Rabu, 18 Mei 2011

Sebuah Pertanda

Oleh : D. Dudu AR

Dua Minggu sebelum pernikahan berlangsung, ketika sisa undangan dibagikan, tiba-tiba gempa bergoyang tepat jarum jam menunjuk ashar pada bulan ramadhan, 2009. Jalan aspal bergelombang seperti ombak, antara mimpi dan nyata, pandangan mata dibuat tidak percaya bahwa bencana benar-benar menghempas karang dalam jiwa. Sejenak rebah di selasar Sukapura, sekedar menenangkan hati yang masih bergetar pasca gempa melanda. Merenung, menyadarkan diri atas kejadian yang baru saja dialami, hingga obrolan orang-orang tentang kejadian tadi, lalu lalang keluar masuk dari telinga kanan dan kiri. Buncah menjadi letupan paling dahsyat di atas bukit yang hening, saat itu. Namun, lantunan adzan menelusup ke palung dada, melindapkan perasaan yang masih kalang kabut. Aku bergegas menuju surau, menghidupkan motor bebek, lalu menuju rumah Tuhan dekat kali Cimulu. Sementara, SMS dan Miscall yang tidak terangkat dari keluarga dan calon isteri yang jauh di sana, mengkhawatirkan keadaan setelah Televisi baru saja mengabarkan peristiwa menggemparkan di Tasikmalaya.

Selepas rayuan-rayuan ke Tuhan dipanjatkan, lalu berkeliling kota untuk melihat dampak yang telah terjadi. Dan benarlah, Toko-toko retak, rumah rubuh, dan gedung pemerintahan yang belum lama dibangun, acak-acakan – Barangkali Tuhan menunjukkan kepada masyarakat, ada sesuatu dibalik pembangunan gedung tersebut – adalah hiasan mata sepanjang jalan menuju Magrib menjelang.

“Allohu Akbar, Allohu Akbar ...”, kidung Tuhan benar-benar tidak terasa, menyilahkan umatNya berbuka puasa, hari itu. Padahal, dahaga dan lapar menggerayangi keimanan ketika undangan-undangan disebarkan, seharian. Dibasahi “takjil” sebotol teh dingin dan sebatang rokok, dahaga serta lapar, sekejap lenyap. Bagi perokok, buka tanpa minuman dan sebatang rokok, rasanya tidak afdhol.

Semenjak gempa melanda kota, pertanda rubuhnya bangunan-bangunan congkak diri, sedikit demi sedikit luruh dan rapuh. Sebab, tulang, darah, daging, kulit, dan ruh diciptakan di dunia, semata-mata untuk memuji kebesaranNya. Namun, yang namanya manusia, terkadang salah dan benar. Jelas, bukan malaikat atau setan. Rasanya perbuatan yang salah lebih banyak daripada kebaikan.

Setiap kali bencana-bencana menjadi topik berita utama di televisi. Mata selalu berlinang, raga mendadak remah, dan ketakutan yang tak jelas menerjang jiwa. Padahal, pernikahan sebentar lagi dirayakan, seminggu setelah Idul Fitri.

Jika normalnya laki-laki, menuju malam pertama adalah bahagia tiada tara. Namun, kegundahan memikirkan langit, tanah, laut, dan udara yang saling sikut berebut tempat yang semakin pengap disinggahi menjadi makanan sehari-hari. Karena, setiap pagi hingga pagi lagi, televisi diberbagai chanel, topik berita utamanya tentang bencana-bencana dan kebejatan moral yang sudah tidak alami dan manusiawi. Jelas merajam. Keadaan ini menegaskan hidup untuk selalu berpegang teguh kepada Ilahi. Hidup dan mati adalah hakNya. Ini tentang sebuah keyakinan. Sayang, selalu bimbang ketika jiwa diguncang.

“Saya terima nikah dan kawinnya puteri bapak dengan mas kawin tersebut tunai”, Alhamdulillah tanpa diulang dua kali, ijab kabul sah diucapkan kepada wali perempuan keraton, Cirebon. Seraya disaksikan wajah-wajah berbinar keluarga, bagaikan seorang pangeran yang dielu-elukan rakyatnya. Tamu undangan, saling berganti menyalami dan menikmati hidangan. Sementaraku, termenung menghayati proses hidup yang rasanya sekejap. Siluet masa lalu menjadi layar kesesaatan hidup di atas pelaminan. Hidup ini singkat.

Meskipun semalam tidak menikmati istirahat, penyematan raja dan ratu sehari menjadi kado hidup yang abadi untuk dikenang. Keluarga, tamu undangan, dan segala gelisah di hari pengantin lenyap ke kota, rumah, dan persinggahan masing-masing.

Malam adalah ranjang mawar yang basah. Sementara bulan adalah pijar yang setia menerawangi kelambu. Sempurnalah tubuh-tubuh gemulai yang setiap lekuknya saling bercumbu. Syahdu. Malam pertama membuat Diri mabuk, seperti para pecandu malam yang baru keluar Klubing jam 3 shubuh.

“Inilah telaga yang menjadikan laki-laki dan wanita bersenggama di atas sayap malaikatNya”, syukurku ke Ilahi. Saking nikmatnya melaksanakan sunah, ayam terlalu cepat memberitahu waktu, bahwa matahari akan segera menyalami pengantin baru. Memang benar. Selepas mandi suci dan berpakaian rapih, lalu berdiri tegak menghadap kiblat, raga perkasa lagi. Secangkir kopi hangat disertai isapan rokok hari pertama menjadi seorang suami adalah surga dunia setelah bercinta. Yang istimewanya, dilayani puteri keraton.

Hari kedua dan seminggu kemudian, jantung terlalu kencang mengetuk tulang dada. Entah. Mungkin terlalu rapuh, menyaksikan skenario Tuhan yang hampir klimaks menyuteradarai episode penciptaan dunia. Tiba-tiba bulan sendu, dan matahari berdebu, menghiasi malam dan siangku. Meringis adalah keadaan ketika darah ataupun legam langit sebagai atap. Angin tak lagi sepoy atau semilir. Tubuh terpental, saban badai tidak sabar menjatuhkan lejar renung tentang hidup di kedamaian hakiki.

Dan, angin menelusup ke ceruk. Mengisi ruang-ruang kosong yang masih tak berpenghuni. “Gusti, jangan Kau hitamkan langit! Birulah!”, bukan takut gelap. Tapi, kegelisahan demi kegelisahan menjadi sarapan pagi dan malam.

Lembab bermekaran di tubuh. Sementara pohon-pohon tumbang menerpa peziarah dunia yang semakin tergopoh fatamorgana. Hingga kabar gembira, menjadi surat terindah ketika batin tersayat. “Benih sudah tertanam dalam rahimku”, sedu perempuan yang bahagia mengabarkan bahwa aku akan menjadi laki-laki sejati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar