Senin, 31 Mei 2010

SAJAK DUA BUNGKUS NASI KUNING

-buat Nero Taopik Abdillah

Karya : D. Dudu A. R.


Malam 1


Seperti biasa meskipun tak sering, Handphone berdering

Isyaratkan semilir pertemuan hening, terangkai di pesan singkat

: O, kawan lama yang masih setia dengan pengembaraan

Yang selalu dijawab entah berujung dimana.

“Blues uing di Kostan Ridwan, ayeuna ditungguan!”1


Kalimat tidak asing kadang menyungging akhir pekan

Saat kelanaku meruncing ke kota laut utara untuk menemui

Gubuk sebelum delta. Langit sedikit menyeringai sombong, kala gairahku

Memuncak untuk merenda rencana bersama urang culamega2

: hujan lebat menampar paras sedikit panas

Demi batin yang dipintal selama lima tahun pasca sarjana

Aku rela, sekedar menyalami sosok yang sebenarnya memiliki

Tujuan berbeda.


: aku tiba

Pintu sebuah kostan, dulu sempat kujamah ketika menenun kampus dulu

Kesekian kali, kembali ke ruang yang tak asing menyayup kenangan

: gerungan motor Bebek Honda, adalah isyarat yang tak aneh di telinganya

“Hahaha, huhujanan sia!”3


Sebuah pengorbanan adalah canda di keakraban

Lembayung menukik ke palung malam,

Sayang, Semburat bulan diculik awan


Malam 2


Kau tumpahkan ribuan sajak yang sudah membumbung ke langit tujuh

Lalu, kau ceritakan sebuah ketulusan katakata yang dilukis para sepuh

Ya, aku tahu. Senda petuah tentang laut kata, tak bisa dimuncratkan sesaat saja

: kita menulis resah di dinding sunyi bercat biru, tapi tetap ngilu menyiratkan grafiti

di kamar malam yang semakin bisu


Aku sedikit terperangah, karena tenungmu tentang kembara gelisah

Tersirat di keriting kening, dihempas deburan ombak gulana di setiap lekuk paras berminyak

: tibatiba kau bernyanyi tentang bidadari yang sebetulnya tidak pernah berkhianat.

“Sudahlah! Aku bosan tentang kidung yang tidak pernah berujung tentang perempuan semburat bulan yang hampir lenyap”


Malam 3


Kau kutinggalkan, sementara bulir waktu hampir patah di pohon temu

Tapi rindumu kepada malam yang setia menyelimuti gundah, tak pernah pudar

: kau panggil aku yang tenang menela’ah kalam, selepas maghrib datang

Kemudian, menegaskan rayuan tentang kidung sajak malam yang masih diperdebatkan


Tak pernah padam, kelakuanmu yang hampir runyam, terselamatkan

Karena aku tenggelam ketika sajaksajakmu yang tak kumengerti

Kini senyawa dengan naluri yang sedang mengobarkan birahi imajinasi

: Kita menjadi sajak dan puisi, lalu bercumbu saban sabat ngungun

Perangai malam memagut rindu temaram kepada sedu sedan, hilang.


Malam 4


Dua bungkus nasi kuning menyumpal lapar

Kala nanar mengejang di lengkuas keheningan

antara aku dan kau. Ya, malam ini jiwa menjadi sunyi

Menelusup ke ruang puisi, kita menjadi katakata termaktub di setiap jelaga.


Kadang ribuan makna dipugar menjadi rangkai kata yang ngarai

Mengacak malam, semakin memucuk ke padang mawar

Melarung batin hingga mengurai rinai langit

Lalu, setia menjadi sahabat shubuh dan kejora ketika putik mekar

Memagari detikdetik malam terakhir, kemudian hanyut ke dalam mimpi


Tasikmalaya, 31 Mei 2010

_______________

Seluruh kata dan kalimat yang ditandai, menggunakan Bahasa Sunda.

1) Blues, saya di Kostan Ridwan, ditunggu sekarang!

2) Orang Culamega (daerah Tasikmalaya Selatan)

3) Hahaha, kamu diguyur hujan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar