Senin, 30 Mei 2011

Kau adalah Cahaya Bunga Kedamaian dari Tuhan, Zhia!


Oleh : D. Dudu Abdul Rahman, S. Pd.

28 November 2009 adalah hari bersejarah dalam hidup. Betapa tidak, pertama kali mengucapkan ijab kabul kepada ayah seorang perempuan yang sekarang menjadi isteriku adalah jawaban Allah SWT atas do’a yang selama ini dipanjatkan. Dialah takdirku, jodohku. Setidaknya sampai detik ini; sakinah, mawadah, dan warahmah menjadi langit siang dan malam. Begitu juga malam pertama yang syahdu, kenikmatan yang dijanjikanNya kepada umat yang mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW, begitu indah dan penuh keberkahan.

Waktu merambat cepat, siang dan malam menjadi pelayaran yang membawa kami menuju pulau-pulau menawan nan indah. Perjalanan bahtera baru kunakhodai bersama perempuan yang aku cintai. Priska Pramudita yang menurut pada suami, berkerudung, dan selalu menyambut kepulanganku, adalah obat rindu yang melenyapkan letih perjalanan Tasikmalaya-Cirebon setiap satu pekan sekali.

Aku bekerja sebagai guru sekolah dasar di Tasikmalaya, begitu juga isteriku yang mengabdi kepada negara sebagai guru sekolah dasar di Cirebon. Karena tuntutan kerja, aku dan isteri terpisah waktu dan ruang. Paling, satu minggu sekali baru bisa menemuinya di seberang. Berat memang, tapi ini adalah proses yang harus dinikmati sebagai garis hidup yang mudah-mudahan menjadi pahala yang berlipat-lipat. Justeru, semakin mendewasakan kami dalam menyikapi hidup yang rentan cobaan. Seperti hubunganku dan isteri yang berjauhan adalah ujian yang harus disikapi dengan sabar dan ketabahan. Jika Tuhan sudah berkehendak, pasti kami dipersatukan. Aku pasrahkan kepadaNya.

Februari yang anak muda bilang bulannya kasih sayang, menjadi waktu yang digirangi semua orang. Termasuk aku, tapi bukan karena Valentine Day. Di suatu Shubuh Februari 2010, handphoneku berdering. Isteriku menelepon dengan nada sumringah, mengabarkan bahwa dirinya positif hamil setelah tes urine. Alhamdulillah, atas nama Allah SWT, aku bersyukur. Sebab, aku dilimpahkan keberkahan, kepercayaan, dan rezeki dariNya yang langsung menganugerahkan calon anak, beberapa bulan setelah pernikahan.

Sembilan bulan menunggu, tak sabar menanti buah hati tercinta. Laki-laki atau perempuan, sama saja. Aku syukuri apapun yang direstui dan yang diberikanNya. Yang penting calon anak tersebut sehat rohani dan jasmani.

Kamis pagi, 30 Oktober 2010. Isteriku mengalami kontraksi, sementara aku masih melaksanakan tugas mengajar di Tasikmalaya. Aku minta izin kepada kepala sekolah, karena ingin menyaksikan kelahiran anak pertama. Hari itu juga, aku berangkat menggunakan sepeda motor, sekitar pukul dua siang. Selama perjalanan hati berdebar kencang, kadang konsentrasi mengendalikan kendaraan terganggu. Hati ini tidak bisa dibohongi karena kegirangan menyambut calon anak pertama yang ditunggu-tunggu.

Magrib, aku baru tiba menuju tempat tinggal di Perumnas Bromo Cirebon. Lalu melihat kondisi isteri. Ternyata masih pembukaan satu. Syukur masih ada kesempatan untuk mendampingi sampai pembukaan terakhir. Artinya ke pembukaan sepuluh masih bisa disaksikan sebelum jabang keluar.

Malam Jum’at, sekitar pukul 21.30, isteriku mengalami kontraksi hebat. Aku Segera membawanya ke bidan sekitar 500 meter dari tempat tinggal. Bidan mengatakan, isteriku melahirkan kemungkinan besok pagi. Karena kontraksi dari pembukaan satu sampai terakhir membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Kalau tidak salah perhitungan, berarti pukul 09.30 pagi, isteriku sudah bisa melahirkan.

Waktu semakin menelusur menuju pusaran malam dihiasi rintihan sang isteri yang semakin kesakitan. Tidak tega, namun itulah kodrat perempuan, yang diberi kepercayaan Tuhan untuk mengandung bayi selama sembilan bulan. “Astaghfirullahal’adzim, Subhanallah, Allahu Akbar”, berulang-ulang dalam perih kontraksi, isteri melantunkan puji-pujian kepada Yang Esa dengan ketulusan. Sungguh takjub dan membuatku luruh dan semakin tenang mendampingi isteri tersayang.

Lantunan adzan shubuh berkumandang, isteriku istirahat sejenak. Aku pun tidur sebentar selepas shalat, sekitar satu jam. Karena pagi hari, isteriku kembali kontraksi. 09.30 pagi tiba, isteriku masih pada pembukaan enam. Bayi dalam kandungan masih belum siap keluar, karena pembukaan minimal di pembukaan delapan. Mungkin harus bersabar menuju detik-detik kelahiran. Meskipun sisa pembukaan tinggal tiga tahap lagi, kemajuannya lambat. Sebab, sampai pukul tiga sore masih belum ada tanda-tanda melahirkan.

Langit sore yang tadinya cerah dan lindap, tiba-tiba gelap pekat yang membuat hatiku semakin terhenyak dengan tanda-tanda alam yang dalam pikiran burukku mungkin sedang memberi isyarat kurang baik. Kenyataannya, isteriku kehabisan nafas dan lemah untuk mengeran, mengeluarkan bayi kami. Benak semakin bergemuruh bersamaan suara kilat yang semakin lejar di antara langit dan bumi. Sejenak, aku pasrah jika diantara mereka atau keduanya harus kembali ke haribaan Tuhan. Aku bujuk Tuhan dengan do’a dan shalat dua raka’at untuk memberi kesempatan kepada isteri dan calon anakku berkumpul denganku di dunia.

Bidan pun menyarankan untuk membawa isteriku ke rumah sakit. Sebab, keadaannya agak buruk, dan kemungkinan besar, bayinya terlilit tali pusar. Firasat benar, sore itu terjadi puting beliung yang menghiasi usaha terakhir isteriku mengeran dan mengeluarkan anak pertama kami. Sebelum bidan benar-benar menyerah, beliau mencoba membantu untuk terakhir kali. Dalam usaha terakhir tersebut, tiba-tiba lampu kamar persalinan mati. Bidan menyuruh handphone dalam sakuku dinyalakan untuk menerangi pintu kehidupan bagi bayi kami menuju dunia. Sementara angin semakin kencang menyibakkan pepohonan di depan rumah bidan. Setelah beberapa saat perjuangan yang dramatis, kekhawatiran pecah menjadi sebuah kado yang mahal dari Tuhan. Dorongan bidan untuk menyuruh isteriku terus mengeran, membuahkan hasil dengan tangisan pertama puteri kami. Lalu kuciumi isteriku dengan kasih dan air mata bahagia. Tanpa gebukkan bidan pada bokong puteri pertama kami, tangisannya menggema pada hari Jum’at, 01 Oktober 2010, pukul 16.30 di ruang kamar yang sedikit sempit itu.

Fiorenza Fahrasha Jilanzhiya adalah cahaya bunga kedamaian dari Tuhan. Nama dan makna tersebut sudah kupersiapkan sebelum kelahirannya. Meskipun satu nama yang lain juga sudah dipersiapkan, jika bayi yang keluar anak laki-laki. Aku sangat bersyukur atas anugerah Tuhan yang memercayakan seorang anak perempuan kepada kami. Sebab, jika anak pertama adalah perempuan, biasanya bijak mengurusi adiknya. Atau, jika kami sudah tua renta, bisa menjaga kami dengan telaten dan bertanggung jawab. Anak laki-laki biasanya mengembara, sebab tuntutannya adalah menjadi seorang imam keluarga.

Setelah hujan mereda, saudara-saudara dan tetangga menjenguk dengan membawa kekhawatiran pada puting beliung saat persalinan. Tapi, mereka juga bersyukur karena isteri dan anakku selamat dan sehat. Lantunan do’a dan ucapan selamat pun menyertai mereka berdua.

Dalam keadaan takjub, terkejut, dan campur aduk, kuhampiri puteri pertamaku dengan kidung adzan dan do’a-do’a yang mudah-mudahan dijauhkan dari godaan syaitan yang mengikutinya. Selepas ketegangan lebih dari 24 jam itu, kekhawatiran belum usai. Sebab, tangisan-tangisannya agak tidak biasa untuk bayi yang baru keluar menghirup udara dunia. Tangisannya bernada kesakitan. Bidan merasa heran, karena badannya sudah dihangatkan, tapi tangisannya selalu meringis. Maka dari itu, bidan belum menyuruh kami membawa bayi pulang.

Sehari kemudian, bidan khawatir, sebab anakku tangisannya masih merintih, seperti merasakan kesakitan. Barangkali, pada saat keluar tubuhnya terlilit tali pusar yang mengakibatkan tubuhnya kesakitan. Karena bidan tidak mau mengambil resiko, maka bidan mengajak kami ke rumah sakit untuk memeriksanya.

Namun sayang, tiba di rumah sakit, dokter spesialis anak sudah pulang. Terpaksa harus dirawat 3 hari menunggu hari senin. Tangan mungilnya harus ditusuk jarum untuk diinfus beberapa hari. Kerinduan kami harus ditahan beberapa malam, sebab pihak rumah sakit tidak memperbolehkan kami untuk menunggui atau menjenguknya kecuali atas perintah dokter spesialis. Dua malam, tiga hari, kami menunggu kedatangannya kembali. Dan hari-hari itu terasa lama sekali, meskipun hanya beberapa saat.

Handphone pun berdering dari pihak rumah sakit. Bayi kami diperbolehkan pulang, sementara para tamu menunggu di rumah. Seperti biasa ucapan selamat dan do’a menyertai anak pertama kami. Ketika mereka bertanya nama puteri kami, agak terperangah dan merasa sulit mengejanya. Maka aku ceritakan makna di balik namanya : Fiorenza Fahrasha Jilanzhiya, aku ambil dari bahasa arab dan jerman, yang artinya cahaya bunga kedamaian dari Tuhan. Karena pada saat kelahirannya terjadi puting beliung dan mengakibatkan aliran listrik mati, maka kegelapan di detik-detik kelahirannya menjadi sebab bahwa dia adalah cahaya bagi dirinya dan yang menyaksikan perjuangan hidup dan mati saat itu. Dan mungkin Allah SWT merestui nama yang kami sematkan kepada puteri kami, karena sebelum kelahirannya sudah kami tulis, dan syari’atnya dia adalah cahaya yang lahir dari kegelapan. Mudah-mudahan nama tersebut selalu menjadi do’a dan cahaya jika dia dalam kegelapan hidupnya. Panggil saja anakku Zhia (Cahaya), saudara-saudara!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar