SAJAK RUMBAI MALAM BERDESAH
Karya : D. Dudu A. R.
Sebelum Isya kulalui, aku robek secarik gelisah
Kemudian kutulis hujam belatimu di lembar dadaku
Carut yang kau lukis di bilik hati
Merambah penyangga luka menganga di kemudian hari
Bagaimana tidak, ketika kuanyam malam dengan sembilu kalbu
Dan menjadi selaras perangai baiduri, ” Aku ingin menjamah hasrat di setiap pori keringat buncah mendesah”, pintaku.
--sontak , ludah pasi menyembur dari lidah binalmu
Sulamansulaman yang membentuk motif binar pun merupa marut
Dalam selimut cumbu rebah tubuh.
Kau jegal nafas yang menjalar di semilir angin pilu
Bukankah kau sudah kuijab di depan penghulu?
Dan pengabulan telapaktelapak surgamu juga telah menjadi halalku atas dirimu
Keringat didih di tungku bara matahari, menghilir di setiap pori
Menuju rupamu yang persis makara birahi. Takutkah kepada zaqqum
Yang melecut atas enggan (bantah) di hampir sempurna bulan kali ini?
Mentolo, kau gubah selaras malam merupa rinai keheningan di setiap sudut mata
Merintik di tanah liat hingga jiwa meleleh membentuk menhir di setiap temaram
Malam. Padahal telah kuhiasi kelambu merah dengan mawarmawar dari timur
Namun, kelopaknya mewujud terakota di pucukpucuk siluet angan malam
Aku lebur di kesenyapan
Aku menur di luka kenangan
Rampaklah jangkrikjangkrik mengejek dengan nyanyian sumbang
Aku dirajam kegamangan hingga membentuk relief hati sampai kini.
: Kau tolak rayuku di malam jum’at.
Tasikmalaya, 12-04-2010
Sepekan di pesanggrahan
Semantung yang riuh dalam kalbu sanggraloka
Selepas landas kemudi kendara di pagi buta
Aku melangkah tanpa curiga; celakaku terpelanting ke suri
Tak ada satu pun yang menjamah pikiran, selain uraturat kejang, tulang remuk
Dan rintih meradang. Lalu lalang pejalan merupa pertanyaan kabur
Menusuknusuk mata hingga menampar kepala nanar
Semerbak bercak darah, menyembilu kalut
Di saat jiwa kalang kabut.
”Siapa Anda ini?”, gerutu menggerundul di hati
Membuka pintu palung sadrah yang justru membawaku
Ke limbung yang tak pernah kujamah.
Aku melecut ke pembaring pesakitan; lemah.
Bercumbu hening di remang siluet kenyataan
Bergelantungan di antara bumi dan langit
: Aku tak ingat apa-apa.
Tasikmalaya, 13-04-2010
Penyair, kemari!
Manusiamanusia renung kembalilah membawa semburat tabir tenung ke nyataku
Aku rindu racau yang semilir seperti angin, semerbak seperti mawar, dan selentik jemarimu seperi kelopak bunga melentik ke Ilahi. Aku akan selalu di senja sanggraloka, untukmu.
Tasikmalaya, 13-04-2010
Ketika Kidung Malam Bersenandung di jiwa
Di puncak malam, masih tertanam angkuh merengkuh
Aku diam. Nyanyian jangkrik semakin rampak di gendang
Riuh mengebiri gundah tak karuan, di jiwa tuan malam.
Menelorong pagi di selongsong waktu, tubuh remuk melesap
Ke tepian syahdu.
Gemericik rinai menyemai selaras malam
Sayang, tak sesuai hati yang sedang lunglai
Aku diam. Nyanyian jangkrik semakin rampak di gendang
Riuh mengebiri gundah tak karuan, di jiwa tuan malam.
Menyulam batin, mengenang pintal rindu di malam cumbu
Genangan selokan rasa, membuncah ke nadir malam; sayupsayup
Sembilu menyayat rindu. Porak porandalah pesanggrahan biru
Karena parasmu hanyalah relief di gundal kalbu.
Tasikmalaya, 13-04-2010
Surat Bercak Perawan
Buncah pena yang kau bungkus di kertas surat
(saat semburat kilat menampar)
Dadaku menggelepar
Mencengangkan jiwa
Mendeburkan riak air mata
Aku tak sengaja
Ketika ringkik langkah
Di tanah lembek
Di guyur hujan
Selibutku mendadak teriak
Membaca segumpal katakata
Yang gelap
Mataku dijamah angin
Hingga tak sangka
Menela’ah isimu
Dalam kotak tertutup
Sebai menyemai
”Kasih kuakhiri hidup denganmu, karena perawanku telah luput sebelum kau mengenal dalamku. Aku takut, kau kalang kabut”.
Aku limbung, ketika sajaksajak yang terjamah mataku
Sekejap membebaniku seberat bumi kupangku di bahu.
”Aku tak mungkin sekongkol dengan angin, untuk membunuh kekasihmu(sahabatku) dengan kertas yang merupa pedang kilat”.
Aku mengenal cintanya, sejauh langit, untukmu.
Langit akan rubuh, jika –ini menancap di kiri dadanya
Biarlah aibmu melebur menjadi jelaga di tanganku.
Tasikmalaya, 13-04-2010
Kau diantara Tuhan
[1]
Aku garang ketika langit mulai tampak legam.
Aku pun penebar semerbak mawar saat raung himpit mendedak dada
Aku ada ketika rindumu merupa kejora. Ketika kau di timur sana
Aku menjadi sepertiga malam, gerayangi pendar lekuk jelitamu
Aku temani hingga shubuh menari biru. Menyisir pagi hingga
Temaram menyambut benderang, salami fajar di lentera siang.
Selama waktu berlalu, aku akan terus merias sepimu ke aku.
[2]
Aku mengenalmu di temaram langit seperti malam ini
Mengajakmu sibakkan legam awan ke selaras malam
Saat kau di puncak sana, kubiarkan kau larut dalam tarian
Spiral bulan. Aku kembali ke bumi, agar kau menikmati tarian rumi
Agar sadrahmu ke pucuk langit yang tak himpit. Aku biarkan kau jadi peri
Di antara binar bintang. Jika kupandang kerlingan malam, rindumu adalah tatapku.
[3]
Karenamu aku mengenal marah dan kesepian
Karenamu pula aku mabuk menenggak rum
Hingga jantungku berdegup secepat kilat
Aku tak pernah mencintaimu karena dirimu
Aku menjamahmu, karena cintaku kepadaNya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar