Kau di Puncak Hujan 2
Oleh : D. Dudu A. R.
Di puncak hari, langit menangis juga
Ketika cambuk matahari mengamuk
Aku tak sadar, lelah di muka malam
Adalah keringat tubuh yang merindu dekap hangat
Seribu kali sayang, keinginan hanyalah khayalan
Betapa tidak, penari dalam otak laksana bidadari di televisi
Direngkuh tak tergapai, di cium hanya mengembun di layar
Lalu, aku nanar, berontak menampar nalar
Rebahkan lelah di pembaring penantian, tak pernah
-lelap
Hanya bunga-bunga saja mengikuti sedari tadi
-di mimpi
Aku lemah, ketika mata memandang lengkuas hati
hanya jemari menarinari, di kertas bekas serabi
Aku tak ingin biasa menantimu disetiap senja
Kemari, jadilah lembayung ketika aku limbung
2010
Di Tol Ciperna
Oleh : D. Dudu A. R.
Tergesa, muncratkan tinta; darah di tubuh gelisah
Menggelora, ketika perjalanan lama hanya sekejap
Senyap,
Entah sadar terlarut ke pusaran maut
Terbang melengkung di safir langit, seperti Elang.
Menukik di surau jembatan; rebahkan lelah di pelataran taman
Tak pernah sebuncah kali ini, mendaki waktu tanpa remah kebiri resah
Ada perasaan ganjil menemani ruh, bergelombang di arus angin
Melesat satu arah, bergumul syahdu; menelorong ke langit tujuh
Menyatu dengan zat maha dahsyat, ”gawat aku kiamat”.
Dia kah mendekap? Membawaku ke tiada arah
Jiwa ke dasar sadar, tak ada gusar menampar
Daun senja melambai-lambai, saat terakhir merenung di buaian
Aku kembali mengembara.
2010
SHOLAWAT
Oleh : D. Dudu A. R.
Kau Cahaya Manusia
Kau Langit Damai
Kau Bahasa Santun
Kau Kekasih Semesta
Yaa Muhammadarrasuulullah
2010
Lampion Seberang Jalan
Oleh ; D. Dudu A. R.
Angin lalu lalang menampar malam
Diantar mata terawang, kau tak terbenam
Bersama getir relung
Petir melengkung linglung
Di sini kursi yang kududuki
Penyandar hati gusar
Merajut buncah lelah sudah
Ketika keram mulai merajam
Aku tetap panjang memandang
Meski kabut membangkang awan
Hai kawan,
Aku lirih saat bulan karam
2010
Membunuh Limbung Jiwa
Oleh : D. Dudu A. R.
Meski nanar menjalar di tempurung hening
Tak sejumput buncah menyeruput kening
Aku tetap berdaya, memuja semburat raya
Di alam yang semakin renta. Aku percaya Tuhan
Selimuti hati yang kini masih terlunta pengembaraan
kanalkanal di aorta masih deras mengalir ke muara jiwa
Meriaki arus kepada pencarian yang hampir aus
Dalam jiwa stagnan, aku masih bertahan di pucuk daun
keyakinan. Di seberang sungai, pijar masih kulihat di siluet senja
: Mataku tak buta meski terkatupkatup
Memang temaram, aku tenggelam ke palung sadar, selami diri
Menggenggam hakikat hingga kembali ke permukaan terang
Hidup kumaknai sebagai jutaan langkah, dan berujung di genggaman
Malaikat maut yang merunut di setiap letupan bukit kesejatian.
Biarpun tergopoh menjumput obor di gua tua,
Tak 'kan berkeluh meski tulangku remah.
Tak 'kan kubiarkan tangan ini menyerah menggapai cahaya
Hingga mati di pangkuan Sang Semesta
2010
Vespa Pink
Sedetik ke mati
Sejenak ke suri
; lepas, hilang, tiada
Vespa, terakhir kali sadar menjegal
Terpelanting membeai ruh dari tubuh
Entah, pijakan telapaki perjalanan
Tak ada perasaan untuk kembali berdiri
: lumpuh
Ujung, benarbenar menempurung kembara
Larut ke dalam pusaran maut
Menyelisir di desir sadar
Hingga pekik perih meringis di sekujur badan
04 April 2010
Larut ke Khazanah Katamu
Tidak semata kubeli katakata
Dengan harta melimpah
Tidak sekedar kusilir maknamakna
Yang terangkum di kertas baiduri
Sepanjang zaman
Aku ingin tenggelam ke dalam pusaran renungmu
Agar jiwaku aus bersama khazanah susastra
Yang membangun istana raja laut kata
04 April 2010
Lagi, kehilangan Kata
Kesekian kali, kertaskertas beterbangan
Hinggap di kalikali, riak menyeruak
Melarutkan bara makna ketulusan
Menghilir deras tanpa bebatuan
Selepas merunut kata yang terangkum dalam bendung sungai wacana
Semua menderas tibatiba, mengalir ke arah tak bermuara
04 April 2010
Selami Laut Kata
Duduk di selasar langit bersama perempuan bernyawa dua
Aku rebahkan tulangtulang lelah, sesaat raga dihujam gerah
Lalu lalang selir tuan raja hembuskan parfum yang memabukkan
Jiwa sepeti menenggak sebotol rum di senja
Dadaku gusar, gerayangi rasa untuk menjamah tumpukan kertas
Di keranjang yang sengaja di tata rapi pemilik istana
Tak sadar aku diajak menari selayak pengikut rumi, memutar spiral
Hingga terlarut ke dalam bilikbilik buku baiduri
Aku dicumbu jiwa tafsir dalam balutan gumpalan kata tuan renung
Termenung hingga tenung pikiran mengeja laut aksara
04 April 2010
Ing..., Ki Hajar Dewantara1
Kubaktikan seluruh hidupku
Membangun negeri raya ini
Menjadi pendidik berdedikasi
Tulus-ikhlas merevolusi cita penerus bangsa
Semangatmu kukobarkan di obor dunia
Sebagai bekal pengabdian diri
Ing ngarso Sung Tulodo
Ing Madya Mangun Karso
Tut HurĂ Handayani
2009
Ing..., Ki Hajar Dewantara 2
Ketika dada gersang
Ketika tubuh kerontang
Baitbait ini menjadi relief di dasar rumal
Adakah semburat kirana di langit jiwa?
Dalam jasad kunci pintu dunia
Seharusnya, obor yang digenggam di gua terdalam
Adalah petunjuk jalan ketika gulita menjadi beliung
Di manakah ruhruh Dewantara?
Atas nama profesionalitas
Pahlawan tanpa tanda jasa menjadi popularitas
Memaku di runut pejalanan retorika selebritas
: Lukisan guru tanpa pendidikan sejati
05 April 2010
Kartini Menangis
Kau yang dielukan setiap ritus April menjelang datang
: Sanggulmu tiada lagi bermakna tegar di wujud lembut sebangsamu
Hanya dadadada busung biaskan puting etika juga tutur yang tak runut
Ada yang dilupakan, terhadap kemuliaan yang engkau dendangkan
Bahwa derajat kaummu menjulang di gununggunung, bukan menjadi racun kemajuan
Tak benar pula sebagai penghias pawon* untuk melayani rajaraja hatinya
Air matamu deras tak terbendung, karena kini ruhmu di raga belatung
_________
*pawon : dapur
07 April 2010
Pasca Gempa Tasikmalaya
”Lembaran undangan pernikahan tersebar menjelang buka puasa”
Senja biru 15:05. Kuketuk pintu gubuk sahabat lama
Lalu kusalami jiwajiwa di tengah ruang
Sedetak terbuka, lebat hujan menghujam genting berdenting pula
: Bukan rampak nyanyian lagu rinai mata air langit
Bumi berdansa retak di tulang remah hingga membuncah hebat di ruang dada
Sekejap saja luluh lantah, gedung menjulang setinggi tanah, runtuh berserakan
Bersama kawan keliling kota merekam keadaan sekitar
Benar, puingpuing menjadi lukisan sesayup mata
Tanpa musabab, jiwa menjadi terjerembab ke dalam relungrelung renung
Gempa menggelepar di langitlangit dada : seminggu lagi menikah
Tak sedikit pun paras bahagia melukis dunia
Padahal kuusung demi merenda tauan rasa lillah
Kidung hening malam tak pernah berhenti
Hingga mengantarkanku ke bibir pelaminan
Selama itu aku kuatkan keyakinan : menyunting perawan untuk kedamaian ke Tuhan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar