Senin, 30 Mei 2011

Sepucuk Surat buat Abdul

Oleh : D. Dudu AR

Tidak terasa umur sudah karam di telan waktu. Harapan untuk menikah pada usia sesuai sunat nabi, ternyata belum juga tercapai. Belenggu pun semakin merajam pikiran. Calon pengantin yang diidamkan saja belum punya, tapi sudah berpikir untuk menikah cepat-cepat.

Abdul mengadu nasib demi menggapai kehidupan yang lebih baik di Jakarta. Namun, takdir mengatakan lain, ijazah S1 pendidikannya tidak laku. Berkali-kali melamar pekerjaan, hasilnya selalu ditolak. Karena pendidikannya tidak sesuai dengan kriteria perusahaan. Dia tahu Jakarta memang kota keras dalam peruntungan hidup, tapi tidak membuatnya putus asa.

Hari telah senja, namun sedikit sekali para mahasiswa datang membeli siomay. Kebetulan hari itu para mahasiswa UNJ menghadapi sidang skripsi.

”Dul, malam Mingguan, yuk?” Ajak Panjul, salahsatu teman kostannya.

Namun, sambil memainkan gitar menunggu para pembeli, Abdul menolak ajakan Panjul.

”Katanya, mau cari pasangan hidup, harus ada usaha dong!” Setelah membereskan dagangan, Panjul menyindir sambil bergegas pergi.

Sebelum lembayung benar-benar meninggalkan senja, Abdul masih bertahan di lapaknya.

”Bang, beli siomay satu!” Tiba-tiba seorang mahasiswi memesan dengan wajah yang sendu.

Setelah Abdul selesai melayani mahasiswi tersebut, siomay yang dihidangkannya tidak dimakan. Setelah lima belas menit lewat, Abdul terpaksa bertanya, karena takut ada sesuatu dalam siomay yang dibuatnya.

”Mbak, kenapa siomaynya tidak dimakan?”

”Saya menunggu adzan Magrib yang sebentar lagi berkumandang. Nanti saya makan kok, bang!”

Semilir angin sore itu meluruhkan hati Abdul pada suara lirih seorang mahasiswi di lapaknya.

”O, Mbak puasa?”

”Iya, bang”

”Kenapa hampir Magrib masih di kampus?” Abdul berusaha tidak memutus percakapan.

”Aku harus mengulang skripsiku yang pada saat sidang tadi banyak dikritik oleh penguji, bang”, keluh mahasiswi itu.

Abdul mencoba menenangkan gundah mahasiswi itu dan larut dalam percakapan yang mengantarkan mereka menuju mesjid dekat kampus. Setelah shalat Magrib, mereka melanjutkan perbincangan yang semakin akrab.

Akhirnya, Abdul menawarkan jasa untuk membantu menyelesaikan skripsi mahasiswi tadi. Abdul merasa iba karena teringat adik perempuannya di desa. Masa kuliah, Abdul adalah mahasiswa cerdas hingga nilai skripsinya teratas. Makanya dia berani menawarkan diri. Setiap hari Abdul terlibat diskusi dengan mahasiswi itu, kadang-kadang hingga larut malam, rela membantunya. Hingga akhirnya, mahasiswi itu lulus dengan nilai cumlaude.

”Terimakasih atas bantuannya, bang”

”Iya, sama-sama”

Tuhan selalu memberikan skenario yang mengejutkan kepada umatnya yang setia, termasuk kepada Abdul yang hatinya selalu bergetar, jika mahasiswi itu membeli siomaynya. Anehnya, mahasiswi itu semakin sering membeli siomay Abdul. Panjul merasa heran melihat mata sahabatnya berbinar, jika melayani mahasiswi itu.

Sudah sebulan, lapak siomay Abdul tidak buka. Si mahasiswi resah tidak bisa melihat paras Abdul lagi. Panjul memberi tahu si mahasiswi, bahwa Abdul dirawat di RS. Fatmawati. Abdul mengalami kecelakaan tabrak lari hingga membuatnya koma. Abdul belum menyadarkan diri hingga si mahasiswi menjenguk dan menyimpan sebuah surat di samping tempat tidurnya.

“Bang, curahan ini kutulis pada saat purnama di mata orang adalah bulan kasih sayang. Tapi bagiku, rasa ini ranum atas nama ketulusan, bukan yang seperti mereka elu-elukan seperti di Valentine Day. Perkenalkan namaku, Fatimazara. Jika Tuhan masih mengizinkanmu untuk datang ke rumahku. Ajaklah adik perempuan dan kedua orangtuamu”. Setelah surat itu dibacakan adik perempuannya, Abdul terbangun dari komanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar