Karya : D. Dudu Abdul Rahman
[1]
Sabtu Wage, selepas shubuh pulang, temaram menuju benderang
Ruh-ruh yang masih di arasy, tercekat gemuruh tektonik Hindia
Sontak, kalang kabut menjadi pemandangan perawan hari
Raga-raga yang merebahkan lelah, sekejap menjadi mayat-mayat
27 Mei 2006, warta duka sejagat nusantara
Yogya, memikul lara atas rimpuh alam ditelan zaman
Tak bisa dipungkiri, semua ini kehendak Ilahi
Tak bisa dikembalikan, seluruh nyawa lekas pulang
Ke pangkuan Tuhan.
Hanya 25 detik, gedung menjulang porak poranda
Rata dengan asalnya; tanah. Isakan histeris adalah nyanyian
Miris. Betapa tidak, rakyat biasa menjadi tumbal murka Tuhan
Mungkin, karena lena menjadi sahabat setia, pantas saja adzab menghampiri
Tanpa diundang tuan.
05.53 WIB, waktu menjadi saksi; mencatat peristiwa gelombang
5,9 skala Ritcher menggebrak tanah sisi selatan Jawa meradang.
[2]
Sayang seribu kali sayang, disaat pekik jelata melata,
Tanah Sidoarjo semburkan selibut hawa sengat
Pengap di paru rakyat, karena oknum pejabat keparat
Ya, karena bumi ini tak mampu lagi mengemban penghianat
Kembali, rakyat tak mampu menghindar
Untuk sekedar memendar semburat luka
Dari bencana yang menenggelamkan prasasti
Yang dibuat dari mata air keringat berhari-hari
: gubuk-gubuk lapuk para prakerta bersenda tawa
Melebur menjadi lumpur busuk menusuknusuk
Langit bilik, tak ada lagi ketika mata terkatup untuk lelap
Kini, menjadi langit yang kadang bintang dan purnama menyapa
Itu masih merenda hati gulana. Namun, ketika lebam awan menghias
Tangisantangisan alam menyatu dengan jeritan malam yang menggigil
Di dada para penari gelisah. Bagaimana tidak, mereka busung di setiap lengkung waktu.
[3]
29 Mei 2006, adalah awal kecerobohan; pemicu berang alam.
Yang akan membenamkan timur jawa dan pasundan
Sepertinya, bumi bukan alas lagi, untuk ditapaki cucu dan buyut; sang generasi
Atau mereka tak ‘kan ada, karena kita kadung terkungkung pulau yang sedang limbung
Empat tahun sudah tanah menjadi lembek melibihi rempeyek
Entah di ranting mana lagi, peraduan digantungkan. Usaha Kepala Negara
Sudah diulurkan, pihak bertanggung jawab mencoba mendedikasikan harta
Namun, rasanya sia-sia. Karena, tiga puluh enam tahun adalah akhir dari bencana
Mungkin, kita sudah terkubur bersama lautan resah yang gembur di telan lumpur
Jawa adalah sebutan saja dilintas pulau
Jawa adalah nama yang pernah tersematkan
Di antara bukit, gunung, dan lautan di seberang terawang
Di antara peradaban yang pernah dilewati, semasa kita tegak berdiri
Tasikmalaya, 18 Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar