Karya : D. Dudu AR
O, Langit menjadi malam, matari menjelma bulan, tipis. Di sini aku menggigil di tanduk lindai, karena matamu tak simpai menyimpul lepuh di seringai. Aku nganga menanah!
Menari di laut keliru, di jalan lengang yang rindang
Ombak mendebur tujuan di palung kegamangan
Berkecipak selayak ikanikan berpesta
Bersama pendar bulan di kilau kelana
memapah lengang ke hamparan samudera
: Carikcarik puisi damai sentosa, telah kutaburkan di ruang senyap
Lalu, setengah matari merenda mata
Melukis lembayung yang paling relung
Riak gemulai ombak semakin luruh
Lagilagi ke palung rindu.
Sayang, sauh kalbu sejenak rebah di tengah sadrah
Menamparnampar kembara meskipun tak pernah lara
Terkadang gerogoti tubuh yang semakin lupus
Kemudian larung, lenyap, lalu senyap
Limbung bahtera tidak selalu diasinkan
Biarkanlah
lenyap di segitiga bermuda, dan larunglah ke haribaan Lillah
Ya, rupa yang terlukis di lazuardi, adalah engkau sedang bercipratan di telaga berawan, selalu memintal ketegaran lalu mengkristal menjadi kirana pelangi menelungkup gelisah, dan benamkan resah ke perangai malam yang semakin tak indah
Aku ganti payau sepimu dengan sekuntum do'a, kulepaskan dari setelapak rindu, kemudian kutengadahkan persis ke lembayung sembilu
Aku eja ribuan mawar disetiap lamunan. Memagut langit yang hampir runtuh ketika kau kuantar menuju altar .
Di kilau taman hijau, aku melayang ke surau lindap.
Sayang, aku memandangmu setengah purnama. Jangan kau marah, karena akan kuendapkan malam ke lengkung langit. Lalu kejora adalah batasnya.
Meski malam ini adalah sunat, aku tetap larung ke palung hatimu yang kumat atas cumbu yang tidak pernah kiamat. Semoga kita sedekat bara dengan api, dan tak pernah saling mengibiri. Aku mensyukurimu sebagai pendamping selangit malam, meskipun engkau bukan sempurna bulan, kali ini.
Masih tinggi, betah semedi menerawang ke dinding kedamaian.
Selendang putih yang kubaca memilin jenjang lehermu, memendam urat desah malam kelambu.
Akhirnya persembahan putik puitik untuk separuh waktu, menjadi awal penyambutan yang wangi atas keranuman bunga hidup yang hampir mengatup
Biarpun, kantung mata pagi ini, memendam sejumput mawar.
Tak ‘kan pernah pudar untuk menebar semerbak wewangian perawan hari
Mencintaimu langit, berarti mengembara ke bayu sadrah. Terkadang gelisah memberi petuah untuk sejenak rebah di selasar gundah
Di seberang, kedua mata langit tampak tak berbinar, sesempurna celup mewarnai laut. Sepertinya, kegelisahan adalah catatan perjalanan. Yang menyeruak sepanjang nafas hingga lebam, jangan sampai kau kantungi redup. Meraunglah sepuasnya, hingga ruang damai itu ada.
Akan kususur dengan meliukkan busur rindu, hingga membentuk motif menur yang sering membuatmu tafakur.
Setegar bumi yang kutapaki dan seluas langit yang kupandang tanpa ujung. Aku tetap menebar gelepar jantungmu.
Mungkin, terakhir kali kepulan-kepulan remah dari gigil bibirmu adalah memantik kenang meneduhkan. Semoga kau tenang, ketika di ujung kunjungan hanya mengerati pikiran yang sedang runyam.
Tasikmalaya, 02 Juni 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar