Senin, 30 Mei 2011

Karena Aku Menjadi Guru


Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.

Tidak menjadi jaminan ketika seorang sarjana pendidikan guru sekolah dasar interest bahasa dan sastra Indonesia UPI Kampus Tasikmalaya, seperti saya, mampu menulis. Kuliah mengambil jurusan PGSD interest bahasa dan sastra Indonesia hanyalah menghindari interest-interest exact saja. Saat itu, mengenyam proses perkuliahan tidak terlalu diminati, apalagi berhubungan dengan teori-teori menulis, puisi, cerpen, unsur bahasa; semantik, sintaktik, fonologi, fonem, gramatikal, morfologi, dlsb. Tetapi, berhubung tuntutan kuliah, terpaksa harus menyimak agar melewati semester-semester dengan mulus dan menghadapi ujian dengan lancar, serta mampu menghadapi sidang skripsi. Itu saja.

Yang on fire pada masa perkuliahan, justeru berproses kreatif di bidang musik; mengikuti festival musik lokal maupun nasional, membuat album kompilasi indie, dan mengisi acara-acara musik lainnya. Terkadang mengabaikan perkuliahan, karena ingin mengejar obsesi menjadi seniman musik “mayor label”. Jejak yang masih mengabadikan perjalanan di dunia musik adalah kumpulan lirik-lirik yang sudah usang. Yang tidak disadari saya adalah ketika menulis lirik. Orientasi menulis lirik pada saat itu merupakan kebutuhan pembuatan lagu, tidak terlalu berpikir ribet tentang kemampuan menulis itu sendiri. Artinya, menulis lirik juga merupakan bagian dari kegiatan nyastra bukan? Dan menulis lirik sebenarnya sudah dilakukan pada masa SMU. Tapi, belum cukup untuk dijadikan bekal terampil menulis.

Lalu, Tuhan menakdirkan saya menjadi pegawai negeri sipil alias guru di salahsatu sekolah dasar Kota Tasikmalaya. Tugas menumpuk di kantor, memikirkan inovasi pembelajaran, membina siswa yang tertinggal, dan banyak administrasi-administrasi yang harus dikerjakan. Kegiatan bermusik pun pada akhirnya surut dan tidak bisa diintensifkan lagi, karena alasan pekerjaan.

Menjadi pegawai harus patuh kepada aturan dan atasan, yang artinya mengajar dan mengerjakan semua administrasi seorang guru kelas adalah hal utama. Itulah sebabnya, kegiatan bermusik tersendat dan mati. Kemudian, kesepian tanpa kegiatan yang diminati (bermusik) lambat laun hilang. Keseharian menjadi gampang jenuh. Karena hal tersebut, jiwa seni saya merasa terkekang dan tidak bisa dicurahkan.

Ketika pressure hebat dari resiko pekerjaan guru yang harus memberikan tauladan, inovasi pembelajaran, dan hal-hal positif bagi kemajuan pendidikan menjadi keseharian, membuat jiwa merasa prihatin dengan kenyataan pendidikan di lapangan. Melihat kompetensi siswa yang jauh harapan dari kurikulum tingkat satuan pendidikan sekolah dasar dan kompetensi serta profesionalitas guru kurang berkembang, membuat jiwa saya tersentuh untuk berniat meningkatkan profesionalisme pribadi sebagai guru. Artinya, berpikir keras untuk meningkatkan kemampuan siswa sesuai instruksi kurikulum dan meningkatkan kinerja serta profesionalitas.

Salahsatu tindakan yang dilakukan adalah membiasakan siswa menulis agar terampil berbahasa. Sebab, menulis bisa dilakukan setelah siswa mampu membaca, menyimak, dan berbicara. Ketiga aspek tersebut merupakan landasan kuat agar terampil menulis. Bagaimana mungkin seorang guru mampu membelajarkan keterampilan menulis kepada siswa? Sementara guru itu sendiri tidak memiliki kemampuan menulis. Pertanyaan yang datang dari lubuk yang paling dalam tersebut, menjadi pelecut untuk memulai membiasakan menulis. Inilah awal yang paling substansial selama ini untuk meriwayatkan apapun yang berhubungan dengan pendidikan dalam tulisan.

Meskipun sempat kuliah di jurusan pendidikan guru sekolah dasar interest bahasa dan sastra Indonesia, tetap saja kebingungan ketika memulai menulis. Berhubung niat untuk menulis kuat, kebingungan tadi tidak membunuh keinginan untuk memulainya. Diawali dengan membuat puisi, lalu cerpen, kemudian artikel, esai, dst. Setelah enam bulan kemudian berproses kreatif, saya merefleksi semua karya tulis tadi, dan ternyata masih banyak kekurangan mulai dari; EYD, tata bahasa, unsur semantik, sintaktik, penulisan baik dan benar, dlsb. Kekurangan-kekurangan tersebut menjadi pembelajaran penting dalam keterampilan menulis saya selama ini.

Dan perjuangan tidak berhenti di sana, membuka kembali buku-buku kuliah yang berhubungan dengan bahasa dan sastra Indonesia, membaca teori-teori menulis, dan larut ke cyber sastra di media online, lalu diskusi bersama mereka merupakan langkah yang dilakukan setelah enam bulan mencoba menulis. Hasilnya lumayan signifikan, setelah banyak berdiskusi, perubahan dalam tulisan mengalami peningkatan.

Hingga pada suatu hari, saya ingin sekali mencoba mengirimkan artikel pendidikan ke sebuah media cetak lokal, namun tidak mudah ternyata sebuah tulisan yang sesuai dengan kriteria seorang redaktur. Seorang redaktur memiliki kriteria sendiri untuk memuat sebuah tulisan pengirim. Beberapa bulan mengirimkan tulisan ke media cetak tersebut, belum juga dimuat hingga hampir membuat putus asa untuk meneruskan keinginan untuk menulis.

Tetapi, sekali lagi, berjiwa besar untuk introspeksi diri terhadap karya yang telah dibuat adalah salahsatu sikap kesadaran saya untuk merevisi setiap tulisan yang pernah dikirim ke media cetak. Dan, benar sekali ketika membaca kembali karya tulis saya, banyak kalimat-kalimat rancu, koherensi yang tidak nyambung, serta terlihat tergesa-gesa dalam menuliskan wacana. Pelajaran penting yang saya dapatkan dari sikap ini adalah jangan pernah merasa puas dengan karya yang terkesan “sempurna” menurut pendapat sendiri. Karena ternyata, ketika seorang redaktur atau ahli bahasa membaca karya tulis kita akan mempertimbangkan kelayakan sebuah tulisan dari berbagai aspek bahasa untuk dimuat. Ketat sekali, bukan?

Intinya, menulis bukan serta merta mencatat saja. Tetapi, menulis juga harus memiliki tujuan dan kesadaran untuk selalu berproses kreatif agar layak dibaca. Perlu perjalanan panjang untuk terampil “memainkan” kata-kata hingga bermakna serta enak dibaca oleh pembaca. Solusinya adalah banyak membaca peristiwa dan literatur, kemudian terus-menerus menulis.

Pada akhirnya, suatu hari saya mengunjungi seorang redaktur media cetak lokal untuk berdiskusi. Tujuan kedatangan saya saat itu adalah membicarakan ruang di media cetak terhadap karya sastra siswa-siswi atau tulisan-tulisan pendidikan. Karena selama ini ruang untuk pelajar dan guru di media cetak, sangat kecil. Alasan tersebut saya utarakan, karena pelajar dan guru yang memiliki minat menulis “kebingungan” ketika tulisannya ingin dikirimkan. Artinya, media juga bertanggung jawab mendukung dunia pendidikan, salahsatu tindakannya yaitu meningkatkan kompetensi menulis guru dan pelajar, serta memberi ruang. Agar budaya menulis diharapkan berkembang ketika ada ruang untuk mengekspresikannya.

Setelah panjang lebar diskusi, saya dan redaktur tersebut sepakat untuk mengkhususkan rubrik pendidikan bagi pelajar dan guru. Malah satu minggu sekali, saya dan redaktur itu berdiskusi terhadap perkembangan minat menulis guru dan pelajar, serta tentang menulis itu sendiri. Semakin berkembang pembicaraan, semakin luas pula visi misi yang sama tentang dunia tulis menulis. Karena beliau memiliki agenda kegiatan jurnalis setiap minggu ke sekolah-sekolah, saya pun diajak untuk melihat dan diharapkan ikut serta membantu dalam kegiatannya. Semata-mata untuk pengalaman saya sendiri agar senantiasa termotivasi dan meningkatkan keterampilan menulis melalui kegiatan jurnalis.

Duddy RS adalah salahsatu redaktur media cetak lokal itu, beliau mengajak saya untuk bergabung di Citizen Journalism Forum. Perkenalan saya dengan beliau sangat mempengaruhi perkembangan menulis. Sebab, dengan mengikuti kegiatan jurnalis itu, saya semakin mengasah kemampuan menulis. Selama bergiat di CJF; sering berdiskusi, mengadakan workshop menulis, dan kegiatan jurnalistik, membuka wawasan saya bahwa menulis dapat ditingkatkan melalui kegiatan jurnalistik. Maksudnya, jurnalisme bukan milik wartawan saja. Tetapi, siapa pun yang ingin menulis di berbagai media adalah hak khalayak. Karena, berdasarkan pengertian jurnalisme wikipedia.org adalah Jurnalistik atau Jurnalisme berasal dari kata journal, artinya catatan harian, atau catatan mengenai kejadian sehari-hari, atau bisa juga berarti suratkabar. Journal berasal dari perkataan latin diurnalis, yaitu orang yang melakukan pekerjaan jurnalistik. Jadi, kalau ingin menulis, tulis saja peristiwa yang ada di sekitar.

Berangkat dari pengertian pengertian jurnalisme di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa catatan kejadian atau peristiwa sehari-hari merupakan bahan atau data untuk diendapkan dalam pikiran kemudian dituangkan setelah direnungkan ke dalam tulisan. Memang, kegiatan jurnalistik dalam opini publik identik dengan kegiatan seorang wartawan. Namun, tidak hanya wartawan saja; warga biasa, guru, dan apapun statusnya, jika menulis adalah sebuah dorongan untuk menuangkan setiap kejadian dalam hidup adalah hak siapa pun. Tidak semua tulisan bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik. Pembeda diantara keduanya adalah kriteria saja; esai, artikel, resensi, laporan budaya, dan sebagainya. Tetapi, jika membicarakan tentang jurnalisme, pasti hubungannya dengan menulis.

Hingga setahun kemudian, tidak terasa perjalanan untuk memahami dan berproses kreatif mengembangkan kemampuan menulis, semakin dihayati dan tidak pernah berhenti menulis ketika ide-ide muncul; mulai ide sederhana yang faktual, aktual, fiksi, dlsb. Karena menurut Saeful Badar (jurnalis, budayawan, dan penyair Kota Tasikmalaya): Menulis adalah menulis. Artinya dilewati setelah kita melakukan membaca. Kita tidak mungkin bisa menulis tanpa kita mampu membaca. Membaca tidak hanya yang berupa teks saja, tapi juga membaca beragam peristiwa dan berbagai fenomena di sekitar kita. Seribu kali orang berteriak ingin menjadi penulis, tapi dia ogah membaca apapun (cuek) terhadap segala hal yang berlaku di sekitarnya, maka seribu kali pula dia sebetulnya tengah mengatakan omong kosong belaka!”

Kesempatan berdiskusi dengan Kang Badar tentang menulis sangat menarik sekali. Dulu, beliau adalah seorang guru, berhubung banyak sekali sistem yang menurutnya justeru menghambat pendidikan, beliau memutuskan menjadi seorang jurnalis hingga kini. “Bukan berarti menjadi guru gajinya kecil, tetapi dengan menulis pun kita bisa menjadi pendidik”, katanya.

Itulah sepenggal pengalaman saya tentang keinginan menulis hingga kini. Pada intinya, menulis adalah kehidupan. Artinya, jika menulis lahir dari kesadaran untuk memperbaiki paradigma agar tabir yang selama ini terpendam dalam pikiran, tercurahkan dengan terus-menerus belajar. Ya, tidak pernah merasa bosan untuk berpikir, kemudian menuliskannya untuk berbagi dengan para pembaca. Menurut saya, jika tulisan itu datang dari sebuah renungan, maka bagi pembaca adalah sebuah pencerahan. Saya sebagai pendidik merasa harus terus belajar dan menulis untuk memberi kontribusi kepada pendidikan. Semoga Tuhan memberkati saya dan siapa pun yang rela menulis untuk kebaikan. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar