Kamis, 27 Mei 2010

Sajak Parlente Muna

Oleh : D. Dudu A. R.

Seperti biasa aku duduk di sudut horizontal yang mengarahkanku ke jendela berkaca embun.
Memandang kabut menyelimuti lukisan birumu yang semakin redup dihembus debu kemunafikan.
Bersama kepulan tembakau yang semakin menyesakkan dada, sedikit meredam jemawa hati untuk mengutarakan kata-kata tak pantas.

Angin menyusup ke jantung lewat tirai yang sudah lapuk karena sikapmu yang buruk. Sudah barang tentu, kesal selalu mengerutkan kening bila engkau berbicara tentang kebenaran yang hanya di catat lewat polemik berkepanjangan.

Batukku menanah, setiap menyimak kelu bibirmu berdalih, "Aku berbuat untukmu yang tidak berdaya".
Sebuh janji yang membatu di fosil hasrat penguasa perlente sepertimu.
Tak perlu kau katakan lagi, karena seribu tahun aku hidup berarti melanjutkan episode telenovele yang masih dilakoni pemeran itu-itu saja.
Basi, bila aku mencicipi sandiwara di layar siluet mukamu yang memiliki cadangan ratusan.

Begini saja, aku tutup jendelaku yang masih temaram, atau kau yang mengganti tenungku tentang kepastian. Tanpa ada transaksi yang saling menguntungkan, beranikah kau tinggalkan keglamouran, seperti aku yang sekarat di sudut angkuhmu yang semakin menampakkan kegetiran.

TAsikmalaya, 22 Februari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar