: Maman Noer Zaman
Dengan gairah sunah Jum'at
Nafasmu sedingin bayu basah
Bergelora hingga ke pucuk shubuh
Serupa ombak pasang di musim malam
Degup tak biasa, berdentum selayak bom atom
di bawah langit Nagasaki dan Hiroshima
meletup-letup di kaldera yang baru meretas
Benar, racauan kepada bapak-bapak berperut buncit
tak 'kan mampu meluluh lantahkan sasmita berkelit
lalu, engkau pun berikrar, kepada bumi yang mulai serupa dengan neraka
Aku adalah presiden negara
2010
Larung ke relung kata, mendaki ke pucuk makna, lejar ke langit jiwa, lalu bersedekap menafsirkan diri.
Kamis, 29 Juli 2010
Jumat, 09 Juli 2010
Kau di Utara
Karya : D. Dudu AR
Begitu kau lejar ke angin selatan
Kutelusur hingga beritamu mengendap di utara
Ada apa gerangan? Tiba-tiba ponselku berdering dengan nomer asing
Rupanya, o, rupanya, sekawanan burung mencengkram berbagai bunga
untuk ditaburkan di antara langit tempurung yang sedang menebak semerbak
wangimu sembari menebar binar yang menelusup ke selasar mata.
Kutegaskan pijar di jelaga labirin shubuh adalah engkau yang sedang berziarah
di maqam rindu persis dejavu mimpi dan nyata beberapa waktu lalu
2010
Begitu kau lejar ke angin selatan
Kutelusur hingga beritamu mengendap di utara
Ada apa gerangan? Tiba-tiba ponselku berdering dengan nomer asing
Rupanya, o, rupanya, sekawanan burung mencengkram berbagai bunga
untuk ditaburkan di antara langit tempurung yang sedang menebak semerbak
wangimu sembari menebar binar yang menelusup ke selasar mata.
Kutegaskan pijar di jelaga labirin shubuh adalah engkau yang sedang berziarah
di maqam rindu persis dejavu mimpi dan nyata beberapa waktu lalu
2010
Jangan Pernah Paksa Kataku Lenyap
Karya : D. Dudu AR
Di antara belikat yang mengarat, engkau lewat sekejap
ketika mata sudah kabur, pun bicara kian ngawur
Begini, jangan pernah paksa bentang samudera di tempurung kepala
dibumihanguskan serta merta, sayang, kata-kata tak pernah kembali
saat renungan lenyap bersamaan serentetan nada pengingat menampar
ruh yang terkapar di antara jasad dan arasy.
2010
Di antara belikat yang mengarat, engkau lewat sekejap
ketika mata sudah kabur, pun bicara kian ngawur
Begini, jangan pernah paksa bentang samudera di tempurung kepala
dibumihanguskan serta merta, sayang, kata-kata tak pernah kembali
saat renungan lenyap bersamaan serentetan nada pengingat menampar
ruh yang terkapar di antara jasad dan arasy.
2010
Engkau
Karya : D. Dudu AR
Engkau, samudera kembara
Engkau, kalut laut
Engkau, rambah belantara
Engkau, lejar langit
Engkau, tapak bumi
Sepi yang merajam adalah engkau
Rindu yang menjulang adalah engkau
Kecup yang mengenang adalah engkau
Dekap yang hangat adalah engkau
Perasaan meracau ketika nafas mendesah ke engkau
2010
Engkau, samudera kembara
Engkau, kalut laut
Engkau, rambah belantara
Engkau, lejar langit
Engkau, tapak bumi
Sepi yang merajam adalah engkau
Rindu yang menjulang adalah engkau
Kecup yang mengenang adalah engkau
Dekap yang hangat adalah engkau
Perasaan meracau ketika nafas mendesah ke engkau
2010
Selangit Malam
Karya :D. Dudu AR
: Tedy Taufiq Rahman
adalah serupa percumbuan retorika
mengenalmu lewat jendela fatamorgana
meskipun terkadang merupa embun di kaca mata,
parasmu tetap tak pernah nampak di antara jelaga shubuh dan kejora
kau selalu sembunyi di balik cadar malam
mengendap di antara bintang dan bulan
terkadang ketika benderang dalam kesempurnaan
tetap saja bersemayam di punggung purnama
tebakkan adalah sajak maya yang selalu digantung
pada demaun jantung yang beterbangan disetiap heran
menjadi awan dan udara, kau semakin mengatur degup
tanya agar tak pernah bicara di nyata – keakraban jiwa tanpa raga – adalah jawaban terbaik untuk bertegur sapa
ketahuilah ketika kembara katamu selengkung
jiwa di langit jingga atau kelambu – tetap memagut indah – adalah semburat yang memintal erat ketika sambungannya menjadi menur di pinggan pekerja pabrik aksara
Aku tahu siapa engkau, meski cukup dengan nama asli saja
Aku tahu siapa engkau, meski tak pernah berkenalan sama sekali
Aku tahu siapa engkau, meski karyamu-ku kini selangit malam
Cirebon, 09 Juli 2010
: Tedy Taufiq Rahman
adalah serupa percumbuan retorika
mengenalmu lewat jendela fatamorgana
meskipun terkadang merupa embun di kaca mata,
parasmu tetap tak pernah nampak di antara jelaga shubuh dan kejora
kau selalu sembunyi di balik cadar malam
mengendap di antara bintang dan bulan
terkadang ketika benderang dalam kesempurnaan
tetap saja bersemayam di punggung purnama
tebakkan adalah sajak maya yang selalu digantung
pada demaun jantung yang beterbangan disetiap heran
menjadi awan dan udara, kau semakin mengatur degup
tanya agar tak pernah bicara di nyata – keakraban jiwa tanpa raga – adalah jawaban terbaik untuk bertegur sapa
ketahuilah ketika kembara katamu selengkung
jiwa di langit jingga atau kelambu – tetap memagut indah – adalah semburat yang memintal erat ketika sambungannya menjadi menur di pinggan pekerja pabrik aksara
Aku tahu siapa engkau, meski cukup dengan nama asli saja
Aku tahu siapa engkau, meski tak pernah berkenalan sama sekali
Aku tahu siapa engkau, meski karyamu-ku kini selangit malam
Cirebon, 09 Juli 2010
Kepada Revolusioner
Karya : D. Dudu AR
: Kusno Sosrodihardjo ( Ir. Soekarno)
Samudera damai dijelajahi dengan bahtera bahasa juga diskusi
Demi kedaulatan yang masih beterbangan di awang mimpi
Tak pernah menyesal apalagi remah, ketika jiwa-raga dibuang
Dari Papua Hingga ke palung benua, tetap memerah dan memutih
Seperti bendera bangsa – kibaran janji suci – damai sentosa
Atas nama ningrat, tidak menjadi jiwa kepalang khianat
Kepada rakyat serupa Marhaen kumuh ataupun semacam parlente angkuh -- tetap merengkuh erat --
Nan menjabat tanpa jarak -- mendekap selayak bapak dan anak – menjadi tonggak harapan
Ketika uluran serupa tangan malaikat
Seperti serigala di tebing purnama
memintal malam dengan kidung ksatria
memekik penjajah hingga sekarat
lucuti kedigjayaan yang sempat digenggam angkuh perampas
selama beberapa abad silam
Gaung menggema dari tebing rapuh ke dinding dunia
Berirama lantang, lalu retakkan niat jajah bangsa jemawa
Senandungkan keyakinan bara disetiap jelaga
Merupa celah binar hingga lindai ke selasar merdeka
Meski abdi-abdi garang di balik istana
Hidangkan kelun kebiadaban, tegar adalah senjata
Ketika nyawa menjadi peluru terakhir sebuah pengorbanan
Meski raga terkapar di balik hotel prodeo
: Ernesto Guevara Lynch de La Serna (Che Guevara)
Mata setajam tatapan elang dengan rumbai rmahkota dibalut baret perjuangan
Masih terpampang pada seragam pergerakan pemuda-pemudi pemberani,
tidak pernah mati apalagi musnah di luar-dalam -- dada pecinta sejati -- negeri
Jangan risau!
sisa darah segar perlawanan masih ditenggak para lelaki rimba
yang kini tersebar disetiap telikung labirin kembara
Memang hampir kiamat -- pikiran generasi dicengkoki kapitalis jahat
-- diracuni doktrin feodal – memagut diri dengan imperialis sejati
Seyogyanya setia memegang panji rakyat – tumbuh -- mekar
-- di rimbun jati sekitar telaga -- kokoh sebagai sangga perisai revolusi
Tapi Che,
Maaf jika fahammu tentang revolusi adalah senjata
Bagiku adalah sajak. Karena saat ini, bulir mortir yang mampu
Menembus ke rusuk jiwa adalah peluru kata
Sulit? Ya, serumit kembaramu yang merimba.
Aku baca surat -- sepeninggal nyawamu di pelatuk Jendral Bolivia -- kepada adik-adik
mengajak setia kepada yang miskin
merenda nafas dengan benang akar belantara
berani ganas demi para buruh dan pengidap kusta
tanpa mengurangi hak yang sepantasnya digenggam tangan
Karena sesungguhnya gerak peradaban
ada di tangan lepuh mereka, bukan penguasa!
Dalam nasehat yang diulang-ulang setiap paragraf
Mewanti-wanti untuk bersahabat dengan alam
agar nurani sehat -- tidak dijarah keserakahan – dari kekuasaan
tidak seperti penebar janji yang sering memperdaya
juga suka bermain retorika dalam pidato negara
persis terawangmu kepada negeri
setelah engkau mati, semua sektor hampir benar
seperti yang engkau tulis dalam wasiat -- kekuasaan akan menjadi tuhan, sementara rakyat adalah hamba yang gampang diatur dengan serentetan aturan ngawur – tentang bobroknya moral kenegaraan – yang dibuat demi pribadi dan golongan
Kesetiaan tidak mengenal ruang berdinding mawar ataupun berlangit melati
Meskipun kematian di pintu penjara atau di ujung senjata, nyawa adalah taruhan terakhir
Demi kecintaan dan ketulusan kepada jelata sepanjang hayat di kandung badan
Cirebon, 09 Juli 2010
: Kusno Sosrodihardjo ( Ir. Soekarno)
Samudera damai dijelajahi dengan bahtera bahasa juga diskusi
Demi kedaulatan yang masih beterbangan di awang mimpi
Tak pernah menyesal apalagi remah, ketika jiwa-raga dibuang
Dari Papua Hingga ke palung benua, tetap memerah dan memutih
Seperti bendera bangsa – kibaran janji suci – damai sentosa
Atas nama ningrat, tidak menjadi jiwa kepalang khianat
Kepada rakyat serupa Marhaen kumuh ataupun semacam parlente angkuh -- tetap merengkuh erat --
Nan menjabat tanpa jarak -- mendekap selayak bapak dan anak – menjadi tonggak harapan
Ketika uluran serupa tangan malaikat
Seperti serigala di tebing purnama
memintal malam dengan kidung ksatria
memekik penjajah hingga sekarat
lucuti kedigjayaan yang sempat digenggam angkuh perampas
selama beberapa abad silam
Gaung menggema dari tebing rapuh ke dinding dunia
Berirama lantang, lalu retakkan niat jajah bangsa jemawa
Senandungkan keyakinan bara disetiap jelaga
Merupa celah binar hingga lindai ke selasar merdeka
Meski abdi-abdi garang di balik istana
Hidangkan kelun kebiadaban, tegar adalah senjata
Ketika nyawa menjadi peluru terakhir sebuah pengorbanan
Meski raga terkapar di balik hotel prodeo
: Ernesto Guevara Lynch de La Serna (Che Guevara)
Mata setajam tatapan elang dengan rumbai rmahkota dibalut baret perjuangan
Masih terpampang pada seragam pergerakan pemuda-pemudi pemberani,
tidak pernah mati apalagi musnah di luar-dalam -- dada pecinta sejati -- negeri
Jangan risau!
sisa darah segar perlawanan masih ditenggak para lelaki rimba
yang kini tersebar disetiap telikung labirin kembara
Memang hampir kiamat -- pikiran generasi dicengkoki kapitalis jahat
-- diracuni doktrin feodal – memagut diri dengan imperialis sejati
Seyogyanya setia memegang panji rakyat – tumbuh -- mekar
-- di rimbun jati sekitar telaga -- kokoh sebagai sangga perisai revolusi
Tapi Che,
Maaf jika fahammu tentang revolusi adalah senjata
Bagiku adalah sajak. Karena saat ini, bulir mortir yang mampu
Menembus ke rusuk jiwa adalah peluru kata
Sulit? Ya, serumit kembaramu yang merimba.
Aku baca surat -- sepeninggal nyawamu di pelatuk Jendral Bolivia -- kepada adik-adik
mengajak setia kepada yang miskin
merenda nafas dengan benang akar belantara
berani ganas demi para buruh dan pengidap kusta
tanpa mengurangi hak yang sepantasnya digenggam tangan
Karena sesungguhnya gerak peradaban
ada di tangan lepuh mereka, bukan penguasa!
Dalam nasehat yang diulang-ulang setiap paragraf
Mewanti-wanti untuk bersahabat dengan alam
agar nurani sehat -- tidak dijarah keserakahan – dari kekuasaan
tidak seperti penebar janji yang sering memperdaya
juga suka bermain retorika dalam pidato negara
persis terawangmu kepada negeri
setelah engkau mati, semua sektor hampir benar
seperti yang engkau tulis dalam wasiat -- kekuasaan akan menjadi tuhan, sementara rakyat adalah hamba yang gampang diatur dengan serentetan aturan ngawur – tentang bobroknya moral kenegaraan – yang dibuat demi pribadi dan golongan
Kesetiaan tidak mengenal ruang berdinding mawar ataupun berlangit melati
Meskipun kematian di pintu penjara atau di ujung senjata, nyawa adalah taruhan terakhir
Demi kecintaan dan ketulusan kepada jelata sepanjang hayat di kandung badan
Cirebon, 09 Juli 2010
Langganan:
Postingan (Atom)