Senin, 30 Mei 2011

Pertemuan yang Dipisahkan Takdir

(Dua Ratus Kata tentang Kahlil Gibran)

Oleh : D. Dudu AR

Membaca buku Sayap-sayap yang Patah, membawa pembaca kepada prosa-prosa yang menceritakan perjumpaan Gibran dengan laki-laki tua yang berusia enam puluh lima tahun yang dikenalkan temannya. Keduanya semakin akrab dan erat ketika orangtua tersebut mengaku sebagai teman Ayah Gibran. Menurut pengakuan Faris Effandy Karamy, sudah 20 tahun tidak bertemu dengan kawan lamanya itu. Bertemu dengan Gibran, pria tua itu melihat paras sahabat masa lalunya. Perbedaannya, Gibran lebih bercahaya ketimbang Ayahnya. Dari kehangatan Faris, membuat Gibran sering berkunjung ke rumahnya.

Mawar-mawar pun kuncup ketika Gibran menikmati kedalaman jiwa Selma Karamy, Puteri Faris Effandy karamy, yang membuatnya luluh menakjubi keanggunan jiwa raganya. Bahasa santun, perangai lembut, dan turut kepada orangtuanya. Selma semakin dikagumi Gibran bagai surga dari penjara. Sebab, perempuan menawan tersebut telah dipinang oleh laki-laki keponakan seorang Uskup yang hipokrit, tiran, dan menjual ayat-ayat kepada rakyat dengan dalih kebenaran atasnama agama.

Sebenarnya, Faris Effandy Karamy, lebih menyukai perangai Gibran ketimbang Mansour Bey Galib, keponakan Uskup sekaligus calon suami Selma. Namun, tidak ada daya untuk menolak. Sebab, jika penolakan lamaran Mansour terjadi, keluarga Selma akan dihina dan dihujat masyarakat. Masyarakat terlanjur hormat kepada pihak Mansour dan Uskup. Padahal mereka adalah orang-orang bejat yang mengatasnamakan agama sebagai tameng kejahatannya.

Selma meninggal sesudah melahirkan putera pertamanya yang dinanti-nantikan sejak lama dari pernikahan Mansour. Buku ini mengupas tuntas pengembaraan Gibran pada keagungan jiwa yang membawanya semakin terbang meskipun dengan tertatih-tatih menghayati Selma Karamy sebagai kekasih tanpa raga. Selma Karamy terbang dengan sayapnya yang patah di hati dan jiwa Gibran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar