Senin, 30 Mei 2011

Kenapa Sastra di Sekolah Dasar Tidak Berkembang?


Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.

Tidak salah, jika para kritisi sastra mempertanyakan peranan guru terhadap perkembangan sastra di sekolah. Hal ini dibuktikan, kurangnya kompetensi guru dalam kesusasteraan. Khususnya guru di sekolah dasar, yang memiliki bejubel peranan sebagai : administrator, pengajar semua mata pelajaran, ekstrakurikuler, tugas tambahan, dlsb. Jangankan memikirkan sastra, banyak hal yang membuat mereka sering tidak fokus dan konsentrasi mengelola pembelajaran. Oleh sebab itu, sastra di sekolah dasar tidak menjadi prioritas dan luput dari perhatian.

Sementara, untuk memupuk generasi masa depan yang sadar dan menjadi pelaku sastra di negeri tercinta ini adalah siswa-siswi sekolah dasar. Pada kenyataannya, mereka disuguhi pembelajaran yang kaku; membaca puisi, menulis puisi, mendengarkan prosa, tanpa larung berdiskusi atau mengajak menela’ah secara baik dan benar. Sehingga dalam prosesnya, mereka gampang jenuh dan cenderung tidak berminat mengikuti pembelajaran sastra. Meskipun kurikulum tingkat satuan pendidikan sudah dirancang sedemikian rupa, memberikan petunjuk kepada guru, melaksanakan proses belajar mengajar, tetap saja kurang memberikan kontribusi yang cukup untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sastra di sekolah.

Kaitan dengan kemampuan guru sekolah dasar terhadap sastra, memang sangat menyedihkan. Betapa tidak, mereka harus memberikan pembelajaran sastra, sementara kemampuan sastra itu sendiri tidak dimiliki. Memang, guru sekolah dasar bukan ahli sastra atau sastrawan, setidaknya mereka perlu diberikan seminar atau workshop tentang sastra. Banyaknya peran ganda mereka yang membuat konsentrasi dalam memberikan pengajaran terbagi-bagi, ini juga menjadi salah satu faktor penghambat.

Apakah dengan begini, lalu pembelajaran dan pengajaran sastra di sekolah dasar akan kreatif, efektif, dan menyenangkan? Selain kurangnnya seminar atau workshop sastra untuk guru, pihak-pihak terkait juga terkesan kurang respect terhadap perkembangan sastra di sekolah dasar. Padahal, sastra merupakan cara ampuh membentuk karakter siswa sebagai penerus bangsa yang berbudaya dan beretika.

Ironisnya, kenyataan di lapangan paradoks dengan tujuan pendidikan nasional. Dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Wajah pengajaran sastra seperti ini, mungkin tidak akan pernah jelita sepanjang guru itu sendiri tidak dibekali kemampuan seputar sastra. Setidaknya, mengadakan seminar ataupun mengadakan bengkel sastra yang direkomendasikan dinas pendidikan ke sekolah-sekolah, kemudian mengundang sastrawan-sastrawan untuk memberikan pengarahan sastra kepada guru-guru sebagai bekal di kelas. Tindakan seperti itu merupakan langkah yang lebih baik dan aplikatif. Ketimbang berretorika setiap rapat-rapat ataupun berapriori dalam ritus pendidikan selama ini, yang mengharapkan pembelajaran sastra di sekolah berkembang dan maju.

Selama ini, guru sekolah dasar kurang diberdayakan dalam pengembangan sastra di sekolah. Intensitas pengadaan seminar yang minim diikuti oleh guru, juga merupakan alasan guru sekolah dasar gagap terhadap pengajaran sastra. Bukan perkara mudah, tugas yang diemban guru sekolah dasar, apalagi mengembangkan sastra yang seharusnya dipegang oleh guru ahli bahasa dan sastra. Ini menjadi tugas dinas terkait untuk memikirkan solusi yang tepat, kaitan pengembangan sastra di sekolah dasar.

Pembentukan sikap siswa-siswi di sekolah dasar merupakan suatu masa yang tepat untuk memberikan bekal kesusasteraan sejak dini. Hal ini sesuai dengan teori tabularasa (kertas kosong) yang dikemukakan Jhon Locke seorang tokoh empirisme, dalam buku pedagogik (2007 ; 74), diibaratkan sebagai ”tabularasa”, yaitu sebuah meja yang dilapisi lilin, yang digunakan di sekolah dalam rangka belajar menulis. Artinya, anak ibarat kertas putih yang bisa dicorat-coret oleh pengaruh lingkungan dan manusia dewasa. Sebetulnya, bagi guru sekolah dasar, merupakan waktu yang tepat untuk memberikan pemahaman dan pengalaman kepada siswa tentang sastra yang mampu membentuk karakter siswa; berbudaya dan beretika.

Jika pihak-pihak terkait sadar akan pentingnnya perkembangan sastra di sekolah dasar, mungkin para kritisi sastra tidak lagi mengambinghitamkan kegagalan dunia pendidikan mengembangbangkan kesusasteraan Indonesia, khususnya di sekolah dasar. Betul, sudah seharusnya perkembangan sastra di sekolah dasar merupakan tanggung jawab bersama. Bukan mencari-cari kesalahan yang tidak sepatutnya disematkan kepada guru. Harus dipikirkan oleh kita semua, baik pemerintah, guru dan sastrawan di negeri ini. Jangan hanya menyalahkan salah satu pihak, agar perkembangannya itu sendiri selaras sesuai dengan tumbuh-kembang generasi kita.

Selain itu, pembagian tugas guru di sekolah dasar harus dikelola oleh pihak-pihak terkait dengan baik, agar tugas mengajar guru tidak tumpang tindih dengan administrasi yang pada kenyataannya mengganggu proses belajar-mengajar. Salah satunya, mengangkat tenaga kerja seluas-luasnya untuk dijadikan pegawai negeri sipil di setiap sekolah dasar, yang barang tentu harus sesuai dengan kompetensi dan bidangnya masing-masing. Agar fungsi guru sekolah dasar di kelas, tidak bekerja ke sana ke mari atau harus mempersiapkan berbagai macam persiapan yang bukan kompetensinya. Kemudian, menggalakan program guru bidang di sekolah dasar, yang harus segera direalisasikan. Bagaimana tidak, satu kelas yang dikelola oleh satu orang guru, merupakan pekerjaan yang sangat muskil menghasilkan murid berkualitas, terutama dalam pembelajaran sastra.

Budaya Membaca dan Menulis

Sepertinya program yang pernah dicanangkan oleh sastrawan senior, Taufiq Ismail, harus diberdayakan kembali. Program SBSB (Sastrawan Bicara Siswa Bertanya) dan SBMM (Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca). Hal ini terbilang sukses memberi ruang kepada siswa dan mahasiswa mengenal, menela’ah, dan memahami kesusasteraan Indonesia. Maka, untuk guru sekolah dasar pun perlu dibina dengan program serupa, untuk bekal mengembangkan kesusasteraan Indonesia di kelas. Taufik Ismail menjawab dalam artikel “Taufik Ismail dan Program Gerakan Sastra” yang ditulis Abdul Aziz Rasjid (Esais), membaca buku sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baca buku secara umum. Latihan menulis mempersiapkan orang mampu menulis di bidangnya masing-masing.

Sebagai perbandingan budaya baca di negara kita dengan negara tetangga Malaysia, terdapat perbedaan yang signifikan. Seperti yang ditulis I Made Marta dalam artikelnya yang berjudul “Benarkah Budaya Baca Masyarakat Kita Rendah?”, Malaysia merupakan salah satu negara di kawasan ASEAN yang memiliki SDM berkualitas karena tingginya animo untuk membaca. Singgih Prayogo, staf Bidang Pengembangan Naskah Bahasa, Pengetahuan Sosial, dan Budaya pada Pusat Perbukuan, yang pernah melakukan Training of Trainers for Texbook Writers di Malaysia (1999), dalam sebuah tulisannya berjudul ''Minat Baca di Negeri Jiran'' antara lain menyebutkan hal-hal berikut ini:

Pertama, secara substansial dan visual, minat baca masyarakat Malaysia tinggi karena kepedulian penuh pemerintah Malaysia dalam meningkatkan SDM. Ada lima prinsip yang diterapkan Malaysia untuk meningkatkan minat baca, yaitu knowledge minded (cinta pengetahuan), inovating minded (cinta perubahan), reflektif, kreatif, dan proaktif. Tidaklah aneh jika produksi buku di Malaysia meningkat dari tahun ke tahun. Pada sisi lain, Malaysia berani memproklamasikan diri sebagai salah satu negara ASEAN yang memiliki SDM paling berkualitas di kawasan ini.

Kedua, ada beberapa unsur yang menggerakkan siswa di Malaysia untuk gemar membaca. Antara lain adalah mengampanyekan bahwa kualitas suatu bangsa banyak ditentukan dari kegemaran membaca warga negaranya melalui media televisi, radio, surat kabar, majalah, leaflet, buletin, dan brosur yang relevan. Tidak aneh kalau kemudian hampir setiap saat di Malaysia banyak diselenggarakan kuis dan sayembara. Hadiahnya pun mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah bagi setiap pemenang untuk merangsang minat baca.

Ketiga, dari segi penerbitan dan pencetakan buku, kriteria utamanya adalah buku yang mampu menggugah dan meningkatkan kegemaran membaca. Menurut versi pemerintah Malaysia, topiknya harus selalu aktual termasuk untuk buku-buku pelajaran. Buku yang diterbitkan tidak hanya berkualitas secara substansial keilmuan, tetapi juga menarik secara visual. Profesionalisme penulis buku pelajaran amat ditekankan. Profesionalisasi yang dicanangkan sebagai langkah antisipasi pasar kesejagatan (globalisasi).

Keempat, dalam bidang perpustakaan ada hal-hal menarik yang bisa dipetik, antara lain: (1) Manajerial dan pengembangan perpustakaan dilakukan secara profesional, (2) Penambahan judul buku terus-menerus untuk memenuhi segala kebutuhan peminjam, (3) Memiliki infrastruktur penunjang seperti internet, intranet, dan katalog yang lengkap, serta sarana pendukung lain.

Keempat prinsip di atas menjadi bukti keseriusan Negeri Jiran mempersiapkan SDM-nya untuk membangun negara lebih maju di kawasan ASEAN. Padahal negara tetangga tersebut, sempat mengirimkan mahasiswa-mahsiswanya di negara kita, kemudian pulang membawa sesuatu untuk kemajuan bangsa. Apa yang terjadi di negara kita? Hal ini terjadi disebabkan minat baca itu sendiri sangat kurang. Kekurangseriusan pemerintah memberikan layanan dan kekurangsadaran masyarakat menjadi indikator dari kegagalan kesusasteraan berkembang di masyarakat dan lingkungan pendidikan.

Sementara menulis, dapat dilakukan setelah memiliki kemampuan membaca. Artinya, membaca adalah langkah awal untuk menuangkan sebuah gagasan (bahan) untuk dituangkan kedalam tulisan. Kualitas tulisan, tergantung kepada berapa banyak buku (literasi) yang dibaca sebagai sumber dalam menulis. Maka dalam konteks karya tulis, negara kita masih ketinggalan dalam memroduksi buku dengan negara Malaysia dan Vietnam.

Untuk itu, mari kita sosialisasikan budaya membaca dan menulis sebagai alternatif, “mencerdaskan kehidupan bangsa”, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 harus diejawantahkan bersama-sama untuk kebaikan dan kemajuan bangsa. Terutama memberdayakan guru memahami kesusasteraaan Indonesia sebagai pilar utama mendidik generasi bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar