mas Andre tersenyum sambil memberikan lagu dari ciptaan Galang Rambu Anarki (Bunga Band) untuk dipelajari Bintang. Kebetulan, Bintang sangat menyukai lagu tersebut, karena sentuhannya yang lembut.

Bintang berhenti belajar gitar, karena Mas Andre berangkat ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Sebelum berangkat, Mas Andre berpesan agar kursus di Blues Studio milik Mas Rama.

Dan, pamitlah Mas Andre kepada Bintang, tidak lama peluk perpisahan mendekap, Bis sudah berada di depan.Lalu, ”Selamat tinggal Tang.. sampai ketemu lagi!” Teriak Mas Andre. Sebenarnya Bintang sangat kehilangan ’guru gitar’. Jelas dia sedih ditinggalkan Mas Andre. Namun, Bintang bertekad akan kursus di Blues Studio, sesuai saran Mas Andre.

Tak disadari setiap pagi sebelum berangkat sekolah sebelum Tura ke Jakarta, Bintang dicengkoki lagu-lagu Green Day, band asal Amerika dengan genre melodic Chord, full distortion dan Punk Rock. Mungkin Green Day menjadi salah satu influence Bintang sehingga memotivasinya untuk selalu belajar memainkan gitar.

Seiring waktu berjalan, tak terasa ujian akhir akan segera dilaksanakan di sekolah menengah pertamanya. Intensitas belajar Bintang semakin menurun dalam menghadapi ujian. Bintang lebih memilih kursus gitar di Blues Studio, ketimbang bimbingan belajar.

Suatu hari, tanpa sepengetahuan orang tuanya, Bintang berangkat mendaftarkan diri ke tempat kursus Blues Studio. Di sana, Bintang mencari Mas Rama, teman Mas Andre. Karena ragu, Bintang bertanya kepada salah seorang petugas yang sedang duduk di tempat pendaftaran sambil mengepulkan asap tembakau dari mulutnya.

”Maaf mas, mau tanya, Kalau Mas Rama itu yang mana ya? Kebetulan saya tetangga Mas Andre, dia menyuruh saya kursus di sini”, tanya Bintang sambil malu-malu, karena banyak anak seusianya yang diantar orang tua sambil menenteng alat musik sendiri. Sementara, Bintang hanya membawa gitar accoustic butut warisan kakaknya.

”Oh, kamu Bintang. Ya ya ya, saya Rama. Kebetulan Andre pernah bicara dengan saya, kalau ada kamu daftar, dia minta saya membimbing langsung” Mas Rama menyambut dengan cengkrama hangat.

Di Blues Studio, pengajar yang bagus adalah Mas Rama. Makanya, banyak siswa yang membuat schedule dengannya.

”Kalau begitu, silahkan kamu isi formulir dan membayar uang pendaftaran seratus ribu” Mas Rama menyambung, kemudian memberikan formulir.

Bintang memelas dalam hati, ”Duh, mana cukup uangku untuk daftar”.
Setelah selesai mengisi formulir, lalu Bintang memberikan formulir tadi. Kemudian,

”Maaf mas, aku bawa uang cuma lima puluh ribu, ini juga hasil tabungan selama dua bulan” Tegas Bintang.

”Ya sudah, ga apa-apa” Mas Rama mengambil uang Bintang serta formulir yang sudah diisi, sembari matanya menoleh kesana-kemari, agar tidak dilihat pendaftar-pendaftar lain.

Setelah panjang lebar mengobrol dan membuat jadwal latihan yang diputuskan setiap jum’at sore per minggu, Bintang kembali pulang. Senja tiba-tiba tak menampakkan eloknya di sore itu. Mungkin langit sedang menampakkan wajah ibunya yang cemas menunggu kepulangannya yang tak seperti biasa.

Hari Jum’at selalu ditunggu Bintang setelah daftar di Blues Studio, karena dia tidak sabar dengan cari memainkan gitar dari Mas Rama. Tibalah Jum’at yang ditunggu-tunggu. Semangat untuk belajar terlihat dari parasnya yang cerah, bibirnya tak bisa berhenti mesem-mesem sendirian. Ibunya saja kadang-kadang mengelengkan kepala, bila melihat kelakuan bungsunya itu.

Dengan niat serius, Bintang menyimak setiap penjelasan Mas Rama pada pertemuan pertama. Dan, yang dapat di bawa ke rumah hasil kursus hari pertama yaitu lick-lick A major dan minor Arpeggio.

Setiap hari, Bintang selalu mempelajari apa yang diberikan Mas Rama. Biasanya, dilakukan setelah mengerjakan PR atau pulang dari pengajian. Tak pernah kata keluh keluar dari bibir tipisnya yang manis.

Berlanjut kepada pertemuan ke empat, yang berarti pertemuan terakhir dalam sebulan, Bintang belajar memainkan gitar dengan serius.

”Blues adalah salah satu genre skill yang banyak dipelajari. Akar dari segala aliran, sumbernya adalah Blues” Jelas Mas Rama.

”Oh.. Ternyata Blues merupakan akar lick-lick melodi yang nantinya berkembang menjadi genre rock, pop, jazz, dsb” perangah Bintang.

Hanya satu bulan Bintang kuat membayar tempat kursus, itu juga dengan menjual beras terlebih dahulu.Karena tak mampu membayar tempat kursus, akhirnya berhenti di tengah jalan. Namun, Bintang tak ingin ambisi memainkan skill blues yang menawan, gagal.

Setiap hari Bintang mengasah skill gitar yang pernah dipelajari di tempat kursus, tanpa lelah. Bintang mulai ingin menjadi gitaris yang handal, setelah Blues memberikan nyawa dalam intuisi musiknya.

Tanpa sadar ujian sekolah sudah di depan mata, tanpa bekal persiapan yang matang, dihadapi dengan tenang. Semua mata pelajaran dilewati tanpa beban, dan hasil ujian pun tidak terlalu buruk. Malah rangking yang di dapat masih termasuk 5 besar. Mungkin, semua transformasi pelajaran dari guru, tidak disia-siakan oleh Bintang sebelum ujian dilaksanakan. Namun, pada saat pembagian hasil ujian, nilai yang diraih masih kurang satu poin untuk masuk ke salah satu SMU favorit di kota. Bintang menerimanya walaupun sedikit kecewa, karena sadar tidak mempersiapkannya dengan matang.
Bintang kebingungan memilih sekolah menengah atas di kota, karena nilainya kurang tipis dengan target sekolah favorit. Karena Bintang belum menentukan pilihan kedua, untuk masuk ke SMU lain, dia tambah bingung karena takut tak masuk kemana-mana.

Dengan dorongan kuat, Bintang tetap bisa melanjutkan sekolah. Tidak lama beranjak dari kebingungan, dirinya mendapatkan informasi pendaftaran di sekolah yang baru diresmikan. Kebetulan, menerima berapapun jumlah nilai ujiannya.

***

SMU adalah masa percobaan liar dan perubahan sikap. Segala hal ingin dicoba tanpa menghiraukan akibatnya. Perubahan tingkah laku mulai terasa saat Bintang beranjak ke sekolah menengah atas. Perangai Bintang berubah 360o, karena sekolah yang harus Bintang tempuh dengan dua kali naik angkutan umum selama 1 jam, karena lokasinya jauh dari rumah.

Sering sekali terlambat, kesiangan dan di hukum karena jarang upacara bendera dan telat masuk kelas. Kebetulan sekolahnya adalah sekolah yang baru diresmikan, belum ada kepala sekolah yang menjabat, serta baru satu angkatan yang ada. Keadaannya masih terkesan bebas bagi anak-anak badung yang jarang masuk. Di sekolah inilah Bintang mulai merubah paradigma tentang pendidikan, dia mulai tidak menghiraukan prestasi sekolah. Yang dicari hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan musik.

Pada waktu istirahat Bintang dan kawan-kawannya yang masih baru sering membicarkan perihal mendirikan grup band. Karena sering ngumpul bareng pada jam istirahat, Bintang dan kawan-kawannya semakin dekat dan merasa cocok. Mulai saat itu, tercetuslah nama MIGAIL BAND yang beranggotakan Bintang (Left Guitar), Vieri (Guitar Rhythm), Yosa (Drum) dan Ernes di Bass. Namun sayangnya, saat itu belum memiliki vokalis yang justru sangat vital sebagai frontman di suatu grup band.

Dua minggu kemudian baru mendapatkan vokalis yang bernama Siva, kebetulan dia orang Bekasi yang sedang melaksanakan PPL STMnya di Tasikmalaya. Semua mengenal Siva ketika nongkrong di pusat perbelanjaan kota, ngobrol kesana-kemari, akhirnya nyambung dan sepakat untuk menjadi vokalis Migail Band. Dari saat itu, briefing pertama di rumah Vieri. Untuk saling mengenal karakter masing-masing, mulailah dengan lagu Slank. Jiwa mereka semakin lebur ketika instrumen masing-masing dimainkan.

Senja memagari sore dengan lembayung. Setelah briefing, mereka menuju pusat perbelanjaan, nongkrong seperti biasa. Bercanda-gurau mengenal satu sama lain, bercerita pengalaman masing-masing, semakin hari semakin nyaman menyatukan hati dan rasa.

Minggu keempat di bulan pertama pembentukan grup band, barulah masuk studio, mencoba lagu karya sendiri yang sudah dikonsep sebelumnya. ’Taman Biru” adalah lagu pertama yang diciptakan. Mereka percaya diri membawakannya. Setiap latihan lagu ini wajib dibawakan. karena waktu itu jenis musik yang lagi on fire dikalangan anak muda adalah musik yang bergenre Punk dan Underground, jauh sekali dengan jenis musik mereka yang lebih nge-Blues, semi energik dengan sentuhan fill-in yang catchy.
Bersama Migail Band, Bintang memberanikan diri mengikuti festival musik kesana-kemari. Hingga suatu hari dalam Festival Pelajar di ibu kota, menjadi juara pertama, walaupun tanpa dukungan orang tua.

Masa SMU, Bintang senang mengikuti acara seni di sekolah ataupun festival-festival musik. Walaupun terbilang dari keturunan keluarga yang jarang harta, pergaulannya luas dan dia dikenal kawan-kawan sebagai guitaris otodidak yang hebat.

Kehebatannya adalah memiliki sifat ulet apabila ingin menguasai sesuatu, temasuk mengulik skill guitar. Dia hanya belajar melalui fotokopi partiture atau tabelature Jimmy Hendrix, Yngwy Malmsteen, Paul Gilbert, Steve Ray Vaughan, dan Steve Vai pinjaman dari teman-teman pergaulannya. Pernah juga dia mencuri Buku Tabelature karya WC. Handy (Bapak Blues Dunia), yang dicari-cari. Kebetulan teman sekelasnya mempunyai buku itu. Namun, Bintang tak sejahat itu. Alasan Bintang mencuri, karena temannya pelit tidak mau membagikan ilmu guitarnya. Namun setelah dikuasai Bintang, kemudian mengembalikannya dan meminta maaf.
****


Berdiam diri menjemput hari ke minggu lalu ke bulan, tak ubahnya Tarzan kumal berburu di hutan ; tidak punya pekerjaan. Pengangguran tepatnya, hal itu berjalan pasca SMU karam. Siang dijadikan malam dan malam dijadikan siang.

Suara parau dari balik dapur kumuh dengan sabar setiap hari mengingatkan si bungsu, “bangun Nak! Bapakmu sudah qomat di surau, makmumin sana!”

Tumben, pagi itu Bintang menuruti titah ibunya untuk memenuhi panggilan Tuhan.
Tibalah Bintang di surau dengan disambut satir bapaknya, “Sholat subuh nanti saja, saat Matahari di atas kepalamu!”

Begitulah seorang bapak pensiunan guru, selalu tegas mendidik anaknya. Termasuk keinginannya agar Bintang meneruskan jejaknya sebagai guru, melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi jurusan pendidikan.

“Tang, kalau kamu tidak mau menuruti bapak, silahkan kamu hengkang dari rumah ini!”

Terhenyak jiwa Bintang dalam kebimbangan setelah diancam bapaknya. Setelah memikirkan perkataan bapaknya, dia menurut untuk melanjutkan kuliah ke salah satu PTN jurusan pendidikan di Tasikmalaya.

Dengan tes yang ketat, Bintang terdaftar dalam hasil pengumuman, alias masuk seleksi di PTN tersebut. Mulailah Bintang masuk kuliah di hari pertama, namun gundah selalu mengganggu jiwanya. Dia tidak menikmati perkuliahan, dengan alasan tidak sesuai dengan minatnya yaitu menjadi guru. Kemudian dengan aturan-aturan yang ketat; harus memakai celana katun, sikap sopan, baju dimasukkan ke celana dan memakai ikat pinggang. “Akh.. Ribet amat” gerutunya. Dia mencoba sabar untuk terus mengikuti perkuliahan. Namun, beban di pundaknya untuk menjadi seorang guru sangat berat.
Yang dia pikirkan mendidik anak bangsa itu tidak mudah, sementara dirinya merasa tidak pantas dijadikan tauladan. Begitulah pikiran-pikiran menjelang semester tiga selesai. Sempat berpikir untuk hengkang dari kuliah, lalu dia mencoba mencurahkan kegelisahannya, pada ibunya.

Nasihat sederhana terlontar dari mulut lembek dibalut paras yang sudah keriput, “Nak orang lain saja bisa, kenapa Bintang ‘ngga?”.

Nasihat ibunya yang sederhana, mendorong Bintang kembali kuliah seperti biasa. Hingga semester terakhir dia jalani dengan tersendat-sendat, karena ketakutannya yang akut bahwa menjalankan nasihat Ki Hajar Dewantoro, “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso dan Tut Wuri Handayani”, adalah hal yang muskil dilakukan.

Pada akhirnya, Bintang jadi Sarjana Pendidikan juga. Pasca sarjana dia menjadi guru honorer selama tiga tahun. Di samping itu, terkadang teman-temannya, mengajak nge-jam (nge-band tanpa komitmen) di acara-acara yang lumayan menghasilkan uang untuk makan.

Selama menjadi guru honorer, bintang banyak belajar tentang adab, tatakrama, bicara yang sopan, melayani siswa dengan hati, dan hal-hal lain membuat dirinya berevolusi kembali menjadi Bintang seperti masa SMP yang cerdas, sopan, penurut, dan ulet.

Perjalanan selama menjadi guru honorer pun, banyak bersinggungan dengan kepala sekolah. Sebab kegiatan Bintang di luar jam mengajar yaitu nge-jam alias mencari tambahan uang untuk bertahan hidup, dirasakan kepala sekolah mengganggu jadwal mengajar.

Pada kenyataannya, gaji honorer sangat tidak layak. Entah sistem atau apalah yang menjadikan guru honorer dibayar tidak setimpal dengan keringat yang membanjiri tubuh setiap hari.

Sampai pada suatu hari, Bintang mengikuti tes CPNS. Keinginannya untuk masuk sangat diidamkan oleh dirinya dan keluarga. Dia mencoba daftar ke POS terdekat untuk menjadi salah satu peserta tes. Sebelum tes CPNS dilaksanakan, Bintang mempersiapkan dengan matang.

Selama berlangsung tes CPNS, dengan tenang Bintang menjawab soal satu persatu hingga selesai dengan yakin.

“Teng.. teng.. teng..”, waktu tes pun telah habis. Bintang pulang dengan harapan pengumuman nanti, namanya terpampang alias masuk seleksi menjadi salah satu CPNS yang diangkat.

Seminggu setelah tes CPNS, hasil pengumuman membuat malam-malam Bintang memaksanya begadang alias mendadak insomnia. Merayu Tuhan agar dirinya masuk selalu dipanjatkan setelah sholat lima waktu.

“Tok tok.. tok tok” , suara dari balik pintu mengagetkan seisi rumah. “Assalamu’alaikum…”.  “Wa’alaikum salam..” sahut Bintang, ibi dan bapaknya.

Tiba-tiba, pamannya langsung menjabat tangan Bintang. ‘Kamu masuk CPNS tahun ini, Tang. Paman baca di koran hari ini”.

Sontak ibu bapaknya memeluk Bintang yang sedang bersimpuh di lantai. “Ternyata aku ditakdirkan menjadi seorang guru.

Mulai detik itu, dia merenung untuk selalu bertanggung jawab kepada takdir Tuhan. Sambil tersedu-sedu dan memeluk ibunya, dada Bintang selalu bergetar bak badai menghempaskannya.

Semenjak diterima menjadi pegawai negeri, mulutnya selalu basah dengan pujian-pujian kepada Tuhan. Dalam benak dan tekadnya, bersyukur berarti melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Baginya takdir bukanlah hadiah, tetapi proses panjang dari sebuah perjalanan manusia yang jelas harus dipertanggungjawabkan sepanjang hidup. Karena, sesungguhnya Tuhan selalu menguji hambaNya yang beriman dengan kenikmatan dan kelalaian. Bintang selalu merasa berhutang kepada kedua orangtuanya. Karena tanpa pedoman dari mereka, mungkin keadaannya lebih buruk dari kenyataannya sekarang.

*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar