Jumat, 21 Mei 2010

SAJAK JURIT MALAM


Karya : D. Dudu Abdul Rahman


Maqam 1


Lorong sempit, pekat, tubuh tak mampu berkelit

menelusup ke ruang pengap. Tenung hati telah membaca,

bahwa nisannisan adalah penghias mata

hanya tali rapia sebagai petunjuk kembara ke pucuk bukit Dewantara


Antara kaki dan hati tak pernah akur, hingga tujuan tak terukur

kepada arwaharwah di bawah, maaf, aku tak ingin sebenarnya

menginjak kuburkubur yang sudah jarang ditaburi melati adanya

malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana


Empat ranum wewangian kuendus, lalu kutebak rupa dirimu

di legam belantara jati menari bersama rinai sendu

bulu kuduk makin kejang, tat kala semerbak dupa bercampur melati

hampir menusuk sadar bersamaan detak jantung yang tak karuan



Maqam 2


Perjalanan tetap kutelusur, meski rapuh menggoda remah jiwa

ya, menyerah, tapi tak mungkin. Fase ini, yang paling membanting

melanting paruh waktu yang ditunggutunggu, sedari niat yang kadung kuat

terjal memang, hampir selalu mengalasi seluruh langkah, bukan karena itu

tapi, malam ini, jiwa tembaga segera luruh diujung peluh kelana


Gubuk kecil lementik di penjuru mata, diterangi setengah lilin memintal temaram

aku salami seisinya, lagi, hanya dupa bercampur sengat melati merembes

ke bulubulu hidungku yang hampir kumat. Wewangian yang biasa hadir di ritus

malam Jum’at kliwon adalah pengharum malam ini, sangat merajam di pucat paras jalan


Menatap keranda tergantung, dipilin tambang yang hampir lepas, aku tetap ke sana

mencoba salami ’entah’ gerangan siapa yang menjawab lugas. Gemuruh hati berkecamuk, ketika coretancoretan tapak jejak yang pernah lewat terlukis di tanah liat. Mata terbelalak, jiwa menyeruak betapa tidak, benturan keranda ke tanah berbatu adalah penjawab salam tadi.


Silir angin semakin semilir, rimbun daun semakin mengalun

Menyelaraskan degup yang bertempo pikuk.



Maqam 3


Serunai menyemai sawah yang lapang, menegaskan pemandangan sepanjang jalan

lalu berhenti, saat di semak terdapat isyarat, bahwa jejak ini baru menyiratkan

setengah pengembaraan. Sementara nafas yang tersisa sebotol oksigen, adalah bekal terakhir yang hampir migren. Sudahlah, gerundul hati yang sempat menyimpul keringat, tak usah diikat.


Menjelajah waktu terkadang merambah ulu untuk berhenti menggauli tujuh peluru

kesetiaan kepada ketenangan, tegaskan saja sebagai bekal yang tak pernah aus ditelan lupus, tak perlu gusar, tak ’kan pernah kesasar meskipun sejenak rebah di selasar bawah sadar. Ya, dimensi seperti ini terkadang membuat kesejatian hidup mendadak tak serasi, biarkan dilebur ilusi. Tak perlu dibawabawa ke nyata. Hidup hanya sekali, jadi jangan sekalikali terrayu silir bayu sesaat yang membawa ke buaian tak bertepi.



Maqam 4


Sebotol nafas tersisa, tak perlu dihabiskan di depan ukiran pintu terakota yang justeru bisa mengunci untuk keluar dari penjelajahan sekian lama. Sabarlah sedikit, agar langkah yang tertatih tidak merintih di puncak perjalanan. Duduk bersama biru lebam langit lebih baik, agar kawan malam yang setia, bila awan tidak menculik binar sempurna bulan, segera berteman.


Purnama datang ataupun tidak, jangan lekas lemas meremas akhir kembara

Manfaatkan sisa tenaga yang terbungkus rapi di palung jiwa. Di sini kita berakhir

Atau justeru kembali ke semula. Begitulah miniatur hidup dalam bukitbukit yang kubentuk sederhana di jendela yang menembus ke awal matahari menampakkan pijar di fajar.


Tasikmalaya, 10 MEI 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar