Senin, 30 Mei 2011

Kematian di Atas Batu Nisan Ibu

Oleh : D. Dudu AR

Persimpangan yang mengantarkan langkah pada ujung jalan yang salah adalah pilihan hidup setelah didrop out pihak sekolah beberapa tahun silam. Roni kedapatan membawa ganja pada saat razia narkoba. Dan terpaksa harus duduk di meja hijau. Setelah diputuskan bersalah oleh pihak pengadilan, Roni mengenyam hukuman selama tiga tahun.

Satu-satunya keluarga yang ditinggalkan adalah ibunya yang sakit keras. Masa-masa hukuman di balik jeruji menjadi pukulan telak yang harus dilewati. Penyesalan diraut wajahnya semakin mengerut, ketika kabar ibunya telah bersemayam di samping kubur bapaknya yang lebih dulu meninggal setelah menjadi korban pembunuhan mafia narkoba. Bapaknya terlalu banyak hutang kepada bos ganja daerah itu, hingga harus membayarnya dengan nyawa. Dan Roni tidak dapat menyaksikan jasad ibundanya yang terakhir kali. Sebab, harus menghabiskan masa hukumannya.

Sebenarnya, Roni anak yang berbakti kepada orang tua. Namun, Roni memilih mengedarkan ganja di jalanan dekat Kali Cimulu untuk membiayai ibunya yang sakit keras. Tekanan ekonomi memang bisa membuat seseorang menjadi buta melakukan hal yang benar. Termasuk Roni, karena desakan begitu kuat, memaksanya membanting tulang pada jalan buntu karena hasilnya yang cepat. Belum utang bapaknya yang harus dibayar.

”Van, bagaimana kubur ibuku sekarang?” Dengan suara parau, Roni ingin mengetahui keadaan kubur ibunya pada saat dikunjungi Ivan.

”Kuburan ibu-bapakmu dirawat oleh salahseorang penjaga kuburan. Tenang saja, saya membayarnya setiap bulan. Tidak mahal, kok!” Tegas Ivan.

Ivan adalah sahabat kecilnya yang sampai detik ini masih menjadi sahabat setia Roni. Kedatangan sahabat, sedikit menenangkan hatinya yang hancur. Ivan memiliki jasa besar bagi Roni, sebab bantuan-bantuannya sangat berarti, termasuk motivasi untuk keluar dari kehidupan jalanan yang kelam. Keluarga Ivan memang mujur. Latar belakang dari keluarga yang serba ada tidak membuatnya congkak. Bersahabat dengan Roni, membuat dirinya bangga memiliki sahabat yang sudah mengajarkan tentang kehidupan yang keras di jalanan. Yang membuat takjub Ivan kepada Roni, karena perjuangannya menghidupi keluarga, terutama perawatan ibunya, tanpa kenal lelah. Dan justeru, karena Ronilah Ivan mampu membaca Al Qur’an. Sebelum terjerumus ke dunia hitam, Roni sering mengajarkan anak-anak mengaji di madrasah dekat rumahnya.

Tiga tahun berlalu, Roni keluar tahanan tanpa disambut keluarga, kecuali Ivan. Sebelum matahari beranjak menuju senja, Roni berziarah ke makam ibu-bapaknya bersama sahabat setianya itu.

”Assalamu’alaikum ibu-bapakku, maafkan perbuatanku yang telah menyengsarakan kalian di dunia. Selama ini, aku menjadi pengedar ganja hanya untuk membayar perawatanmu, ibu. Aku menjadi pengedar ganja hanya untuk membiayai hidup, termasuk sekolah. Jika bukan karena hutang bapak, mungkin tidak akan terjerumus di jalan karena ekonomi yang buruk. Semoga kalian diberi kedamaian olehNya. Semoga kalian tenang di alam sana”.

Lembayung masih menggantung di langit selepas adzan Magrib berkumandang. Roni diajak Ivan untuk menginap di rumahnya. Ivan memang sangat baik kepada Roni. Sebab itu, Roni merasa heran dan tak mampu membayar atas kebaikan dan jasanya.

”Ron, aku akan pergi ke Jakarta besok pagi, karena lamaranku diterima oleh perusahaan besar di sana”, Ivan membagi kabar gembiranya kepada Roni.

”Syukur kalau begitu. Kamu orang baik, jadi wajar jika Tuhan memberikan nasib baik kepada orang sepertimu”.

”Amin, terimakasih Ron”.

”Semoga kamu bisa menjaga diri baik-baik di sana, jangan pernah terbujuk godaan yang berakhir buruk seperti kehidupanku”, Roni menambahkan wejangan untuk mengantar kepergiaan temannya itu esok pagi. Waktu mulai menelusur ke pusaran malam, kemudian membawa mereka ke tempat istirahat untuk menjemput hari esok yang lebih baik.

”Terimakasih Ron, sudah mengantarkanku”.

”Iya, sama-sama. Jaga diri baik-baik, ya?”

”Iya, kamu juga”.

Setelah Ivan melambaikan tangan dari balik kaca bus yang mengantarkannya ke Jakarta. Mereka berpisah. Roni kembali ke rumah. Melihat rumahnya yang tidak terawat, Roni memulai hari itu dengan membersihkan ruangan-ruangan rumahnya dari sarang laba-laba. Rumah gubuk yang beberapa meter dari Kali Cimulu adalah warisan satu-satunya sepeninggal kematian orang tua.

Kabar keluarnya Roni dari penjara, terdengar sampai ke telinga teman-teman kelompoknya yang sama-sama mengedarkan ganja di jalanan.

”Tok.. tok. Tok.., Ron, Roni! Buka pintunya!” Suara ketukan dan panggilan dari balik pintu mengagetkan Roni selepas shalat Magrib. Suaranya tidak asing bagi Roni. Dan benar, ketika pintu dibuka, empat kawannya yang satu kelompok pengedar ganja di jalanan, menyambut dan mengucapkan selamat kepada Roni karena sudah keluar dari penjara.

Tanpa panjang lebar, mereka ngobrol layaknya di pasar tentang penjara dan perkembangan edaran ganja di jalanan. Roni dipaksa oleh keempat kawannya itu untuk kembali mengedarkan ganja. Meskipun Roni menolak mentah-mentah, mereka tetap memaksanya agar mengantarkan ganja yang dibawa saat itu, dijual di Bandung.

Tolakan Roni tidak lama, karena dilema. Roni memang memiliki hutang besar kepada Bos ganja yang pernah memberikan pinjaman untuk merawat almarhum ibunya dan sisa hutang bapaknya. Karena Roni belum mampu membayar sampai keluarnya dari penjara, terpaksa dia lakukan yang diniatkan untuk terakhir kalinya. Jika Roni berhasil membawa setengah karung ganja kering ke Bandung. Maka hutangnya kepada bos ganja, impas.

Selepas shalat Shubuh ketika orang-orang masih lelap dalam tidurnya, dua hari setelah keluar dari penjara, Roni bergegas pergi ke terminal untuk mengantarkan setengah karung ganja kering yang dipesan oleh seseorang di Bandung, sesuai pesanan dari Bos ganjanya. Perbuatan yang disesali hingga membuat dirinya tinggal di hotel prodeo, terpaksa dilakukan demi melunasi hutangnya. Namun baru seratus meter dari rumah, Roni dikagetkan perintah seseorang untuk menghentikan langkahnya.

”Roni, hentikan langkahmu! Lempar karung di tanganmu dan angkat tanganmu!”

Roni lupa bahwa dirinya masih diawasi oleh pihak kepolisian, karena keluar dari penjara masih berstatus bebas bersyarat. Setelah sedikit menengok ke belakang dan tanpa berpikir panjang, Roni langsung lari menuju bibir Kali Cimulu. Lalu menelusup ke semak-semak menuju pemakaman yang tidak sadarinya. Diiringi tembakan peringatan, Roni semakin mengencangkan larinya hingga peluru menembus dada kirinya. Roni pun terseok-seok dan kandas pada kecepatan peluru yang mengakhiri hidupnya. Roni tersungkur di atas sebuah kuburan. Pada nafas terakhirnya, Roni membaca sebuah nama pada batu nisan atas nama ibunya. ”Maafkan aku, ibu!” eTerakhir kalinya Roni melepaskan kata-kata.

Mayat yang dikerubungi para pejalan dan orang-orang yang sengaja berhenti untuk melihatnya, membuat hati Ivan terhenyak. Bagaimana tidak, kabar mayat yang diberitakan di televisi itu ternyata kawannya. Pagi itu sebelum kematian, Roni menelepon Ivan, dirinya akan pergi ke Bandung untuk mencari pekerjaan di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar