Rabu, 18 Mei 2011

Mak, Maaf Udin Tidak Lulus!

Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.

Seminggu sebelum pelaksanaan ujian nasional Udin mengikuti bimbingan belajar di salah satu lembaga pendidikan. Setiap pulang sekolah, Udin dengan serius mengikuti bimbingan tersebut. Seperti biasa menyimak penjelasan dan mengerjakan soal-soal persiapan ujian nasional. Hatinya selalu berdebar jika mengingat ujian nasional yang akan dihadapinya. “Sanggup, ‘ga ya?” Sebelum tidur selalu bicara sendiri. Malam itu, Udin bermimpi bahwa dirinya tidak lulus setelah mengikuti ujian nasional. Sontak jantungnya hampir copot ketika terkejut dari bangun tidurnya. “Untung masih mimpi”, cetusnya. Tidak lama kemudian Udin ke surau untuk sholat shubuh dan berdo’a dengan khusuk agar bisa melewati ujian nasional dengan lancar.

Tidak ada waktu bermain, sepekan itu. Saking takut gagal, buku pelajaran selalu dibawanya sampai ketiduran. Tiap pagi, setelah pamit kepada orang tuanya, Udin berangkat sekolah naik angkutan umum. Udin pun kembali membaca buku agar tidak lupa setiap hafalan atau rumus yang telah diberikan di bimbingan belajar maupun dari sekolah.

“Nanti saya akan meminta fotokopi jawaban ujian nasional ke dinas”, seorang wanita paruh baya yang berseragam guru sedang bicara dengan temannya. Udin terperangah ketika menguping pembicaraan kedua guru tersebut. Perasaannya kacau setelah mendengar celetukan guru paruh baya itu. Tidak lama kemudian, guru tersebut turun tepat di depan sekolah yang jaraknya dua kilometer dari sekolah Udin. Udin turun di sekolahnya, dan sejenak melupakan celetukan guru yang membicarakan jawaban ujian nasional di angkutan umum.

Di tengah-tengah pelajaran, udin mengacungkan tangannya menanyakan kemurnian ujian nasional yang akan dilaksanakan tiga hari lagi. “Bu Indah, apakah ujian nasional tahun ini tidak akan ada kecurangan?” Tanya Udin. Bu Indah, guru matematika menjawab pertanyaan Udin dengan senyuman terlebih dahulu, “Din, percayalah pada kemampuan sendiri. Jika sudah berusaha sekuat tenaga, apa yang harus dikhawatirkan?” Udin pun sedikit tenang setelah Bu Indah menjawab pertanyaannya.

Satu hari lagi ujian nasional tiba. Udin semakin menggebu-gebu menghafal semua pelajaran yang akan diujikan. Tanpa membuang waktu, dia mengerjakan berbagai soal yang disarankan bimbingan belajar dan gurunya.

Waktu ujian pun tiba, sebelum berangkat, Udin pamit seperti biasa. Sambil bungkuk menyentuh kaki ibunya, “Mak, Udin berangkat. Mudah-mudahan Udin bisa mengerjakan soal ujian dengan lancar”. “Amin”, jawab ibunya.

Hari pertama, Udin mengerjakan soal dengan lancar, begitu juga hari kedua dan terakhir. “Alhamdulillah, semua sudah beres, tinggal menunggu hasil pengumuman”. Hari-hari menanti pengumuman, gosip mendadak menyebar di sekolah Udin. Sekolah tetangga yang jaraknya dua kilometer, diisukan melakukan kecurangan karena pihak sekolah memberikan jawaban ujian nasional. Sering diangkutan umum, banyak siswa sekolah tersebut merasa bahagia karena ujian nasionalnya bisa dikerjakan dengan sempurna, “dengan bocoran jawaban tentunya”, sambil cekikikan siswa tersebut agak meremehkan Udin yang sama-sama satu angkutan umum.

Meskipun Udin pernah mendengar pembicaraan guru sekolah tersebut meminta jawaban dari dinas, dirinya tetap yakin bisa lulus. Sebab, sebelum ujian berlangsung, Udin merasa sudah mempersiapkannya dengan matang.

Tapi ada yang berbeda setiap berangkat ke sekolah, kini Udin merasa panas dengan sikap siswa sekolah tetangga yang menganggap bahwa mereka pasti lulus dengan nilai sempurna. Terkadang, di angkutan umum mereka menganggap Udin tidak akan lulus. Meskipun sakit hati, Udin menyerahkannya kepada Ilahi. Pasrah.

Udin merupakan salahsatu siswa yang terpelajar di sekolahnya. Prestasinya pun sangat membanggakan sekolahnya. Meskipun Udin dari keluarga yang jarang harta, tapi banyak teman-temannya menyukai perangainya yang baik. Selain itu, dia juga pernah mengikuti olimpiade MIPA tingkat nasional, saat itu masuk juara 3. Sebuah kebanggaan bagi Udin, apalagi latar belakangnya dari keluarga sederhana.

Waktu merambat cepat, pengumuman hasil ujian nasional sudah tiba. Udin pun berangkat lebih pagi dari rumahnya. Padahal, semalaman dia tidak bisa tidur karena gelisah ingin segera mengetahui hasil ujian. Tiba di sekolahnya, ternyata sudah banyak siswa yang berdatangan padahal masih setengah enam pagi.

Sambil menunggu pihak sekolah memajang pengumuman, Udin bersama teman-temannya makan pagi di kantin sekolah sambil membicarakan hasil ujian. Kebanyakan dari mereka pucat pasi, karena menanti hasil ujian yang sebentar lagi diumumkan. “Din, kamu pasti yakin lulus dech”, salahsatu temannya meyakinkan. “Ya, mudah-mudahan, amin”, Udin pun menjawab agak sedikit ragu. “Kalau mengerjakan soal sih, saya merasa yakin benar. Tapi, ga tau”, tambah Udin.

Suara kepala sekolah pun terdengar dari balik pengeras suara, “kepada seluruh siswa-siswi, sebentar lagi hasil ujian akan diumumkan, mohon berkumpul di lapangan, segera!” Udin dan teman-temannya berlarian karena tak sabar ingin melihat pengumuman yang dipajang kepala sekolah.

Setelah kepala sekolah memajang hasil pengumuman, dan memberitahukan kepada siswa yang tidak lulus untuk segera mengikuti ujian susulan. Siswa-siswi berdesakan melihat papan pengumuman. Ada yang berteriak, pingsan, dan meracau seperti orang gila. Termasuk Udin yang mencoba melihat namanya apakah lulus atau tidak?

Udin memandang terkejut melihat namanya dengan status “tidak lulus”. Antara langit dan bumi, dirinya merasa berada di antara keduanya. Matanya agak berlinang, tapi segera diusap dengan bajunya. “Din, kamu lulus ‘ga?” Kawannya bertanya sambil gembira. “Emh, saya ‘ga, kawan”, jawab Udin. “Yang benar?” Tegas temannya. “Tidak mungkin, seorang Udin tidak lulus!” Kawannya keheran-heranan.

Udin pun pulang dengan kepala menunduk. Perasaannya campur aduk, malu, sedih, kecewa, dan merasa sia-sia. Dia pun harus memberitahukan kabar buruk kepada kedua orang tuanya. Sementara, teman-temannya yang kurang pintar, banyak yang lulus. Belum siswa sekolah tetangganya yang merayakan kelulusan dengan mencorat-coret baju sekolah, semakin mengiris hati Udin ketika pulang ke rumahnya.

“Mak, maaf, Udin tidak lulus”, dengan nada suara yang pelan Udin memberitahukan hasil Ujian kepada emaknya. “Ya, sudah yang penting sudah berusaha”, ibunya menjawab sambil menenangkan Udin. Karena keluarga mengerti keadaan, Udin kembali mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian susulan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar